BREAKING NEWS

Bercerita Lewat Fotografi, Bisakah?

Sepak Bola (Pradirwan)
"Satu gambar seribu kata."

Pradirwan - Ungkapan ini sering saya dengar untuk menggambarkan kekuatan sebuah gambar.

Awalnya saya tidak percaya kebenaran ungkapan itu. Semakin saya mempelajari fotografi, semakin saya mengerti alasan-alasan kenapa sebuah produk/jasa dipasarkan dengan tampilan yang menarik.

Seringkali, kesan pertama datang dari tampilan produk dan jasa. Semakin menarik dan atraktif, pembeli akan tergoda membawa produk atau jasa kita ke rumah mereka.

Mungkin itu pula yang melatarbelakangi doktrin yang beredar di jamaah Slametyah pimpinan pak Slamet Rianto, "Jika Anda tidak ganteng, maka Anda harus tampil rapih." Bagaimanapun, kekuatan visual berpengaruh bagi calon pembeli atau klien kita.

Ternyata, haI ini sudah dibuktikan oleh pemilik Brodo, Yukka Harlanda. Menurutnya, foto merupakan salah satu bentuk komunikasi persuasif agar pembeli tertarik. Selain itu, foto juga bisa membentuk citra merek alias brand image dan menguatkan ikatan antara konsumen dengan produk.

Ungkapan lain yang mendukung kekuatan visual datang dari gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Ia menekankan aspek cerita dari sebuah momen yang diabadikan dalam sebuah foto. "Bagi saya foto itu adalah cerita," kata Kang Emil pekan lalu. Kang Emil percaya, bahwa sebuah momen tidak pernah berulang. Sebagai contoh, foto diatas saya ambil beberapa waktu lalu. Momen itu berlangsung singkat. Saya memotret terus-menerus sepanjang pertandingan, tak ada satu pun foto saya yang sama persis dengan foto yang saya upload itu.

Lalu, bagaimana sih mendapatkan foto yang bercerita?


Dari berbagai sumber saya menyimpulkan bahwa dalam sebuah foto, kita harus bisa memutuskan elemen mana yang akan menjadi subyek utama. Subyek utama adalah hal yang PERTAMA dilihat orang saat melihat foto kita alias Point of Interest (PoI).

Setelah itu, kita lalu memutuskan elemen pendukung mana yang akan dimasukkan ke dalam frame. Ingat, elemen pendukung adalah hal-hal yang dapat menguatkan keberadaan subyek utama. Jika elemen itu akan mengalihkan perhatian orang yang melihat dari subyek utama, maka sebaiknya elemen itu ‘dibuang’ atau tidak dimasukkan ke dalam frame. Cara paling sering yang saya lakukan adalah atur focal length (zoom), pakai lensa tele, atau mendekati objek. Kalau momennya singkat, motret seadanya lalu cropping deh. Daripada ga dapet momen? 😀

Pendekatan lain yang selalu saya gunakan adalah Entire, Detail, Frame, Angle, Time atau disingkat EDFAT. Metode ini diperkenalkan Walter Cronkite School of Journalism and Telecommunication Arizona State University sebagai salah metode pemotretan untuk melatih cara pandang melihat sesuatu dengan detil yang tajam. Tahapan-tahapan yang dilakukan pada setiap unsur dari metode ini adalah sesuatu proses dalam mengincar suatu bentuk visual atas peristiwa bernilai berita.

Jadi, inti dari postingan ini adalah betapa saya sadar sekarang jika mengambil gambar bukan hanya mengambil gambar. Redaktur Foto Kompas, bang Arbain Rambey pernah berkata, "Jangan berangkat memotret dalam keadaan blank. Kamu tidak akan mendapatkan apa-apa". Jadi, penting untuk merencanakan terlebih dahulu sebelum mengeksekusi. Berpikirlah dahulu sebelum memencet tombol kamera. Apa yang mau kita potret? Apa yang ingin kita sampaikan? Itu sudah ada dalam pikiran kita.

Nampak ribet ya? Awalnya saya juga berpikir begitu. Namun, setelah dipraktekkan, ternyata menyenangkan kok. Sekarang, saya terbiasa mengonsep dulu apa yang saya butuhkan sebelum eksekusi. Makanya, penting banget mengetahui rundown acara, lokasi, dan segala detailnya ketika kita memotret dokumentasi.

Dulu, saya pikir harus memasukkan semua elemen ke dalam foto. Meminjam istilah pak Dhe Muchamad Ardani, saya termasuk 'fotografer rakus'. Saya merasa tidak ingin semua elemen itu terbuang mubazir. Prinsip saya waktu itu, apa yang saya lihat di lokasi, harus sama dengan informasi visual yang diterima yang melihat foto saya. Tapi, ternyata tidak begitu.

Sama seperti penulis yang tidak boleh menulis semua deskripsi dengan jelas dan harus menyisakan imajinasi pembaca, foto pun demikian. Harus ada sedikit ruang untuk publik menginterpretasi, sehingga mereka tidak merasa digurui, sanggup berpikir dan berimajinasi, lalu merasa ada hal lebih yang mereka dapatkan setelah melihatnya. Bukan karena fotonya. Foto hanyalah pemicu, tapi imajinasi dan hasil berpikir merekalah yang memberikan hal lebih itu. Itulah foto yang bercerita, menurut saya.

Bagaimana menurut Anda?

Bandung, 31 Januari 2019

Share this:

Post a Comment

 
Copyright © 2021 Pradirwan and OddThemes