BREAKING NEWS
Showing posts with label Catatan Perjalanan. Show all posts
Showing posts with label Catatan Perjalanan. Show all posts

Tip Aman Traveling Saat Pandemi

Tip Aman Traveling Saat Pandemi (Intax)
Tip Aman Traveling Saat Pandemi (Intax)

Pradirwan - Pandemi COVID-19 telah menghantam industri pariwisata dan ekonomi kreatif di Indonesia. Berdasarkan data yang dipublikasikan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), sepanjang tahun 2020 jumlah wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia hanya sekitar 4,052 juta orang. Angka tersebut sangat memprihatinkan karena hanya sekitar 25% dari jumlah wisatawan yang masuk ke Indonesia pada 2019.

Studi McKinsey pada Juli 2020 menyatakan sebesar 86% masyarakat Indonesia percaya bahwa dampak COVID-19 pada kondisi keuangan akan kembali membaik rata-rata dalam 2 bulan. Sementara itu 32% responden menjawab keuangannya akan kembali membaik dalam 6 bulan ke depan. Artinya, sekalipun konsumen cenderung mengurangi konsumsi namun demand itu masih ada. Di saat kondisi ekonomi membaik yaitu setelah 6 bulan ke depan, demand konsumen akan semakin meningkat. Terlebih vaksin telah diproduksi dan digunakan.

Menurut penulis, masyarakat dapat membantu sektor pariwisata ini agar tetap eksis dan kembali bergairah. Bagi yang mulai jenuh dan ingin refreshing dalam kondisi serba terbatas saat ini, aktivitas traveling di masa kenormalan baru dapat dilakukan. Tentu saja dengan tetap mematuhi serta melaksanakan protokol kesehatan yang ketat.

Berwisata di masa pandemi memang akan berbeda. Segalanya akan terasa lebih ribet. Melaksanakan protokol kesehatan yang ketat menjadi hal yang paling wajib saat traveling, tidak hanya dengan melakukan 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas), tetapi ada hal-hal lain yang patut untuk diperhatikan.

Berikut ini beberapa tip yang dapat dilakukan untuk merencanakan traveling di masa pandemi:

1. Cek kondisi kesehatan tubuh

Sebelum traveling, hal pertama yang harus dipastikan adalah kondisi kesehatan dan kebugaran tubuh. Jangan memaksakan liburan jika merasa badan tidak sehat. Apabila diperlukan, segera lakukan swab  test PCR atau antigen sebelum traveling untuk memastikan diri tidak terinfeksi COVID-19. Selain itu, hasil tes ini menjadi syarat perjalanan untuk memasuki sebuah wilayah atau memasuki destinasi wisata.


2. Cari informasi yang lengkap terkait destinasi wisata

Sebelum mengunjungi sebuah destinasi wisata, sebaiknya kumpulkan informasi-informasi terkait implementasi protokol kesehatan di sana karena banyak destinasi wisata yang memiliki aturan dan protokol berbeda-beda selama pandemi, tergantung kebijakan yang berlaku di daerah tersebut.

Informasi penting yang perlu dikumpulkan antara lain, jumlah harian infeksi baru di suatu wilayah, persentase keseluruhan positif, dan tren infeksi baru. Informasi yang sudah terkumpul dapat menjadi bahan pertimbangan terkait keamanan destinasi wisata tersebut.

Sedapat mungkin pilih destinasi wisata luar ruangan yang sepi pengunjung. Risiko penularan COVID-19 akan jauh menurun jika berada di ruang terbuka. Selain itu, lebih baik mendatangi lokasi lebih awal agar belum banyak pengunjung yang tiba di lokasi wisata. 


3. Buat itinerary serinci mungkin

Itinerary merupakan daftar kegiatan atau tujuan serta estimasi anggaran yang akan dikeluarkan saat perjalanan. Itinerary menjadi hal yang penting selama pandemi. Dengan itinerary, dapat diketahui dan diingat lebih mudah lokasi-lokasi yang dikunjungi selama traveling, sehingga apabila terjadi kondisi buruk, misalnya terpapar COVID-19, dapat membantu petugas untuk melacak penularan.


4. Bawa alat kebersihan sendiri

Demi menjaga kebersihan diri dan keluarga, sangat direkomendasikan untuk menyiapkan alat kebersihan sendiri, seperti hand sanitizer, sabun, serta desinfektan sebelum berangkat. Selain itu, menerapkan 5M sangatlah penting untuk menghindari terjadinya penularan virus COVID-19.


5. Pilih akomodasi tempat menginap yang sudah tersertifikasi standar kesehatan

Demi menekan angka penyebaran COVID-19, Kemenparekraf telah meluncurkan program sertifikasi Cleanliness, Health, Safety, and Environmental sustainability (CHSE) untuk penyedia akomodasi demi menciptakan rasa aman dan nyaman bagi pengguna saat menginap. Dengan banyaknya akomodasi yang telah tersertifikasi CHSE, wisatawan dapat dengan leluasa memilih akomodasi sesuai dengan kebutuhan.


6. Pilih tiket dan akomodasi yang refundable

Disarankan untuk membeli tiket transportasi dan akomodasi yang refundable atau dapat dikembalikan. Banyak platform pembelian tiket online yang menyediakan fitur ini. Biasanya ketentuan tersebut dapat dilihat pada halaman pilihan kamar atau tiket perjalanan.

Fitur refundable sangat berguna di masa pandemi agar tidak mengalami kerugian lebih besar seandainya terpaksa harus batal berangkat, karena setiap melakukan perjalanan antarwilayah wajib melakukan swab test PCR atau antigen. Apabila positif, terpaksa gagal berangkat dan tiket menjadi hangus.


7. Kurangi kontak fisik

Pandemi memang telah memaksa untuk mengurangi titik persentuhan konsumen yang sifatnya high-touch. Dan saat ini sudah banyak teknologi untuk mendukung wisatawan mengurangi kontak fisik/bersentuhan. Penyedia barang dan jasa telah mengaplikasikan contactless tech adoption. Mulai dari awal sampai akhir perjalanan.

Sebagai contoh, seorang pelancong yang akan berlibur, saat ini dapat menggunakan bantuan teknologi digital yang bisa diakses melalui gawai, mulai dari memesan tiket perjalanan, melakukan pembayaran, memilih maskapai, hingga melakukan check-in.


8. Gunakan kendaraan pribadi

Traveling dengan kendaraan pribadi juga dapat meminimalisasi interaksi dengan orang lain. Sehingga pencegahan COVID-19 dapat dilakukan lebih optimal.


9. Terakhir, ikuti semua aturan yang berlaku ketika pulang, termasuk jika diharuskan untuk menjalani karantina oleh petugas kesehatan.


Demikian beberapa tip traveling aman saat pandemi. Semoga bermanfaat.


***

Penulis: Herry Prapto
Editor: Ilham Fauzi

Artikel ini dibuat untuk dan telah dimuat di Majalah Internal DJP Intax edisi 6/2021.

Jelajah Kebun Batu Purba di Stone Garden Geopark Citatah


Stone Garden Geopark Citatah
Stone Garden Geopark Citatah 

Pradirwan - Stone Garden Geopark Citatah berada di daerah dataran tinggi kawasan Gunung Masigit, Citatah, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Ini kunjungan ketiga kami ke kawasan Karst Citatah, Bandung Barat.

Memiliki ketinggian 908 mdpl, udara dingin menyelimuti kami saat berkunjung di kawasan batuan purba ini.

Stone Garden Geopark Citatah dibuka sejak 2014
Stone Garden Geopark Citatah dibuka sejak 2014

Banyak yang mengira, lokasi ini masuk ke kecamatan Padalarang. Padahal secara administrasi, perbukitan yang dipenuhi bebatuan ini masuk kecamatan Cipatat. Citatah sendiri merupakan nama salah satu desa di kecamatan Cipatat.

Untuk mencapai lokasi ini bisa diakses menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat. Ada beberapa rute yang bisa diambil seperti dari arah Cimahi atau Kota Bandung.

Jika Anda keluar gerbang tol Padalarang, ambil arah menuju Cianjur. Lokasi objek wisata ini tak jauh dari Situ Ciburuy.

Kawasan ini menjadi destinasi wisata sekitar 7 tahun lalu. Stone Garden Geopark Citatah bisa Anda cari di peramban untuk bisa sampai ke lokasi yang berdekatan dengan Guha (Gua) Pawon ini.

Stone Garden ini terletak di puncak gunung dan tepat berada di atas Guha Pawon yang terdapat fosil manusia purba.

spot menarik di Stone Garden
Memotret dipotret saat mengambil beberapa foto di atas salah satu batu di Stone Garden Geopark Citatah

Memasuki area ini, batu-batu kecil dan besar tersebar di lahan seluas 2 hektar ini. Batuan berwarna putih ini nampak kontras dengan padang rumput yang hijau. Pemandangan hijau nan menyegarkan mata.

Letak batu yang tak beraturan seolah wilayah ini usai dihujani batuan dan menjadi sebuah kebun batu (stone garden).

Selain menikmati keelokannya, berkunjung ke objek wisata ini bisa memberikan gambaran tentang Bandung purba. Konon kata para ahli, tempat ini terbentuk dari sisa bebatuan di dasar danau purba Bandung akibat dari letusan Gunung Sunda jutaan tahun lalu.

Meski pemandangan didominasi bebatuan, namun keindahan wisata ini bisa diadu dengan lokasi lainnya.

Hamparan luas batu-batu yang tersusun secara alami ini menarik untuk ditelusuri satu per satu. Dengan beberapa spot batu yang menjulang tinggi, pengunjung bisa mengambil gambar terbaik berlatar bukit kapur atau gunung yang hijau kebiruan.

Objek wisata yang dibuka sejak 2014 tersebut sering dijadikan lokasi untuk keperluan pre-wedding. Beberapa goweser juga memanfaatkan lokasi ini untuk berfoto.

Untuk masuk di area Stone Garden, penunjung harus mengeluarkan uang sekitar Rp15 ribu. Dengan harga tersebut, Anda bisa puas menikmati keindahan alam salah satu destinasi wisata terbaik di Bandung Barat ini ditambah satu botol kopi instans dingin dari sponsor.

Untuk melihat gambaran lebih detil, silakan simak video berikut ini:

Suaco dan The Godfather of Broken Heart

Suaco Cafe, Malang
Pradirwan - Sebuah bangunan unik berdiri di salah satu sisi Jl. Simpang Gajayana, Merjosari, Kec. Lowokwaru, Kota Malang. Hampir seluruh dindingnya dari kaca. Banyak jendela berukuran besar. Sirkulasi cahaya dan udara terjaga baik. Tanpa AC, bangunan ini tetap berhawa semilir. Terlebih di sekelilingnya tidak ada bangunan tinggi, membuat angin leluasa melewati kafe Suaco ini.

SUACO berasal dari SUA COffee, bertemu untuk ngopi, kira-kira itulah artinya. Kafe ini menjadi salah satu tempat kami ngumpul bareng sambil ngopi saat diklat di Malang, beberapa waktu lalu. Satrio dan Rindawan yang mengajak kami (saya, Hanip, Jundi, dan Farija) untuk merasakan suasana kafe ini.
menikmati kopi

Sambil membahas agenda yang kudu segera dieksekusi (opo iki???), kami pun mencicip menu kopi plus snack. V60 dengan beans dari Garut menjadi pilihanku.

Sang Ketua, Satrio tetap sibuk meski di cafe

Rindawan yang sejak tadi memegang gitar memeriahkan suasana. Berbagai lagu mulai dinyanyikan. Nongkrong semakin asyik ketika lagu-lagu mellow milik Didi Kempot dibawakan. Sewu kuto, stasiun Balapan, Cidro, Pamer Bojo, Kalung Emas, Suket Teki, dan sederet lagu patah hati lainnya melupakan segenap kepenatan kami.

Beberapa lagu yang dinyanyikan, baru malam itu aku dengar. Namun, beberapa penggalan liriknya masih terngiang hingga ku pulang.

Tak menyangka, tayangan Rosi di Kompas TV pada Kamis (1/8/2019) kemarin mengangkat fenomena lagu-lagu itu yang melekatkan citra Didi Kempot sebagai The Godfather of Broken Heart. 

Dari tayangan itu, sedikitnya aku mengetahui, kalau lagu cinta bertema mellow dan patah hati akan memiliki umur panjang di blantika permusikan.

"Memilih tema lagu yang deket dengan masyarakat. Patah hati semua pernah mengalami. Kata-kata yang dipilih juga yang mudah dipahami," ungkap Didi.

Tak jarang, lagu-lagu itu terinspirasi dari kisah nyata. Lagu 'Cidro' yang sangat ikonik itu misalnya berangkat dari pengalaman yang Didi Kempot rasakan sendiri semasa masih menjadi pengamen gondrong yang suka nongkrong.

"Waktu 'Cidro' ini mas lagi ngalamin apa? Mas yang lagi ngapusi (membohongi) siapa?" tanya Rosi.

"Saya yang diapusi (dibohongi) kok," jawab Didi Kempot sambil bercanda dan diikuti dengan tawa.

"Gimana dapet syair ini? Apa yang mas Didi lihat?" tanya Rosi lagi.

"Saya ngalamin. Masih ngamen, gondrong, tukang nongkrong. Naksir cewek. Ceweknya cantik. Dia mau, tapi keluarganya kayanya enggak lah," jawab Didi Kempot.

Mendengar cerita Didi Kempot, Rosi lantas menuturkan sebuah kata bijak.

"Buat keluarga yang sedang mendengarkan, yang telah menolak mas Didi Kempot, selalu ada penyesalan pada mantan yang berhasil," ujar Rosi.




Bandung, 3 Agustus 2019
Pradirwan

Monumen Penjara Banceuy, Riwayatmu Kini

Monumen Penjara Banceuy, salah satu jejak Bung Karno di Bandung dapat kita temui di sini.


Pradirwan - Kesendirian nampak diwakili patung yang sedang duduk sambil memegang buku dan pena bercat perunggu itu.

Patung Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, di Monumen Penjara Banceuy di Jalan ABC, Kota Bandung.

Menatap patung Bung Karno


Penjara yang oleh pemerintah kolonial Belanda diperuntukkan bagi tahanan politik tingkat rendah dan kriminal ini memiliki sejarah dan saksi bisu perjuangan rakyat Indonesia.

Sang Proklamator, saat mendekam di Penjara Banceuy ini merintis perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1929 bersama 3 anggota PNI: Maskoen, Soepriadinata, dan Gatot Mangkoepradja.

Bung Karno menyusun pledoi yang sangat terkenal dan kemudian diberi nama Indonesia Menggugat.

Pledoi Indonesia Menggugat oleh Bung Karno ini dibacakan pada sidang pengadilan 18 Agustus hingga 22 Desember 1930, di tempat yang saat ini diberinama Gedung Indonesia Menggugat, di Jalan Perintis Kemerdekaan.

Pengurus monumen Penjara Banceuy


Patung yang terbuat dari bahan perunggu itu ditempatkan di dekat sel penjara berukuran 210 sentimeter dengan lebar 146 sentimeter dan tinggi 350 sentimeter.

Sel nomor 5 itu satu-satunya yang tersisa, sementara bangunan sekelilingnya berubah menjadi pertokoan sejak tahun 1983.

Sel nomor 5

Sel yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1877 itu tertutup rapi dengan hiasan bendera merah putih. Di dalamnya terdapat papan kecil beralaskan tikar anyam, teko, gelas, serta baskom untuk membuang air kecil.

kondisi dalam ruangan penjara sel no 5

Di tempat seperti itulah selama kurang lebih 1 tahun 2 bulan, Bung Karno mendekam sebagai tahanan politik oleh pemerintah kolonial Belanda.

Salah satu ungkapan Bung Karno, "Koe Korbankan Dirikoe di Penjara Ini Demi Bangsa dan Negarakoe Indonesia" menghiasi dinding kawasan itu. 

Pun demikian dengan replika bendera Merah-Putih, tertancap dalam tiang di depan penjara.

Sayang sekali, penjara yang saat ini dijadikan Museum Penjara Banceuy ini sepi pengunjung. Padahal saat ini, masyarakat seharusnya antusias merayakan HUT Kemerdekaan RI yang ke-74. Salah satunya dengan mendatangi museum dan belajar sejarah agar dapat menghargai perjuangan para pahlawan dalam meraih kemerdekaan.

Bandung, 6 Agustus 2019
Pradirwan

Menikmati Konser Musik Alam di Curug Cipeuteuy

Curug Cipeuteuy, Majalengka


Pradirwan ~ Jika sesuatu yang berbunyi dan bernada disebut musik, maka alam menjadi konser musik yang paling menakjubkan. Desau angin sepoi-sepoi, gemericik air, suara burung, tonggeret, dan binatang lainnya menjadi hiburan langka bagi kami. Alasan inilah yang mendasari kami menuju salah satu tempat konser musik alami bernama Curug Cipeuteuy, Majalengka.
Curug Cipeuteuy menjadi salah satu objek wisata andalan di Majalengka 

Kawasan wisata yang berlokasi di blok Dukuh Pasir desa Bantar Agung kecamatan Sindangwangi ini menjadi salah satu wisata andalan di Majalengka. Pesona alamnya memikat.

Bayangkan saja, kami sudah dibuatnya terpesona dengan suasana alami di sana bahkan sebelum sampai di depan air terjun. Saat melakukan perjalanan menuju lokasi, hamparan berundag sawah hijau menguning terbentang luas. Belum lagi saat mulai memasuki kawasan curug, kami disambut pohon-pohon pinus yang tinggi, ditambah suara konser alami khas hutan yang menenangkan.


Curug ini memang hanya setinggi sekitar 5 meter, tapi air yang mengalir jernih kebiruan dan dijamin bikin seger. Tak heran banyak pengunjung yang berenang atau sekadar berendam di sini. Apalagi pihak pengelola sudah menyediakan kolam penampungan air untuk pengunjung berenang dan fasilitas pendukung lainnya.

Beberapa pengunjung berendam

Kerennya lagi, tempat ini merupakan habitat dari elang Jawa lho. Kapan lagi bisa bertemu hewan eksotis ini, bukan? Pengunjung juga bisa mencoba fasilitas hiking, belajar mengenal jenis-jenis pohon, sampai menikmati makanan enaknya Majalengka di sini. Tak jauh dari lokasi curug ini, ada blok Sinapeul, produsen durian khas Majalengka.
Durian Sinapeul yang dijajakan pedagang di sekitar SPBU di Jl. Raya Pasar Kramat - Rajagaluh, tak jauh dari akses masuk ke Curug Cipeuteuy, Majalengka.  

Akses menuju lokasi curug melalui jalan raya Sumber - Pasar Kramat, Cirebon menuju Rajagaluh, Majalengka. Ada rambu petunjuk jalan menuju lokasi. Kami sarankan lebih baik menggunakan sepeda motor.

Meski jalanan mulus beraspal, namun lebar jalan hanya muat untuk satu mobil. Jadi kalau berpapasan harus ekstra hati-hati. Tanjakan dan turunannya pun cukup ekstrim di beberapa titik. Bus pariwisata tidak bisa masuk ke lokasi, hanya sampai ke desa Sindangwangi. Tapi untuk menuju lokasi, bisa di antar dengan mobil bak terbuka, yang disediakan olah karang taruna.

Sebgaimana konser musik pada umumnya, tak ada yang gratis, termasuk untuk dapat menikmati alunan musik alam dipadu pemandangan yang luar biasa di Curug Cipeuteuy ini. Tidak mahal kok. Setiap pengunjung dikenakan tarif masuk untuk orang dewasa sebesar Rp15 ribu dan anak-anak Rp5 ribu saja ditambah retribusi parkir mobil sebesar Rp5 ribu serta untuk motor Rp2 ribu.

Terlepas dari itu semua, konser musik yang disajikan Curug Cipeuteuy jauh lebih merdu dan menyenangkan dibanding kebisingan lalu lintas jalanan Ibukota. Penat yang memenuhi kepala selama satu minggu penuh dapat segera terobati hanya dengan satu perjalanan sederhana. Kembali ke alam. (*hp)


Artikel ini pertama kali ditayangkan di ayobandung.com

Surga Bernama Curug Malela

Aliran sungai yang melewati bebatuan membentuk air terjun (curug) Malela. 

Pradirwan - Sebuah pesan pendek masuk melalui aplikasi WhatsApp (WA) saat aku hendak beranjak pulang dari tempat bekerja. Aku membacanya di parkiran Gedung Keuangan Negara, Bandung, sambil menyaksikan sekumpulan orang berlalu-lalang.

Di penghujung tahun 2018, lalu lintas di Jalan Asia Afrika nyaris tak bergerak. Tak seperti biasa, sejak pukul 2 siang, jalan satu arah menuju ke Alun-alun Kota Bandung dan Masjid Raya Bandung Propinsi Jawa Barat itu nampak semakin sesak dengan warga yang hendak merayakan pergantian tahun.

Imbasnya, kendaraan yang hendak menuju Jalan Dalem Kaum juga terhambat. Berkali-kali, suara klakson terdengar di perempatan Jalan Asia Afrika-Dalem Kaum, meminta pengendara di depannya segera bergerak maju atau sekadar memberikan akses.

Jalan itu menjadi saksi bisu digelarnya konferensi yang amat bersejarah, yang mempertemukan 29 negara se-Asia dan Afrika pada 18-24 April 1955. Konferensi Asia-Afrika pertama tersebut terjadi di Gedung Merdeka yang berada di jalan tersebut. Konferensi membahas isu kedamaian dan kerjasama dunia yang dihadiri oleh delegasi negara se-Asia-Afrika, mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia pada saat itu.

Ya, Kedamaian. Kata itu lantas terlintas di kepalaku. Ketenangan yang aku butuhkan setelah seharian ini menyaksikan hingar bingar kehidupan di Ibu kota Jawa Barat ini. Aku memang tak terlalu menyukai keriuhan. Bagiku, kota besar seperti Bandung, hanya untuk bekerja dan belajar. Kemacetan yang terjadi setiap hari, hanyalah risiko keseharian yang harus aku terima sebagai konsekuensiku mencari nafkah dan belajar tadi. Maka, ketika sebentuk ajakan melalui pesan WA itu aku terima, aku langsung mengiyakan. Pesan-pesan berikutnya sudah pasti dapat ditebak, percakapan teknis menuju ke lokasi.
Curug Malela, salah satu curug yang indah di Bandung Barat. 

Aku dan tujuh orang lainnya bersepakat berkumpul pukul 05.00 WIB di Cimahi. Matahari nampak malas untuk menampakkan wajahnya. Di salah satu sudut langit, bulan sabit masih enggan beranjak. Sesekali ia menampakkan pucat wajahnya dibalik awan. Aku beranjak menerobos udara dingin pagi hari. Mataku masih sedikit sulit berkompromi untuk membuka. Puncak pergantian tahun sudah berakhir beberapa jam lalu masih menyisakan kantuk di kedua mataku.

Malela, seperti curug (air terjun) lain pada umumnya berada jauh dari hingar bingar kehidupan perkotaan. Perjuangan kami ke curug Malela cukup melelahkan. Namun, begitu sampai di lokasi Curug Malela, semua terasa terbayarkan. Menemukan curug ini bagaikan menemukan lokasi harta karun yang begitu indah mempesona. Terletak diantara tebing tinggi dan hamparan pegunungan, Curug Malela bak surga tersembunyi yang sangat terisolir dari peradaban manusia.
Suasana alami sangat terasa, membuat kami leluasa mendokumentasikannya.


Curug Malela terletak di desa Cicadas, kecamatan Rongga kabupaten Bandung Barat. Perjalanan kami dari Cimahi menuju lokasi berjarak sekitar 65 KM. Kami melewati jalan Raya Batujajar-Gununghalu, Kab. Bandung Barat. Kondisi jalan cukup baik dan berkelak-kelok. Tak jarang kami menemui tikungan, tanjakkan, dan turunan tajam sehingga kecepatan maksimal hanya 30 KM/jam. Semakin mendekati lokasi, lebar jalan semakin menyempit. Meski relatif dekat, perjalanan memakan waktu sekitar 3 jam menggunakan mobil.
Area parkir Curug Malela. Hingga lokasi ini, jalan beraspal mulus itu. 

Gapura selamat datang di Curug Malela, akses utama menuju Curug Malela

Jalan berpenyangga besi dan sudah dipaving blok

Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 1,2 km dari tempat parkir wisata. Parkiran ini hanya bisa menampung sekitar 10-15 mobil saja. Sebuah gapura bertuliskan selamat datang di Curug Malela dalam bahasa Sunda, menjadi penanda akses masuk ke curug yang memiliki hulu sungai bagian Utara Gunung Kendeng itu. Gunung berapi yang telah mati itu terletak di sebelah barat Ciwidey, Kabupaten Bandung. Aliran sungainya mengalir melintasi sungai Cidadap-Gununghalu yang menjadi sumber air tak hanya curug Malela ini, namun ke-enam curug lainnya yaitu Curug Katumiri, Curug Manglid, Curug Ngebul, Curug Sumpel, Curug Palisir, dan Curug Pameungpeuk.

Dibelakang gapura, nampak jalan setapak menurun sepanjang kurang lebih 200 meteran dengan pembatas kanan-kiri dari besi. Usai melewati jalan yang terbuat dari paving block ini, kami menemui jalan terjal dari batu dan tanah liat. Meskipun begitu, menelusuri jalan setapak menuju lokasi curug ini tidaklah membosankan karena sejauh mata memandang terhampar perbukitan yang begitu asri nan hijau.
Memasuki jalan bebatuan dan tanah

Fasilitas toilet dan musholla

Salah satu warung
Jalanan tanah ini cukup curam

Jalanan tanah mendekati Curug Malela

Tak perlu takut kehausan, karena disepanjang jalur setapak itu sudah tersedia warung. Selain itu, fasilitas ibadah dan toilet juga sudah bisa digunakan, malah di bagian bawah dekat dengan lokasi curug, kini sedang dibangun tambahan fasilitas tersebut.
Fasilitas sedang dibangun

Suara gemericik aliran air melewati bebatuan besar dan kecil, membuatku hanyut dalam suasana syahdu. Setelah puas mengambil beberapa foto, pada sebuah warung di sisi sungai, aku terpaku menikmati keindahan curug yang mempunyai ketinggian sekitar 60 meter dengan lebar mencapai 70 meter itu.

Jika curug umumnya tinggi menjulang, berbeda dengan curug yang mempunyai 5 buah jalur air terjun yang indah dan megah ini. Apalagi jika debit air sedang banyak dan mengalir deras melintasi air terjun ini, akan terlihat indah sekali. Pemandangan ini mengingatkanku pada kemegahan air terjun Niagara di benua Amerika. Tak heran, curug Malela dijuluki ‘The Little Niagara’ atau Air Terjun Niagara Mini.

Hari sudah siang. Saatnya kami kembali menuju ke tempat parkir untuk mekan siang. Kami berjalan menyusuri jalan setapak tadi. Baru beberapa meter mendaki, nafasku sudah tersengal-sengal. Beberapa kali aku berhenti untuk beristirahat. Bagiku, rute ini cukup berat. Ternyata tak cuma aku, beberapa pengunjung yang tak kuat lagi mendaki, memutuskan untuk menyewa ojeg dengan ongkos sewa Rp25rb hingga ke tempat parkir.

Saat beristirahat itulah ingatanku tertuju kepada Tuhan. Sambil meneguk air mineral yang aku bawa, kembali pandanganku ke aliran sungai dari gunung Kendeng itu. “… surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya,” terjemahan firman Allah dalam Alquran itu melintas. Lantas aku membandingkan dengan surga dunia yang bernama curug Malela ini. Meski tak berbayar saat kami memasukinya, perjalanan kami meraihnya cukup berat.

Maka benarlah adanya, bahwa hidup adalah sebuah perjalanan menuju ‘surga’ kita masing-masing. Setiap ‘surga’ mempunyai harganya sendiri dan seringkali itu tak murah. Kadang harga surga itu senilai takwa, pengorbanan, kesusahan, ketabahan, kesabaran, dan/atau keikhlasan.

Maka, berjalanlah. Dari perjalanan itu, kita akan dapat mengambil pelajaran. Tabik. (HP)


Artikel ini telah ditayangkan di AyoBandung

Menelusuri Cerita di Balik Kemegahan Batu Lawang Cirebon

Batu Lawang, objek wisata alam yang terletak di Gunung Jaya Desa Cupang Kecamatan Gempol Kabupaten Cirebon ini, mulai menjadi salah satu objek wisata baru yang menjadi favorit para wisatawan. 

Pradirwan - Sejak warga desa yang berhimpun  dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), sebuah lembaga kerjasama dengan Perum Perhutani membenahi pada awal 2017 lalu, objek wisata alam yang terletak di Gunung Jaya Desa Cupang Kecamatan Gempol Kabupaten Cirebon ini, mulai menjadi salah satu objek wisata baru yang menjadi favorit para wisatawan. Pemandangan alam, perbukitan, dan tebing bebatuan Objek Wisata Batu Lawang menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan pada musim liburan kali ini.

Potensi alam bak surga tersembunyi berada di sana. Sebuah bukit batu dengan lukisan alam yang bernilai seni tinggi. Udara sejuk, tenang, dan nyaman dengan pemandangan Kabupaten Cirebon dari atas membuat para wisatawan enggan untuk beranjak. Di tempat tersebut, wisatawan bisa melepas kepenatan pikiran di sela kesibukan sehari-hari.

Baca juga : Kejawanan, Destinasi Wisata Pantai Kebanggaan Cirebon

Penamaan Batu Lawang yang berarti Batu Pintu (lawang berarti pintu dalam bahasa Jawa), terinspirasi dari dua tebing menjulang yang menyerupai dua pintu yang sedang terbuka. Ada juga yang menyebutkan bahwa, motif (bentuk) bebatuan tebing itu menyerupai pintu pada bangunan jaman dulu.

Untuk menuju lokasi Batu Lawang, terdapat  dua jalan, pertama dari arah Ciwaringin dekat Rumah Sakit Sumber Waras kemudian belok ke arah kiri. Jalur ini lebih singkat jika dari Palimanan-Cirebon, namun jalan yang dilalui belum diaspal, masih bebatuan terjal.

Jalur kedua dari arah Prapatan belok ke ki kiri arah Rajagaluh lurus sekitar 1 km, kemudian belok ke kiri melewati sebuah jembatan, belok ke kiri melewati area persawahan.  Jalur ini sudah diaspal, malah beberapa bagian nampak baru. Namun, hanya bisa dilewati mobil kecil. Tak perlu takut tersesat karena sudah disediakan rambu penunjuk arah untuk mencapai lokasi Batu Lawang ini. Jalur kedua inilah yang disarankan google maps saat saya menyambangi objek wisata tersembunyi ini, Selasa (25/12/2018).

Objek Wisata yang mempunyai fasilitas cukup lengkap ini terbilang sangat murah. Biaya masuknya hanya Rp7.000 per orang, ditambah biaya parkir Rp5.000 bagi yang membawa kendaraan, wisatawan bisa menikmati keindahan sepuasnya.

Meskipun aksesnya cukup jauh, ketika sampai di lokasi rasa lelah terbayar dengan pemandangan indah gugusan tebing Batu Lawang dengan ukiran alam sangat indah. Ada beberapa jenis tebing batu dengan lukisan berbeda. Ada yang eksotis bermotof jalur melingkar. Ada juga batu tak beraturan dalam satu bukit. Setiap sekat batu memiliki tonjolan yang berbeda.

Tebing-tebing itu sering digunakan sebagai sarana olahraga panjat tebing. Tebing Cupang menjadi tebing yang paling digemari pemanjat di wilayah III Cirebon. Tebing ini memiliki ketinggian 23–30 meter dan lebar sekitar 50 meter dengan jenis batuan andesit dan memiliki empat jalur pemanjatan yang dibuat pada tahun 1993-an oleh tim dari Bandung dan FPTI Cirebon.

Jalur yang disediakan pengelola untuk menikmati Batu Lawang

Di lahan seluas 2,5 hektare milik Perhutani ini, wisatawan dengan mudah berfoto dari berbagai sudut pandang. Untuk menikmati pemandangan alam dari atas, pengunjung cukup melewati jalur yang sudah disediakan. Beberapa bagian jalur itu berupa anak tangga yang terbuat dari adukan semen dan bebatuan yang tersusun. Pengunjung dengan mudah mengelilingi bebatuan andesit itu, hingga sampai ke puncak tebing Batu Lawang.

Pada beberapa bagian di atas tebing, pengelola juga menyiapkan tempat untuk berswafoto. Meski terbuat dari bambu rakitan, namun tempat berfoto itu aman untuk disinggahi. Meski keamanan terjaga, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, wisatawan diharapkan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dan mengikuti segala aturan yang berlaku, seperti batasan tiga orang di tempat foto dan dilarang mencorat-coret bebatuan.

Spot swafoto

Di balik kemegahannya, Batu Lawang dan sekitarnya menyimpan berbagai cerita. Konon, gunung Jaya menjadi salah satu lokasi yang dikeramatkan karena menyimpan berbagai kisah perjuangan para Wali Sanga dalam menyebarkan agama Islam, diantaranya Sunan Bonang. Petilasan (situs) Sunan Bonang berada dikaki gunung Jaya sebelah barat, tak jauh dari Batu Lawang. Aura disekeliling petilasan tersebut sangat kental dengan mistis.

Cerita bermula ketika Sunan Gunung Jati bersama Sunan Bonang berniat menyebarkan Agama Islam ke selatan. Dalam perjalanannya saat mencapai Gunung Jaya, rombongan beristirahat.

Tak dinyana, rombongan tersebut disusul oleh Nyi Mas Gandasari yang memohon pertolongan Sunan Gunung Jati untuk menyembuhkannya. Persoalan Nyi Mas Gandasari adalah karena setiap bersuami, suaminya langsung meninggal.  Oleh Sunan Gunung Jati, persoalan Nyi Mas Gandasari diserahkan kepada Sunan Bonang.

Sunan Bonang kemudian menyembuhkan Nyi Mas Gandasari dengan mengeluarkan seekor ular welang dari tubuh Nyi Mas Gandasari. Kesembuhan Nyi Mas Gandasari ini diperingati dengan sebuah “pernikahan batin” dengan cara menguburkan ular welang dari Nyi Mas Gandasari yang disebut Pangeran Welang dan tongkat Sunan Bonang. Sampai saat ini kita bisa menyaksikan 2 buah cungkup makam tersebut di dalam bangunan situs.

Nyi Mas Gandasari di kemudian hari menjadi murid Sunan Gunung Jati dan menjadi salah satu panglima perangnya. Kesaktian Nyi Mas Gandasari sudah sangat tersohor dan tak ada seorang laki laki pun yang mampu mengalahkannya. Dalam sebuah sayembara yang diselenggarakan untuk mendapatkan jodoh, Nyi Mas Gandasari dikalahkan oleh Syekh Magelung Sakti (Pangeran Soka). Keduanya kemudian dijodohkan oleh Sunan Gunung Jati dan menjadi suami isteri.

Keunikan lainnya dari Gunung Jaya adalah di puncaknya terdapat sumur kejayaan. Coba naiklah ke puncak Gunung Jaya setinggi sekitar 700 meter itu. Di puncak Gunung Jaya terdapat sebuah sumur kering. Keadaan sumur itu memang selalu kering. Karena itulah, konon, jika ada yang mendapat atau menemukan sumur itu dalam keadaan berair adalah pertanda semua keinginan bakal terkabul. Namun yang pasti pemandangan di puncak Gunung Jaya sangat cantik.

Artikel ini ditayangkan Ayobandung

Kejawanan, Destinasi Wisata Pantai Kebanggaan Cirebon

Pengunjung menikmati pantai Kejawanan Cirebon belum lama ini. 

Pradirwan - Siang itu, pada saat matahari bersinar dengan teriknya, rombongan keluarga yang dipimpin Uling (nama panggilan), aparat Desa Wangunharja, Kecamatan Jamblang Kab. Cirebon, mengunjungi Pantai Kejawanan, 23 Desember 2018. Pantai yang sejatinya merupakan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) itu kini menjadi salah satu destinasi wisata alternatif warga Cirebon dan sekitarnya.

“Waktu masih kecil saya pernah kesini. Dulu pantai ini sangat sepi,” ungkap Uling.

Sejak beberapa tahun terakhir, pantai yang berlokasi di Jl. Yos Sudarso, Lemah Wungkuk Kota Cirebon dan terletak dekat dengan pelabuhan Cirebon dan Ade Irma Suryani Cirebon Waterland ini semakin ramai dikunjungi oleh wisatawan.


Berwisata ke Pantai Kejawanan terbilang sangat terjangkau. Pengunjung yang datang berjalan kaki tidak dipungut biaya sepeser pun. Biaya masuk dikenakan hanya bagi yang membawa kendaraan, baik mobil maupun sepeda motor. Itu pun terbilang sangat murah meriah, hanya Rp1.000 saja per kendaraan ditambah tarif parkir Rp5.000. Dengan tarif semurah ini, para pengunjung sudah bisa menikmati pemandangan pantai Kejawanan ini.

Memasuki pantai, pengunjung akan disuguhi pemandangan deretan kapal penangkap ikan yang sedang bersandar di bagian teluknya. Untuk mendapatkan pemandangan terbaik, datanglah pagi-pagi sekali atau sore hari untuk mendapatkan sunrise atau sunset. Dari pantai Kejawanan ini, Gunung Ciremai menjadi salah satu spot menarik untuk background photo landscape, selain kumpulan kapal-kapal yang bersandar itu.

Setelah berjalan beberapa meter, di sebelah kanan, nampak bibir pantai dan beberapa warung yang berdiri persis disisi pantai. Seorang ibu pemilik warung mempersilakan rombongan masuk untuk beristirahat. Jika biasanya pengunjung dilarang membawa makanan dan minuman dari luar warung, tidak dengan warung-warung disini. Mereka mempersilakan semua pengunjung untuk singgah, meskipun membawa makanan dan minuman.

Kondisi Pantai Kejawanan yang landai dan dangkal ini menjadi daya tarik tersendiri. Anak-anak dapat bermain air hingga ke tengah pantai. Selain itu, terdapat perahu karet yang disewakan. Harga sewanya Rp20.000 untuk setiap perahu karet. Pengunjung juga bisa menggunakan perahu motor milik nelayan disana. Hanya dengan tarif Rp5000 per orang, pengunjung dapat berkeliling pantai Kejawanan.

Selain menikmati berbagai fasilitas yang tersedia, tak sedikit pengunjung yang memilih bersantai menikmati suasana Pantai Kejawanan sambil menikmati kuliner yang tersedia di Warung-warung di tepi pantai.

Artikel ini ditayangkan Ayobandung

Masjid di Yogyakarta Ini Dibangun Bawah Tanah

Lorong lantai atas Masjid Pendem atau Masjid Bawah Tanah Sumur Gumuling Tamansari Yogyakarta

Pradirwan - Siapa yang menyangka, lorong panjang melingkar tempat saya berdiri ini zaman dahulu adalah salah satu bagian dari sebuah masjid. Tidak seperti bangunan masjid pada umumnya, bangunan ini berbentuk seperti mangkuk telungkup dengan dua lantai.

Goa Tanding, Eksotisme Wisata Bawah Tanah Yogyakarta

Gerbang memasuki area goa Tanding, Gunung Kidul, Yogyakarta 

Pradirwan - Sebuah destinasi wisata baru bermunculan di daerah Yogyakarta, khususnya di Kab. Gunung Kidul. Kabupaten yang memiliki bentangan alam sepertiga luas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ini melingkupi hingga 144 desa dan 18 kecamatan.

Mitos di Balik Keindahan Curug Cinulang

Curug Cinulang (dok.pribadi)

Pradirwan ~ Curug Sindulang atau lebih terkenal dengan Curug Cinulang atau air terjun Cinulang bukanlah nama yang asing bagi saya. Adalah Yayan Jatnika, penyanyi Sunda itu pernah menyanyikan lagu berlirik romantis berjudul di Curug Cinulang. Melalui lagu inilah saya mengenal Curug Cinulang.

Entah apa yang membuat Yana Kermit begitu terinspirasi membuat lagu itu. Lagu yang hanya terdiri dari tiga bait itu sungguh penuh makna. Lagu itu menceritakan kecemasan dan ketakutan seorang yang sedang jatuh cinta akan kehilangan orang yang dicintainya sekaligus harapannya agar cintanya tak kandas dan abadi.

Bagi saya, lagu ini menguatkan mitos yang berkembang di sekitar objek wisata yang berada di Desa Sindulang, Kecamatan Cimanggung, Sumedang, Jawa Barat itu. Mitos itu melarang pengunjung yang belum menikah membawa pasangannya (pacarnya), jika ingin hubungannya berlanjut menjadi suami-istri. Mitos lainnya, bagi para jomblo yang mengharapkan segera bertemu jodoh, datanglah ke Curug Cinulang ini, konon, akan segera dipertemukan dengan jodohnya.

Apakah mitos ini benar? Saya meyakini bahwa perkara jodoh itu sudah menjadi takdir Tuhan. Untuk menuntaskan rasa penasaran saya dengan keberadaan curug yang lebih mudah diakses dari jalan raya Bandung - Garut (Cicalengka) dan mitosnya, saya mengunjunginya pada Minggu, 28/10/2018 lalu.

    baca juga : Berburu Milky Way ke Ciwidey

Curug Cinulang selama ini hanya saya kenal nama tanpa pernah bertatap muka. Saat melakukan perjalanan dari Bandung menuju Garut via Cicalengka, papan nama menuju ke lokasi Curug Cinulang seringkali saya abaikan begitu saja tanpa ingin tahu lebih dalam.

Jalan menuju lokasi tidak terlalu lebar, hanya cukup dua mobil kecil berpapasan. Butuh konsentrasi lebih melewati jalur menuju kawasan hutan lindung Gunung Masigit Kareumbi, tempat dimana Curug Cinulang berada.

Tak butuh waktu lama, hanya sekitar 30 menit dari jalan lintas selatan Jawa Barat ini, saya telah sampai di lokasi siang itu.

Sayup-sayup lagu Sunda terdengar dari belakang pintu masuk. Usai membayar tiket parkir sebesar Rp10 ribu dan tiket masuk Rp5 ribu, saya menyaksikan sebuah grup musik sedang asyik memainkan lagu Sunda populer. Tak jauh dari tempat grup musik itu, dari atas jembatan kecil, saya bisa menyaksikan pemandangan air terjun dari kejauhan.

Ya, tanpa harus turun ke dasar jurang pun saya dan pengunjung lainnya sudah bisa melihat dari atas kemegahan air terjun ini.
Curug Cinulang nampak dari atas jembatan kecil, tak jauh dari tempat grup musik memainkan lagu (dok. pribadi)

Tapi rasanya kurang pas jika tak menikmati langsung segarnya kibasan air terjun yang menerpa wajah. Saya menelusuri jalanan setapak menuju dasar jurang tempat air terjun itu berada. Akses menuju air terjun dari pintu masuk sudah cukup bagus, hanya saja, semakin mendekati tujuan, jalan semakin rusak dan terjal.

Tak perlu takut kehausan atau kelaparan di curug yang memiliki ketinggian 50 meter ini. Di lokasi curug yang juga disebut Curug Sindulang (sesuai lokasinya di desa Sindulang) ini banyak terdapat warung penjual makanan dan minuman.

Konon, dinamakan Sindulang juga karena berasal dari kata “dulang” yang berarti tempayan. Menurut warga, air terjun ini mirip seperti air yang ditumpahkan dari tempayan.

Setelah puas berkeliling dan mengambil beberapa foto, saya berkesimpulan area curug ini cukup sempit. Pengambilan angel foto sangat terbatas. Meskipun begitu, keindahan Curug Cinulang memang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Suasana hijau alam dan sejuknya udara pegunungan, menambah nuansa romantis kian terasa.

Itulah mungkin sebabnya, mitos pengunjung yang belum menikah disarankan tidak kesini, karena jika diijinkan, tempat ini hanya akan dijadikan tempat berpacaran. Berbeda dengan yang masih jomblo, diharapkan bisa bertemu jodohnya disini, dalam suasana romantis diiringi senandung lagu, sehingga akan mengingat tempat ini sebagai sebuah tempat bersejarah pada episode hidupnya. Seperti yang diungkapkan Yayan Jatnika pada lagu 'di Curug Cinulang' :

Di Curug Cinulang
Bulan bentang narembongan
Hawar-hawar aya tembang
Tembang asih tembang kadeudeuh duaan

Di Curug Cinulang
Batin ceurik balilihan
Numpang kana panghareupan
Cinta urang mugi asih papanjangan

Kabaseuhan cai kaheman
Kaceretan ibun kamelang
Mengket pageuh geter rasa kahariwang
Hariwang cinta urang panungtungan


Artikel ini ditayangkan di AyoBandung.com

Berburu Milky Way ke Ciwidey

Berburu Milky Way Ciwidey, Sabtu (13 Oktober 2018). (Foto: Harris Rinaldi)

Pradirwan ~ Istilah milky way menarik perhatian saya. Istilah itu digunakan untuk menyebut galaksi Bimasakti yang berisikan gugusan bintang-gemintang membentuk pola spiral dengan diameter 100.000 tahun cahaya.

Berburu foto milky way memang tak semudah yang dibayangkan. Fenomena alam yang keindahannya telah mendunia itu ternyata hanya bisa ditemukan di tempat dan waktu yang tepat. Butuh dari sekedar persiapan alat dan perlengkapan yang mumpuni, namun faktor keberuntungan juga berperan.

Kita harus mencari lokasi terbuka yang bebas dari polusi udara dan polusi cahaya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena tempat-tempat tersebut seringkali jauh dari tempat tinggal kita. Pegunungan atau pantai yang masih sepi menjadi pilihan.

Di Jawa Barat, salah satu tempat berburu milky way terbaik berada di kawasan wisata Ciwidey Kab. Bandung. Selain karena lokasinya yang tinggi, keasrian suasana serta landscape-nya yang memukau, polusi disini cukup rendah. Selain itu, kawasan ini mempunyai banyak spot menarik yang bisa dijadikan tempat berburu milky way, seperti Ranca Upas, Situ Patenggang, dan perkebunan teh.

Ranca Upas menjadi pilihan berburu milky way kami, Sabtu (13/10/2018) minggu lalu. Selain karena memenuhi syarat lokasi untuk memperoleh milky way, Ranca upas atau Kampung Cai Ranca Upas merupakan kawasan wisata alam dan bumi perkemahan terpopuler bagi traveller untuk melihat keindahan alam lebih dekat. Kawasan ini juga merupakan hutan lindung dan tempat konservasi berbagai macam flora dan fauna, misalnya tanaman langka seperti jamuju dan kihujan (trembesi), serta fauna dilindungi seperti rusa.

Saat mengabadikan kabut yang turun (foto: Harris Rinaldi)
Pose sejenak (foto : Harris Rinaldi)



Kawasan yang berada di ketingggian 1700 mdpl ini memiliki luas area 215 hektar. Tentu saja, suhu udara disini cukup dingin. Saat kami datang ke lokasi sekitar pukul 17.15 WIB, udara mencapai 17 derajat Celcius. Kabut sedang turun menutupi pandangan. Bisa dibayangkan ketika dini hari, suhu udara bisa sangat ekstrim. Oleh karena itu bagi yang akan bermalam disini, sangat dianjurkan membawa jaket, baju, penutup kepala, sarung tangan, dan kaus kaki yang tebal. Saking dinginnya, di dalam tenda pun berembun. Api unggun menjadi satu-satunya penghalau udara  dingin yang efektif, meskipun asapnya yang masuk ke tenda membuat bangun para penghuninya.

Ga bisa tidur karena dingin (foto : Tatag Wicaksono)

Lalu, peralatan apalagi untuk mendapatkan foto milky way? Mas Harris Rinaldi, ketua rombongan kami mengatakan selain kamera (DSLR/Mirrorles), gear wajib adalah tripod dan lensa wide. "Lensa kit 18 mm juga bisa, lebih bagus lagi kalau punya lensa wide dengan f besar, misalnya 12 mm f/2 samyang," ujarnya.

Hasil foto yang ku ubah white balance-nya (1)

Hasil foto yang ku ubah white balance-nya (2)

Ketika malam semakin larut, mas Harris mulai meminta kami untuk mengatur kamera. "Intinya, pakai lensa paling wide yang kita punya, gunakan diafragma (f) paling besar, iso coba paling besar di 3200, Sutter Speed 30 detik, jangan lupa setting White Balance untuk mendapatkan efek warna yang lain dari biasanya," katanya.

Kami pun mulai mencoba-coba settingan sampai mendapatkan settingan yang pas sesuai keinginan masing-masing (selera).
Berburu milky way (foto: Yusuf Ote)

Kenapa 30 detik? Karena menurut pengalaman, 30 detik itu adalah waktu maksimum agar bintang tetap seperti titik, bukan sebuah garis. Kalau lebih dari 30 detik, maka bintang akan ‘berjalan’ dan nampak seperti apa yang kita sebut sebagai light painting, kecuali, memang efek seperti itu yang ingin didapatkan.

Dalam photography, ada yang disebut rule-600. Jadi shutter speed maksimum yang diperbolehkan agar bintang tak bergerak adalah 600 dibagi dengan focal length lensa (format 35 mm, jika APS-C dikali dulu dengan 1.5, MFT dikali 2).

Jadi kalau kita pakai lensa 18 mm, maka waktu maksimum adalah 600/18 = 33 detik? Meski tidak selalu akurat ini karena tergantung dari posisi kita di bumi. Tapi, itu rule of thumb-nya sebagai permulaan untuk camera setting- nya.

Hal lain yang kami lupa adalah faktor keberuntungan. Langit masih tertutup kabut dan berawan sejak sore tadi. Kami memutuskan untuk menyimpan baterai dan energi kami, siapa tahu cuaca cerah kami dapatkan menjelang malam hingga dini hari nanti.

Oh ya, jika hanya memotret bintang, mungkin bisa kapan saja. Tapi bumi kita ini berputar. Ada kalanya milky way tidak terlihat dari tempat kita berdiri. Milky way juga akan sulit terlihat jika ada bulan (polusi cahaya juga). Jadi, lebih baik kita memotret saat bulan baru muncul, sehingga malam gelap akan lebih panjang. Untuk mengecek posisi milky way, dibutuhkan aplikasi khusus seperti stellarium, sky guide, dan banyak sekali di app store. Searching aja ya. Konon, paling enak memotret milky way itu adalah saat April – September di arah selatan.

Salah satu sudut yang ku potret saat berburu milky way

Langit mulai cerah sementara udara sangat dingin. Sekujur tubuh mulai membeku. Saya dan mas Harris mulai melakukan pengecekkan posisi milky way. Tapi setelah dilakukan pengecekkan di aplikasi, posisi rasi bintang Sagitarius berada dibawah horizon. Artinya, milky way telah lewat. Untuk meyakinkan, kami melakukan pemotretan lagi ke berbagai sudut. Hasilnya memang benar, milky way tak nampak dari hasil foto-foto itu. Kecewa, pastinya. Tapi, selalu ada hikmah dibalik kejadian. Bagi saya, ini hunting bareng pertama kali yang berkesan. Selain dengan mas Harris, saya bertemu lagi dengan mbak Caecilia, mas Amran (Abeng), mas Dwi Doso dan menambah tiga kawan baru, mbak Heti, mas Yusuf, dan mas Tatag.

Pengobat kekecewaan kami, mendapat sunrise yang indah

Suasana pagi yang berhasil ku abadikan
Pemburu sunrise
Ketua Tim, Harris Rinaldi

Akhirnya, kami memutuskan untuk menunggu pagi. Sambil berharap, fajar nanti menjadi fajar yang istimewa.

Kala itu di malam Minggu
Pada suatu sudut di jalan-jalan gelapmu
Rasa itu tumbuh
di ruas cahaya bernama rindu

Terdudukku pandangi langit hitam
Malam telah melahap semua cahaya 
Bintang dan rembulan tertutup kabut duka
Rinduku perlahan menjadi kelabu
hanya ada kenangan yang masih berserak
entah dari kepala siapa
dari kisah yang mana
Mengiringi cinta yang tak lagi sempurna 
Sejenak akupun terdiam dan menikmati luka

Terima kasih atas kesempatan dan sharing ilmunya. Sampai jumpa di lain kesempatan.

Bandung, 20 Oktober 2018

Artikel ini ditayangkan di Ayo Bandung setelah dilakukan editing ulang.

Mengenal Astronomi di Observatorium Bosscha, Lembang

Dalam bangunan berbentuk kubah yang menjadi ikon Observatorium Bosscha ini terdapat Teropong Zeiss, teropong terbesar di Observatorium ini. (Foto tampak belakang)


Pradirwan - Masih ingat dengan film Petualangan Sherina? Bagi yang lahir di era 90-an atau sebelumnya, tentunya masih ingat dong dengan film musikal bagi semua umur ini. Sekedar mengingatkan, film yang berdurasi 93 menit ini diproduksi tahun 2000 dan salah satu lokasi syutingnya di kawasan Observatorium Bosscha, Lembang- Kabupaten Bandung Barat.
 
Copyright © 2021 Pradirwan and OddThemes