BREAKING NEWS
Showing posts with label panduan pajak. Show all posts
Showing posts with label panduan pajak. Show all posts

Harta dan Utang dalam SPT Tahunan

Harta dan Utang dalam SPT Tahunan
Harta dan Utang dalam SPT Tahunan (Photo: Pradirwan) 

Pradirwan - Saya sering dihadapkan pada pertanyaan yang muncul dalam keseharian kita. Terutama pada musim penyampaian SPT Tahunan PPh saat ini.

Jika kita perhatikan, pada salah satu bagian formulir SPT Tahunan Orang Pribadi, wajib pajak diharuskan mengisi daftar harta dan kewajiban (utang).

Adakalanya wajib pajak merasa bingung untuk mengisi daftar hartanya. Malah saking bingungnya, ia lantas tidak mengisi daftar harta yang dimiliki.

Sebenarnya apa sih yang dimaksud harta atau utang itu? Kenapa harta dan utang ada dalam SPT Tahunan?

Harta (aset) adalah kekayaan yang dimiliki oleh suatu entitas (baik pribadi maupun badan) dalam berbagai bentuk, baik wujud atau tak berwujud, dan terdiri atas beberapa jenis (akun-akun) tertentu (kas, piutang, persediaan, dll).

Harta menurut bahasa yaitu sesuatu yang dapat diperoleh dan dikumpulkan oleh manusia dengan suatu tindakan baik berwujud materi maupun manfaat. Contohnya seperti: emas, perak, hewan, dan tumbuhan. Atau manfaat dari sesuatu seperti: kendaraan, pakaian, smartphone, dan tempat tinggal.

Jadi, semua yang ada pada entitas baik yang berupa materi atau pun bukan materi yang memiliki nilai ekonomis sejak saat ini sampai masa yang akan datang maka itulah yang disebut harta.

Setiap manusia pasti diberikan penghasilan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagaimanapun orang akan berupaya mencukupi kebutuhan konsumsinya.

Rumusnya, penghasilan sama dengan konsumsi.

Jika penghasilan yang diperoleh sama dengan kebutuhan konsumsinya, maka ini dalam kondisi ideal (kata umumnya plus plos atau pas modal).

Namun, ada kalanya penghasilan melebihi kebutuhan konsumsi.

Jika dalam kondisi demikian, maka sisa penghasilan dikurangi biaya konsumsi inilah yang menjadi harta.

Kondisi sebaliknya, jika penghasilan tidak mencukupi untuk kebutuhan konsumsi, maka ia akan menimbulkan utang.

Contoh: si A bekerja dan memperoleh penghasilan 4 jt sebulan. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya si A menghabiskan 2,5 jt sebulan. Maka ada dana lebih sebesar 1,5 jt yang belum digunakan si A. Karena tidak digunakan, si A menyimpan dana 1,5 jt tersebut ke bank dalam bentuk tabungan. Maka si A mempunyai harta berupa tabungan sebesar 1,5 jt.

Lain halnya dengan si B, dengan penghasilan dan kebutuhan yang sama dengan si A, si B membeli motor dengan harga 14 jt, DP 1,5 jt. Si B tetap mempunyai harta berupa motor, namun karena penghasilannya tidak mencukupi, ia berutang sebesar jumlah angsuran dikalikan lama angsuran.

Ingat selalu rumus persamaan akuntansi:

Harta = Utang + Modal

Apa yang terjadi kalau laporan keuangan perusahaan tidak seimbang?

Artinya ada yang tidak beres dalam laporan keuangan itu: bisa ada kesalahan, tidak disengaja, manipulasi, korupsi, persekongkolan, dll.

Maksud dari persamaan tersebut adalah bahwa harta bersumber dari utang dan atau modal (disebut dengan double entry).

Tidak ada harta yang hanya dengan membaca mantra sim salabim aba kadabra tiba-tiba muncul, seperti banyak kejadian pada beberapa entitas bisnis/pemerintah, dan SPT wajib pajak yang mengaku memiliki harta tersebut namun tidak memiliki catatan perolehan harta tersebut.

Dengan penghasilan Rp60 juta setahun misalnya, kok punya harta milyaran. Atau punya penghasilan Rp200 jutaan tapi ga ada harta. Kan aneh?

Sekalipun harta adalah hasil hibah seharusnya akan dicatat sebagai modal sumbangan. Demikian juga kalau diperoleh dari utang, maka akan dicatat juga disisi utang.

Intinya kedua sisi harus seimbang: jika jumlah harta adalah 20 maka jumlah Utang + Modal juga harus 20. Jika tidak seimbang berarti ada masalah di situ. Memahami SPT sesimpel itu. Jelas ya?

Nah, sedikit penjelasan di atas semoga dapat dijadikan panduan, bahwa penghasilan, harta, dan utang yang Anda laporkan dalam SPT sudah benar. Jangan bingung dan ragu lagi ya.

Yuk segera lapor SPT. Lebih awal lebih nyaman.


Pradirwan
Bandung, 9 Maret 2016

Kontrak Kemanfaatan Epicurus dalam RUU KUP

Kontrak Kemanfaatan Epicurus dalam RUU KUP

Infografis Sembako Bakal Kena PPN? Coba cek faktanya (sumber: @ditjenpajakri)

Pradirwan - Perbincangan rencana pengenaan PPN sembako, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan masih menghangat beberapa hari terakhir. Pasalnya, narasi yang beredar di publik mengatakan pemerintah akan memajaki sejumlah barang dan jasa yang saat ini mendapat fasilitas pengecualian pengenaan PPN melalui perubahan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Sebagian masyarakat yang menentang rencana itu berargumentasi bahwa harga barang maupun jasa tersebut akan semakin mahal, sehingga masyarakat akan semakin menderita. Terlebih jika kebijakan tersebut diberlakukan dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini.

Anggapan lainnya yang tak kalah seru adalah ketika isu PPN sembako ini dibenturkan dengan insentif PPnBM atas pembelian mobil. Mereka berpendapat bahwa orang-orang kaya justru dibebaskan pajaknya namun rakyat kecil malah dikenakan pajak. Apakah benar demikian?

Baca juga: 
Mulai Maret, Beli Rumah Bisa Dapat Diskon PPN

Konsep Pengenaan PPN

PPN merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa yang bersifat umum. Kata umum ini membedakan PPN dengan jenis pajak konsumsi lainnya yang bersifat spesifik, seperti cukai dan bea masuk.

Di Indonesia, mekanisme pengenaan PPN dilakukan melalui pemungutan oleh pihak penjual barang dan/atau pemberi jasa. Pemungut PPN ini disebut sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Karena mekanisme tersebut, maka PPN digolongkan sebagai pajak tidak langsung.

Sebagai catatan, tidak semua pengusaha wajib dikukuhkan menjadi PKP. Ada batasan peredaran bruto usaha (omzet) apakah pengusaha wajib dikukuhkan sebagai PKP atau tidak. Hanya pengusaha yang telah beromzet lebih dari Rp4,8 miliar setahun saja yang wajib dikukuhkan sebagai PKP. Artinya, jika pengusaha beromzet di bawah Rp4,8 miliar setahun, pengusaha tersebut tidak wajib dikukuhkan PKP sehingga tidak memungut PPN atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukannya.

Pemungutan PPN oleh PKP kepada konsumen pada umumnya tidak memperhatikan kemampuan membayar (ability to pay) konsumen. Atas dasar ini, PPN disebut sebagai pajak objektif dan bersifat regresif.

Artinya, siapapun yang dapat membeli barang dan/atau jasa kena pajak, maka ia akan dikenakan PPN. Tak peduli konsumen merupakan pihak yang mampu atau tidak mampu akan membayar jumlah PPN yang sama. Tentu ini tidak adil.

Demikian pula, apabila barang dan/atau jasa tertentu tidak dikenakan PPN atau dikecualikan sebagai objek PPN maka pihak yang mampu dan tidak mampu sama-sama tidak membayar PPN, tentu ini juga tidak adil.

Jadi, dikenakan atau tidak dikenakan (dikecualikan) suatu barang dan/atau jasa sebagai objek PPN akan sama-sama menimbulkan isu ketidakadilan. Inilah karekteristik PPN yang perlu kita sadari.

Berbeda halnya dengan Pajak Penghasilan (PPh). PPh merupakan pajak subjektif yang berarti pajak akan dikenakan apabila subjeknya (penerima penghasilan) memperoleh penghasilan kena pajak. Jika penerima penghasilan tidak menerima penghasilan kena pajak, maka PPh tidak akan dikenakan kepada subjek tersebut.

Sistem PPN di Indonesia menganut destination principle. Artinya, PPN dikenakan berdasarkan tempat di mana BKP atau JKP dikonsumsi; bukan berdasarkan tempat di mana BKP dan JKP diproduksi. Dengan prinsip ini, PPN hanya dikenakan apabila BKP atau JKP tersebut dikonsumsi di dalam negeri. Oleh karena itu, ekspor BKP dan JKP dikenakan PPN dengan tarif 0%, sedangkan BKP dan JKP impor dikenakan tarif standar yang saat ini berlaku sebesar 10%.

Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan PPN. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.

PPN di Indonesia secara efektif dikenakan atas konsumsi akhir BKP dan/atau JKP atau biasa disebut consumption-type. PPN dikenakan di sepanjang jalur produksi dan distribusi suatu barang/jasa hingga barang/jasa tersebut diperoleh oleh konsumen yang merupakan pembayar pajak yang sebenarnya.

Metode pemungutan PPN di Indonesia menggunakan mekanisme credit-invoice di setiap tahapan produksi dan distribusi (multistage).

Dengan mekanisme ini, jumlah PPN yang harus disetorkan oleh PKP kepada pemerintah merupakan selisih antara PPN yang dipungut dari pembeli BKP/JKP (disebut Pajak Keluaran) dengan PPN yang sudah dibayarkan kepada supplier BKP/JKP yang digunakan untuk memproduksi BKP/JKP (disebut Pajak Masukan). Dengan kata lain, PKP sebagai penjual, ia akan memungut Pajak Keluaran dari pembeli. Namun sebagai pembeli, ia juga membayar Pajak Masukan kepada PKP supplier.

Melalui mekanisme tersebut, pengenaan PPN tidak menimbulkan efek pajak berganda (cascading). Apabila dalam satu masa pajak, PPN Masukan lebih besar dari PPN Keluaran, maka PKP dapat meminta restitusi kelebihan pembayaran PPN kepada pemerintah.

Objek dan Bukan Objek PPN

Sebagai pajak objektif, pengenaan PPN seharusnya bersifat netral terhadap seluruh barang dan jasa yang dikonsumsi. Namun dalam UU PPN dan perubahannya yang berlaku saat ini terdapat pengecualian (fasilitas) pengenaan PPN (negative list).

Pasal 4A UU PPN merinci jenis barang dan jasa yang dikenakan PPN. Ada 4 kategori barang dan 17 kategori jasa yang tidak dikenakan PPN. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, jasa pelayanan kesehatan medis, dan jasa pendidikan adalah contoh kelompok barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN tersebut (non-BKP/JKP).

Secara teoretis, dengan memasukkan barang/jasa yang semula non-BKP/JKP menjadi BKP/JKP akan membuat pajak masukan dapat dikreditkan. Alhasil, ada pengaruhnya pada harga pokok atau harga jual kepada konsumen yang bisa lebih murah.

Sebagai contoh, seorang pengusaha beras untuk mengolah produknya membutuhkan sebuah mesin pembajak sawah (traktor). Namun karena beras dibebaskan, pajak masukannya tak bisa dikreditkan. Akibatnya, pembelian mesin tersebut kemudian dibebankan sebagai biaya produksi. Dengan bertambahnya biaya produksi tersebut, harga barang akhir di tingkat konsumen juga akan relatif tinggi.

Selain non-BKP/PKP, pemberian fasilitas PPN dapat berupa PPN dibebaskan dan PPN tidak dipungut sebagaimana disebutkan pada pasal 16B UU PPN. Pemberian fasilitas PPN ini (dibebaskan dan tidak dipungut) terbatas pada hal-hal sebagai berikut:
  1. Kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam daerah pabean.
  2. Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu/penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu.
  3. Impor Barang Kena Pajak tertentu.
  4. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean yang diatur dengan peraturan pemerintah.
  5. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
Banyaknya kelompok barang yang mendapat fasilitas pengecualian pengenaan PPN ini menyebabkan dampak ekonomi berupa distorsi ekonomi, tax incidence, dampak sosial, dan tentu saja berdampak terhadap penerimaan negara akibat tingginya belanja pajak (tax expenditure).

Sebagaimana yang tertuang dalam laporan belanja perpajakan yang dipublikasikan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF), belanja pajak yang timbul akibat pengecualian PPN berkontribusi besar terhadap belanja pajak secara umum.

Belanja pajak akibat pengecualian PPN mencapai Rp73,39 triliun sepanjang 2019. Pengecualian PPN berkontribusi sebesar 44% dari total belanja PPN/PPnBM yang mencapai Rp166,92 triliun.

Laporan Belanja Perpajakan 2019 (sumber: BKF

Sementara terkait C-efisicency PPN Indonesia baru 0,6% atau 60% dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut. Artinya, ada 40% penyerahan BKP/JKP yang tidak berkontribusi dalam penerimaan PPN. Bandingkan dengan negara tetangga kita di Asean seperti Singapura, Thailand, dan Vietnam yang sudah mencapai 80%. Ratio PPN Indonesia (penerimaan PPN dibagi PDB) hanya sebesar 3,62. Angka ini pun lebih rendah dibandingkan Thailand yang telah mencapai 3,88.

Banyaknya pengecualian dan fasilitas PPN membuat kesenjangan antara yang mampu (kaya) dan yang tidak mampu (miskin). Tujuan pajak sebagai pendistribusian kekayaan sehingga tercipta kesetaraan dan keadilan akan sulit tercapai jika masih menggunakan kebijakan PPN yang saat ini berlaku.

PPN sebagai pajak tidak langsung juga seolah membiarkan kesenjangan antara orang yang mampu dan tidak mampu karena membiarkan keduanya menerapkan tarif yang sama. Muncullah regrisivitas: makin kaya seseorang akan semakin ringan beban pajaknya.

Skema Multitarif

Untuk mengerek penerimaan PPN serta agar tercipta sistem pemajakan yang berkeadilan, maka ada beberapa opsi yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, peningkatan tren pembatasan pengecualian dan fasilitas PPN. Banyak negara yang meninjau ulang dalam rangka prinsip netralitas PPN dan mencegah distorsi kebijakan dan kondisi ketidakadilan penerapan PPN. Langkah ini juga dapat memperluas basis PPN sehingga dapat mengurangi belanja perpajakan sekaligus menaikkan penerimaan. Perluasan basis PPN juga bisa dilakukan dengan menurunkan batasan PKP yang saat ini Rp4,8 miliar setahun.

Kedua, menaikkan tarif standar umum PPN. Untuk diketahui, rata-rata tarif PPN global tahun 2020 dari 127 negara adalah sebesar 15.4%. Indonesia masih 10%. Jika melihat ketentuan yang berlaku saat ini, Indonesia masih memungkinkan menurunkan tarif minimal 5% atau bahkan menaikkannya hingga 15%. Penurunan tarif jelas akan berdampak kepada penurunan penerimaan. Maka langkah untuk menaikkan penerimaan adalah dengan menaikkan tarif. Namun langkah menaikkan tarif juga akan meningkatkan angka inflasi dan kesenjangan ekonomi.

Ketiga, menggunakan skema multitarif. Pengenaan PPN lebih rendah untuk barang-barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah. Jadi pengenaan PPN nantinya bisa disesuaikan dengan jenis/kategori BKP/JKP. Sebagai pembanding, Turki menerapkan PPN atas basic food dengan tarif 8% (tarif standar 18%), sementara tarif reduce rate Spanyol hanya 4% untuk basic food stuff (tarif standar 21%). Indonesia bisa saja menerapkan PPN untuk barang kebutuhan pokok sebesar 5% atau bahkan 0% misalnya, sementara barang-barang premium (barang mewah/sangat mewah) dikenakan tarif lebih tinggi dari tarif normal saat ini (10%).

Pengenaan multitarif ini juga dapat memberikan rasa keadilan. Prinsipnya semakin bervariasi tarifnya maka akan semakin adil. Namun ada efek samping multitarif yang harus diwaspadai. Semakin banyak kelompok BKP/JKP maka akan semakin menyulitkan PKP dalam menunaikan kewajiban PPN. Sistem ini juga akan menjadikan orang kaya akan berpindah membeli barang subtitusi yang lebih murah.

Oleh karena itu, untuk penerapan multitarif ini harus didukung dengan sistem administrasi perpajakan yang mumpuni. DJP harus segera membuat coretax system yang andal sehingga semua proses bisnis bisa terawasi oleh DJP sekaligus memudahkan wajib pajak.

Kondisi Covid-19 memaksa pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan rakyat dan menggerakkan roda perekonomian dengan meningkatkan pengeluaran negara melalui program PEN. Pada tahun 2020, belanja negara naik 12,2% dari realisasi 2019 yang didukung oleh kebijakan realokasi belanja Kementerian/Lembaga dan Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp579,8 triliun untuk mendukung program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Jumlah anggaran PEN ini dinaikkan menjadi Rp699,43 triliun pada 2021 atau naik 21% dari realisasi PEN 2020.

Dana pajak yang terkumpul akan dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk insentif pajak, program vaksinasi, bantuan operasional sekolah, bantuan langsung tunai, dan lain sebagainya.

Pajak sebagai wujud nyata gotong royong masyarakat membangun bangsa dan negara. Melalui pajak, kita bisa saling bergandeng tangan memberi manfaat bagi sesama. Mengutip filsuf Yunani kuno Epicurus (341-270SM), "Keadilan adalah kontrak kemanfaatan, yang dibuat untuk mencegah orang melukai atau dirugikan." Itulah yang sedang pemerintah lakukan. Semoga.(*)

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Artikel ini pertama kali diterbitkan di pajak.go.id dan telah dilakukan editing ulang oleh penulis (Pradirwan)

Jabar I Ingatkan Jatuh Tempo SPT Tahunan Segera Berakhir!

Penyuluh pajak Kanwil DJP Jawa Barat I Gigeh Hari Prastowo mengingatkan batas penyampaian SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi akan segera berakhir dalam Bincang Pajak di Radio PRFM Bandung (Jumat, 26/3).

Pradirwan - Kanwil DJP Jawa Barat I kembali mengingatkan wajib pajak untuk segera menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi (OP) yang akan jatuh tempo pada 31 Maret 2021. "Kurang dari seminggu atau lebih tepatnya tinggal lima hari lagi batas penyampaian SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi akan berakhir," ungkap penyuluh pajak Kanwil DJP Jawa Barat I Gigeh Hari Prastowo di Radio PRFM Bandung (Jumat, 26/3).

Bincang Pajak yang dipandu Alexandria Cempaka Harum itu membahas Pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi melalui e-Filing. "Tema ini kami angkat agar para wajib pajak yang belum melaporkan SPT Tahunannya dapat segera menyampaikan SPT melalui e-Filing," ujarnya.

Baca juga: Bincang Pajak PRFM, Jabar I Bahas E-filing

Gigeh menjelaskan, SPT Tahunan adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.

Terdapat tiga jenis formulir SPT Tahunan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi. Setiap formulir SPT Tahunan ini memiliki peruntukannya masing-masing. Pertama, form 1770 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber penghasilannya dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, dan/atau wajib pajak yang bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja, memiliki penghasilan yang dikenakan PPh Final, memiliki penghasilan dalam negeri lainnya, seperti bunga, royalti, dan sebagainya, atau memiliki penghasilan dari luar negeri. “Para pelaku UMKM dan Youtuber misalnya, menggunakan form 1770 ini,” jelas Gigeh.

Sedangkan form 1770 S digunakan Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki penghasilan dari satu atau lebih pemberi kerja dengan penghasilan setahun lebih dari Rp60 juta, dan/atau memiliki penghasilan yang berasal dari lebih dari satu sumber.

Baca juga : Formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi 1770 S Tahun 2013 (Excel) 

Sementara form 1770 SS dikhususkan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki penghasilan selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas dengan penghasilan bruto kurang dari 60 juta setahun. “Dengan kata lain, form 1770 SS ini digunakan oleh karyawan yang bekerja pada satu perusahaan saja dengan penghasilan bruto setahun kurang dari Rp60 juta,” ujarnya.
Gigeh menjelaskan jenis formulir SPT Tahunan Orang Pribadi

Semua jenis form SPT Tahunan itu bisa disampaikan secara daring baik melalui e-Filing atau e-Form, yaitu metode penyampaian SPT Tahunan dengan mengunduh file SPT lalu mengisi formulir secara luring (offline) dan mengunggahnya kembali di website e-Filing (pajak.go.id). “Untuk wajib pajak yang menggunakan form SPT 1770S dan 1770SS maka disarankan menggunakan layanan isi SPT secara online, sedangkan untuk wajib pajak yang menggunakan form 1770 menggunakan layanan e-form,” imbuhnya.

Sebelum melaporkan SPT Tahunan secara e-Filing, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan oleh wajib pajak. Pertama, NPWP yang dimiliki oleh wajib pajak. NPWP ini merupakan nomor identitas dalam administrasi perpajakan. Kedua, E-FIN (Electronic Filing Indentification Number), merupakan nomor yang diperlukan saat membuat akun DJPonline pertama kali dan harus diaktifkan dulu oleh wajib pajak di KPP terdaftar. “Setelah memiliki NPWP dan EFIN, wajib pajak membuat akun DJP online, agar dapat mengakses semua layanan daring yang disediakan DJP di www.pajak.go.id,” kata Gigeh.

Baca juga: Mau Buat EFIN Tapi Kantor Pajak Tutup? Begini Solusinya

Untuk memudahkan pengisian SPT Tahunan melalui e-Filing, wajib pajak yang berstatus karyawan atau pegawai perlu mempersiapkan dokumen-dokumen, di antaranya bukti pemotongan pajak, membuat daftar seluruh penghasilan yang diterima, daftar harta dan hutang (kewajiban), daftar tanggungan keluarga, bukti pembayaran zakat/sumbangan lainnya, dan dokumen lain terkait pelaporan pajak (bila ada).

“Sedangkan untuk dokumen yang dipersiapkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM atau yang beromzet di bawah 4,8 miliar setahun adalah daftar rekapitulasi omzet dan pembayaran PPh final setengah persen (PP-23/2018) atau yang ditanggung pemerintah bila memanfaatkan insentif pajak UMKM,” katanya.

Gigeh menuturkan, di masa pandemi Covid-19 ini pihaknya sangat menyarankan dan mengimbau wajib pajak untuk melaporkan SPT tahunannya secara daring. “Kami mengurangi pelayanan tatap muka untuk mencegah terjadinya kerumunan dan menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Seluruh layanan perpajakan diarahkan untuk dilakukan secara online termasuk pelayanan dalam penyampaian SPT Tahunan,” jelasnya.

Baca juga: Realisasi Insentif Pajak di Jabar I Tembus Rp1 Triliun

Oleh karena itu, Gigeh mengajak seluruh masyarakat untuk segera melaporkan SPT Tahunan secara online. Seluruh jajaran Kanwil DJP Jawa Barat I siap membantu wajib pajak dalam menjalankan kewajiban pelaporan perpajakan secara daring. “Bapak/Ibu tetap di rumah saja, tetap dapat lapor pajak hari ini. Lebih awal lebih nyaman. Dengan menunaikan kewajiban perpajakan berarti turut membantu pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19, yang salah satunya digunakan untuk program vaksinasi nasional,” pungkas Gigeh. (HP)

sumber: pajak.go.id

Ini Dia Tampilan Meterai Tempel Rp 10.000

Desain meterai tempel baru edisi tahun 2021 dengan nominal Rp10.000,-

Pradirwan - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi merilis tampilan meterai tempel baru dengan nilai Rp10 000,- . Kehadiran meterai tempel baru ini sekaligus sebagai pengganti meterai lama desain tahun 2014 dengan nominal Rp6.000,- dan Rp3.000,-.

Baca juga : Bentuk, Ukuran, dan Warna Meterai Tempel Tahun 2014

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2humas) Hestu Yoga Saksama mengatakan, meterai tempel Rp10.000,- ini sudah bisa didapatkan masyarakat di Kantor Pos seluruh Indonesia.

"Meterai tempel baru ini memiliki ciri umum dan ciri khusus yang perlu diketahui oleh masyarakat," kata Hestu dalam keterangan resminya, Kamis (28/1/2021)

Menurut Hestu, ciri umum tersebut diantaranya terdapat gambar lambang negara Garuda Pancasila, angka “10000” dan tulisan “SEPULUH RIBU RUPIAH” yang menunjukkan tarif bea meterai, teks mikro modulasi “INDONESIA”, blok ornamen khas Indonesia, dan seterusnya.

Sedangkan ciri khususnya adalah warna meterai didominasi merah muda, serat berwarna merah dan kuning yang tampak pada kertas, garis hologram sekuriti berbentuk persegi panjang yang memuat gambar lambang negara Garuda Pancasila, gambar bintang, logo Kementerian Keuangan, serta tulisan 'djp' dan sebagainya.

Desain meterai Rp10.000,- baru mengusung tema Ornamen Nusantara. Tema ini dipilih untuk mewakili semangat menularkan rasa bangga atas kekayaan yang dimiliki Indonesia dan semangat nasionalisme.

Baca juga : 8 Poin Aturan UU Bea Meterai Baru

Terkait stok meterai tempel edisi 2014 yang masih tersisa, dikatakan Hestu, masyarakat masih dapat menggunakannya sampai dengan 31 Desember 2021 dengan nilai paling sedikit Rp9.000,-. Caranya dengan membubuhkan tiga meterai masing-masing senilai Rp3.000,- dua meterai masing-masing Rp6.000,- atau meterai Rp3.000,- dan Rp6.000,- pada dokumen.

"DJP mengingatkan masyarakat untuk selalu waspada akan meterai tempel palsu dan meterai tempel bekas pakai (rekondisi)," ujar Hestu.

Hestu mengungkapkan, masyarakat diimbau untuk meneliti kualitas dan memperoleh meterai Rp10.000,- dari penjual yang terpercaya. Ketentuan dan pengaturan lebih lengkap dapat dilihat pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.03/2021. Untuk mendapatkan salinan peraturan ini dan peraturan lain dapat mengunjungi www.pajak.go.id.

Kartu NPWP Belum Sampai, Rusak, atau Hilang? Ini Solusinya

NPWP Elektronik (Infografis DJP)

Pradirwan
- Dwi mengaku bingung. Beberapa kartu pentingnya hilang bersama dompetnya. KTP, ATM, NPWP, dan SIM-nya raib dicopet. Ada bekas sayatan benda tajam di tas punggung yang ia kenakan.

Salah satu kartunya yang hilang itu, NPWP, diminta tempatnya bekerja. Alasannya untuk meng-update data pekerja di perusahaannya itu. Ia bertambah bingung lantaran sebelumnya tak pernah menyimpan foto/dokumen kartu NPWP tersebut.

Kejadian yang menimpa Dwi itu bisa saja menimpa kita. Permasalahan kartu NPWP yang hilang, rusak, atau belum sampai ke alamat padahal registrasi daring sudah lama dilakukan masih sering dikeluhkan wajib pajak.

Sebagaimana kita ketahui, ketentuan terkait pendaftaran NPWP ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020. KPP akan melakukan penelitian atas kelengkapan permohonan yang disampaikan wajib pajak. Jika permohonan telah memenuhi persyaratan (sesuai ketentuan), maka KPP akan menerbitkan Kartu NPWP, Surat Keterangan Terdaftar, dan EFIN (electronic filing identification number) paling lama satu hari kerja.


Penyebab Kartu NPWP Belum Sampai

Setidaknya ada tiga alasan kenapa kartu NPWP masih belum sampai ke alamat wajib pajak meski sudah mengajukan permohonan registrasi NPWP. Pertama, kesalahan saat mendaftarkan alamat tujuan. Saat melakukan registrasi NPWP secara daring di ereg.pajak.go.id, pastikan semua data yang dimasukkan di kolom pengisian benar, termasuk nomor telepon aktif dan email Anda. Alamat pengiriman kartu NPWP harus sesuai dengan KTP. Pada beberapa kasus, kartu fisik NPWP tidak kunjung diterima karena sang kurir tidak berhasil menemukan alamat wajib pajak.

Kedua, permohonan pendaftaran NPWP ditolak. Ketika calon wajib pajak mendaftarkan diri, akan terkirim status permohonan registrasi NPWP, apakah permohonannya disetujui atau ditolak. Jika permohonan ditolak, maka kartu NPWP tidak akan dikirimkan.

Ketiga, dalam permohonan registrasi NPWP, calon wajib pajak memilih pernyataan tidak akan menjalankan kewajiban perpajakan atau memilih untuk berstatus Non Efektif (NE). Dengan memilih berstatus NE, petugas pajak harus membuat Lembar Penelitian Non Efektif agar sistem bisa mencetak kartu NPWP fisik.

Kartu NPWP dan SKT akan dikirimkan ke alamat wajib pajak melalui pos dengan bukti pengiriman surat. Jika lebih dari satu bulan belum menerimanya, wajib pajak bisa mengkonfirmasi ke KPP terdaftar melalui kontak yang ada di laman http://pajak.go.id/id/unit-kerja

Wajib pajak juga bisa menghubungi kring pajak untuk mendapatkan kejelasan status NPWP-nya. Untuk berinteraksi langsung, wajib pajak diberikan beberapa alternatif pilihan. Wajib pajak dapat menggunakan fitur live chat Kring Pajak di laman pajak.go.id (bagian bawah kanan), menghubungi via telepon kring pajak 1500 200 atau melalui twitter @kring_pajak .


Pencetakan Ulang Kartu NPWP

Kartu NPWP yang belum sampai, rusak, atau hilang bisa wajib pajak mintakan untuk dicetak ulang. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan cetak ulang kartu NPWP ini di KPP terdekat. Wajib pajak cukup membawa KTP asli, mengisi permohonan, dan akan mendapatkan kartu NPWP yang baru. Data yang tercantum di kartu NPWP sesuai dengan data yang ada di master file Direktorat Jenderal Pajak.


Kartu NPWP Elektronik

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus berupaya menghadirkan berbagai terobosan dalam bidang pelayanan untuk memudahkan masyarakat memenuhi kewajiban perpajakannya. Salah satunya dengan menghadirkan layanan cetak kartu NPWP secara elektronik ini. Terlebih di tengah kondisi pandemi seperti saat ini, keluar rumah merupakan aktivitas yang penuh risiko tertular.

Syarat untuk mendapatkan layanan ini cukup mudah. Wajib pajak diminta membuat akun DJP Online melalui situs pajak www.pajak.go.id.

Jika sudah, klik "Login" di pojok kanan atas. WP akan diarahkan ke halaman DJP Online (https://djponline.pajak.go.id/account/login). Lalu masukan NPWP, kata sandi (password), dan kode keamanan (captcha).

Namun apabila belum memiliki akun DJP Online, silakan melakukan pendaftaran akun DJP Online dengan meminta EFIN kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak (WP) terdaftar. Permohonan EFIN ini juga bisa dilakukan secara online. Cek caranya di sini.

Jika sudah Login, silakan pilih menu "Informasi". Nanti, akan nampak NPWP elektronik dan tombol "Kirim e-mail". Silakan klik tombol "Kirim e-mail". Setelah itu, sistem akan mengirimkan NPWP elektronik tersebut langsung ke alamat e-mail WP.

Jika berhasil, WP akan mendapatkan notifikasi "NPWP elektronik telah dikirimkan ke e-mail yang terdaftar pada sistem". Setelah itu, silakan cek inbox e-mail, download lampirannya (attachment) dan cetak NPWP tersebut.

Fungsi NPWP elektronik tersebut sama dengan kartu NPWP fisik. Jadi apabila diminta pihak lain seperti perusahaan, permohonan kredit ke bank, atau untuk menunaikan kewajiban pajak, NPWP elektronik tersebut bisa digunakan secara resmi.

NPWP elektronik ini juga bisa digunakan untuk berjaga-jaga apabila kartu NPWP fisik rusak, ketinggalan, bahkan hilang saat ingin mengurus sesuatu yang membutuhkan NPWP. Jadi, tidak perlu ragu untuk mencetak NPWP elektronik ini ya!

Semoga bermanfaat. (*)



*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Artikel ini ditulis untuk pajak.go.id dan telah ditayangkan di situs web tersebut sejak 18 Januari 2021

8 Poin Aturan UU Bea Meterai Baru

Meterai Tempel (ilustrasi)

Pradirwan
- UU Bea Meterai telah disahkan DPR sejak 29 September 2020. UU nomor 10 tahun 2020 tentang Bea Meterai itu menggantikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 (berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986) yang kurang lebih selama 35 tahun belum pernah mengalami perubahan.

Pengesahan UU baru yang akan mulai berlaku mulai 1 Januari 2021 ini akan sangat bermanfaat sebagai salah satu perangkat untuk mewujudkan perbaikan kesejahteraan rakyat, peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, dan perbaikan tata kelola Bea Meterai dengan tetap mempertimbangkan aspek keadilan.  

Salah satu pertimbangan terbitnya UU tersebut adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi dan komunikasi serta kelaziman internasional dalam kegiatan perekonomian. Selain itu, UU Nomor 13 Tahun 1985 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum, kebutuhan masyarakat, dan kebutuhan tata kelola Bea Meterai sehingga perlu diganti.

Beberapa tujuan dari penerapan Undang-Undang Bea Meterai baru ini antara lain untuk:

  • mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera;
  • memberikan kepastian hukum dalam pemungutan Bea Meterai;
  • menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat;
  • menerapkan pengenaan Bea Meterai secara lebih adil; dan
  • menyelaraskan ketentuan Bea Meterai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.


Ada 8 poin dalam UU Bea Meterai yang terdiri dari 12 BAB dan 32 pasal ini. Berikut ringkasannya:

1. Perluasan Objek Bea Meterai

Bea Meterai adalah pajak atas dokumen. Selama ini, dokumen yang dimaksud adalah dokumen kertas. Sejak Undang-Undang nomor 10 tahun 2020 maka ada perluasan definisi dokumen, yaitu kertas dan elektronik. Perubahan ini dimaksudkan untuk memberikan kesetaraan fungsi (level playing field) antara dokumen elektronik dan dokumen kertas sehingga asas keadilan dalam pengenaan Bea Meterai dapat ditegakkan secara proporsional.

Secara umum, objek Bea Meterai ada dua: Pertama, dokumen bersifat perdata yang dipergunakan untuk menerangkan mengenai suatu kejadian. Kedua, dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

Dokumen yang bersifat perdata yang menjadi objek Bea Meterai terdiri dari:

  • surat Perjanjian, surat keterangan/pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;
  • akta notaris beserta grosse, Salinan, dan kutipanya;
  • akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;
  • surat berharga dengan nama dan bentuk apapun;
  • Dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan bentuk apa pun;
  • Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;
  • Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nominal lebih dari Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang menyebutkan penerimaan uang atau berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan; dan
  • Dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

2. Penyesuaian Tarif

Perubahan mendasar menyangkut penyesuaian tarif Bea Meterai menjadi tarif tunggal yaitu sebesar Rp10.000,00, dari sebelumnya dua lapis tarif yakni Rp3.000 dan Rp.6.000.

Penyesuaian tarif tersebut dilakukan dengan tetap mempertimbangkan pendapatan per kapita, daya beli masyarakat, dan kebutuhan penerimaan negara. Sebagaimana dimaklumi, peningkatan kapasitas untuk mengumpulkan pajak seyogianya berbanding lurus dengan pendapatan per kapita (kapasitas untuk membayar pajak). Oleh karena itu, penyesuaian besaran tarif dimaksud masih dalam rentang yang wajar dalam kerangka peningkatan penerimaan Bea Meterai tanpa memberatkan dan membebani masyarakat.

Dalam Undang-Undang Bea Meterai yang baru ini juga memungkinkan pengaturan mengenai pengenaan tarif tetap yang berbeda dari Rp10.000,00, khusus untuk dokumen yang dibuat atau digunakan dalam rangka melaksanakan program pemerintah dan mendukung pelaksanaan kebijakan moneter dan/atau sektor keuangan.

3. Batas Nilai Nominal Dokumen yang Dikenai Bea Meterai

Batas nominal yang dikenai tarif meterai Rp10.000 hanya untuk dokumen yang bernilai uang di atas Rp 5 juta. Di bawah itu, tidak kena bea meterai.

Batasan ini lebih longgar dari UU yang lama. Pada UU Nomor 13 Tahun 1985, yang tidak kena tarif hanya dokumen dengan nilai transaksi di bawah Rp250 ribu. Untuk dokumen senilai Rp250 ribu sampai Rp1 juta, dikenakan tarif bea meterai Rp3.000. Lalu di atas Rp 1 juta, kena tarif Rp 6.000.

Pengaturan ini merefleksikan adanya keberpihakan Pemerintah kepada masyarakat, khususnya sektor usaha mikro, kecil, dan menengah.

Berdasarkan pertimbangan kondisi perekonomian nasional dan tingkat pendapatan masyarakat, Undang-Undang Bea Meterai ini juga memberi ruang untuk menaikkan atau menurunkan besarnya batas nilai nominal Dokumen yang memuat jumlah uang yang dikenai Bea Meterai dan besarnya tarif tetap Bea Meterai.

4. Penggunaan Meterai Elektronik dan Meterai Bentuk Lain Selain Meterai Tempel

Selama ini, masyarakat umumnya mengetahui cara pelunasan bea meterai yaitu dengan menggunakan Meterai Tempel. Melalui UU baru ini ada cara pelunasan bea meterai lainnya yaitu dengan menggunakan Meterai Elektronik dan Meterai Dalam Bentuk Lain.

Meterai Tempel adalah Meterai yang ditempelkan atau direkatkan di dokumen kertas. Sedangkan Meterai Elektronik adalah meterai yang memiliki kode unik dan keterangan tertentu yang diatur dengan Peraturan Menteri. Kalau dokumen berbentuk elektronik maka tidak bisa menggunakan Meterai Tempel.

Meterai Dalam Bentuk Lain adalah meterai yang dibuat dengan menggunakan mesin teraan Meterai Digital, sistem komputerisasi, teknologi percetakan, dan sistem atau teknologi lainnya.

Pengembangan teknologi pembayaran Bea Meterai merupakan langkah kongkret yang harus dilakukan sebagai tindak lanjut dari pengenaan Bea Meterai atas dokumen elektronik sehingga pembayaran Bea Meterai dapat dilakukan secara lebih sederhana dan efektif.

5. Saat Terutang

Untuk posisi saat terutang, ada beberapa pengaturan mengenai dokumen yang terutang Bea Meterai, yaitu pada saat dokumen dibubuhi tanda tangan, dokumen selesai dibuat, dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa dokumen tersebut dibuat, dokumen diajukan ke pengadilan, dan dokumen digunakan di Indonesia.

6. Pihak yang Terutang dan Pemungut Bea Meterai

Setelah dokumen, maka pihak yang terutang juga diatur. Ini terkait dengan pihak-pihak yang terkait pada poin kelima di atas. Pihak di sini mulai dari orang yang menerbitkan dokumen sepihak, dua pihak, surat berharga, alat bukti pengadilan, atau penerima manfaat atas dokumen.

Untuk Dokumen bersifat perdata yang menjadi objek Bea Meterai dapat dilakukan pemungutan bea meterai yang terutang. Ada tiga kewajiban pemungut bea meterai, yaitu memungut bea dari pihak yang terutang, menyetorkan ke kas negara, dan melaporkan kegiatan pemungutan ini.

7. Pemberian Fasilitas

Pemberian fasilitas dapat diberikan berupa pembebasan dari pengenaan Bea Meterai atas dokumen yang digunakan di empat kegiatan. Keempat kegiatan tersebut yaitu kegiatan penanganan bencana alam, kegiatan yang bersifat keagamaan dan sosial, kegiatan dalam rangka mendorong program pemerintah, dan melaksanakan perjanjian internasional.

8. Pengaturan Mengenai Sanksi

Dalam rangka penegakan hukum, Undang-Undang Bea Meterai yang baru juga mengatur sanksi baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pemenuhan kewajiban pembayaran Bea Meterai dan meminimalkan serta mencegah terjadinya tindak pidana pembuatan, pengedaran, penjualan, dan pemakaian meterai palsu atau meterai bekas pakai.

Selain 8 poin tersebut, dalam aturan peralihan Undang-Undang Bea Meterai ini terdapat ketentuan bahwa meterai tempel desain tahun 2014 masih dapat digunakan sampai dengan 31 Desember 2021.

Download:

UU No. 10/2020 tentang Bea Meterai
Salindia Bea Meterai

artikel ini pertama kali ditayangkan di Ayo Bandung

 
Copyright © 2021 Pradirwan and OddThemes