BREAKING NEWS

Catatan Kecil Diklat Perpajakan Menengah

Pusdiklat Pajak, Kemanggisan - Slipi 

Pradirwan ~ Kata "pajak" saat ini sedang naik daun. Setidaknya dalam dua bulan terakhir, dalam linimasa maupun obrolan aplikasi daring, kata pajak sering sekali disebut. Bahkan seringkali viral hingga diangkat menjadi berita di media nasional. Ini sih pendapat saya pribadi. Anda boleh setuju boleh juga tidak.

Oleh-oleh Jakarta

Bertemu kembali dengan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, (13/9)

Pradirwan ~ Bertemu kembali dengan Bu Sri Mulyani Indrawati setelah pertemuan terakhir saat beliau memberikan kuliah umum di Institut Teknologi Bandung (ITB) beberapa waktu lalu.

Sepotong Sore di Pantura

PradirwanKisah ini, ku tulis kembali. Bukan untuk membuka luka. Hanya mengabadikan kenangan. 
Mari sejenak kita mengingat kenangan lama. Kenangan yang pernah terbungkus indah. Meski kini tak kan pernah lagi sama.
Aku akan tetap ada disini dengan semua kenangan yang kau tinggalkan. 
***
sepotong sore di Pantura
“Brak!”
Dentuman itu terdengar dari motor yang semula melaju cukup kencang, dan berakhir dengan menabrak mobil pengangkut botol minuman yang terparkir di sisi jalan menuju sebuah SMK Negeri di daerah Cirebon. Ketiga remaja sekira 17 tahun pengendara sepeda motor tersebut jatuh. Mereka terpelanting dan tak sadarkan diri. Beberapa orang yang sedang di lokasi kejadian datang menolong dan membawa ketiganya ke rumah sakit terdekat.
Hasil rontgent menyatakan Ardhi menderita patah tulang pergelangan tangan kiri. Kedua temannya lebih parah. Beberapa hari berselang, Ardhi diizinkan pulang meski tetap harus beristirahat di rumah. Setidaknya, ia sudah terbebas dari suasana rumah sakit yang membosankan. Di kamarnya, di atas pembaringan berkelambu biru, Ardhi merenung. Kecelakaan itu hampir membuatnya kehilangan nyawa.
Dari balik dinding kamar, terdengar sayup-sayup suara perempuan. Benar saja, seorang gadis berbaju batik dengan kerudung merah membuka pintu kamar. Ia langsung memeluk dengan tangis yang pecah seketika. Seisi rumah hanya diam menyaksikan.
“Maafkan Nok, Ang,” gadis itu berkata sembari terisak, “karena Nok, Aang jadi begini. Aang jauh-jauh ke Losari hanya untuk menemui Nok, tapi sepulangnya jadi begini.”
Air mata si gadis semakin deras membasahi dada Ardhi. Ardhi bangkit dan menatap wajah si gadis. Tangan kanannya menyeka air mata yang mengalir di pipi gadis itu.
“Ini bukan salahmu, Nok Aya. Tegarkan hatimu. Aku tahu kau perempuan tegar, perempuan hebat dan sempurna. Tak perlu menyesali apa yang telah terjadi. Semua terjadi karena kelalaian Aang sendiri. Aang meminjam motor untuk ke kota padahal belum cakap. Terlebih berbonceng tiga. Syukurlah Aang hanya patah pergelangan tangan, kejadian lebih parah menimpa teman-teman Aang.”
Isak Nok Aya sedikit mereda. Kebisuan seisi rumah mulai mencair. Justru Ardhi penasaran, siapa yang memberikan kabar kecelakaan itu kepada gadisnya?
***
Ardhi menatap anak laki-laki sebayanya yang tampak lusuh. Baju seragamnya hampir tak kelihatan lagi warna putihnya, bahkan cenderung abu-abu atau kecoklatan. Tanah di tempat tinggal Suheri, nama anak laki-laki itu, berdebu dan hitam. Pun air sumurnya kecoklatan khas air tanah di pesisir Losari. Sebagai seorang sahabat, Ardhi kerap mengunjungi Suheri di Kalimati, sebuah desa kecil di perbatasan antara Cirebon dan Brebes.
Satu yang berbeda dari kunjungannya kali itu adalah, memori masa kecil kembali menyeruak di kepala Ardhi sepulang dari rumah Suheri.
***
Ardhi dan Nok Aya pernah bertetangga di salah satu desa di kecamatan Jamblang, Cirebon. Persahabatan orang tua mereka yang berlangsung sejak lama, membuat muda-mudi itu juga ikut berbagi suka-duka masing-masing. Kedua ibu mereka tak sungkan bertukar cerita, terlebih ketika mengetahui mereka hamil dan akan melahirkan di saat yang hampir bersamaan. Tentang usia kehamilan, keluhan sakit sepanjang masa kehamilan, perubahan ukuran perut, hingga menebak-nebak jenis kelamin bayi yang mereka kandung. USG belum masuki kampong mereka.
Kebahagiaan dua keluarga semakin lengkap setelah dua bocah mungil itu lahir. 11 Desember tujuh belas tahun lalu, Ardhi lahir. Hanya berselang beberapa jam, 12 Desember, Nok Aya lahir. Ditengah kehangatan dua keluarga itu pula, Ardhi dan Nok Aya tumbuh bersama. Penuh cinta kasih dan kebahagiaan. Meski tak ada hubungan darah, Ardhi menganggap Nok Aya lebih dari adiknya. Mereka seolah ditakdirkan selalu bersama.
Hingga suatu ketika, mereka terpisah karena harus melanjutkan pendidikan. Ardhi ke SMP (dulu SLTP) Negeri, Nok Aya ke MTs. Takdir seolah memperlebar jarak mereka. Keduanya semakin jarang bertemu. Satu-satunya kesempatan hanyalah saat Maghrib hingga Isya, mereka berdua salat berjamaah dan belajar mengaji di masjid desa tak jauh dari rumah mereka. Namun, kabar perjodohan mereka akhirnya tersiar bahkan sebelum yang dijodohkan tahu.
“Nak, dulu saat sama-sama mengandung, aku dan ibu Nok Aya pernah sama-sama berjanji. Jika kalian lahir sejodoh laki-laki dan perempuan, kami sepakat menikahkan kalian saat sudah dewasa. Namun, jika sama-sama laki-laki atau perempuan, kalian harus menjadi saudara layaknya saudara kandung,” cerita ibu Ardhi.
Baragkali beberapa cerita cinta memang tak hanya membutuhkan kebiasaan. Yang jelas, sejak cerita ibu Ardhi, benih-benih perasaan sebagai kekasih mulai tumbuh di hati keduanya. Juga takut akan kehilangan dan rindu dendam. Hampir setiap malam, mereka kembali semakin sering bertemu. Saat belajar mengaji, membahas PR, atau hanya sekedar mengobrol di teras rumah.
***
“Ang, besok keluarga Nok pindah ke Losari,”kata Nok Aya malam itu membuat Ardhi terperangah.
“Kok mendadak begitu, ada apa?”
“Di sana orang tua Nok akan memulai usaha baru, berdagang di pasar Losari.”
“Apakah Nok akan selamanya di sana?”
Nok Aya tak segera menjawab. Ada jeda sekian menit, lengkap dengan raut muka Nok yang berubah. Matanya lembab.
“Entahlah Ang. Mungkin setahun sekali, Nok akan ke Jamblang. Keluarga besar Nok kan masih di sini. Maafkan Nok ya, Ang.”
Bulan tinggal sepotong. Angin malam yang berhembus pelan menyapu wajah Ardhi yang tengah menahan perih yang entah. Setelah pamit, Ardhi melangkah gontai ke rumahnya. Takdir kembali mempermainkan hatinya. Perpisahan yang ini tak hanya perkara waktu tetapi juga jarak. Malam itu menjadi perpisahannya dengan Nok Aya.
***
Ardhi membongkar arsip dokumennya, mencari petunjuk keberadaan Nok Aya. Sejak malam itu hingga ia kini di SMK, Ardhi tak pernah berkomunikasi dengan Nok Aya.
Setelah dirasa cukup lengkap, Ardhi meminta Suheri mencari keberadaan Nok Aya di Losari. Hanya dengan berbekal nama dan ciri fisik yang diceritakan Ardhi, Suheri harus menelusuri sudut-sudut pasar. Namun, Ardhi tak salah memilih orang. Pasar Losari sudah menjadi keseharian Suheri karena di sanalah ia berbelanja kebutuhan dagang ibunya.
Suheri melihatnya sedang berjualan sandal dan sepatu di salah satu kios. Sejak pertemuan Suheri dengan Nok Aya itu, Ardhi aktif berkirim surat dengan Nok Aya. Keduanya merajut kembali kepingan-kepingan cerita dengan Suheri sebagai perantaranya. Berlembar-lembar surat, kumpulan puisi, bahkan cerita pendek Ardhi kirim kepada Nok Aya. Hingga suatu kesempatan, melalui surat pula, mereka membuat janji bertemu.
Takdir kembali berpihak pada suatu sore, 12 Desember 2000. Tepat di hari ulang tahun Nok Aya ke-17, mereka bertemu. Ardhi membawa kado ulang tahun istimewa, demikian pula dengan Nok Aya. Lebih dari itu, mereka membawa rindu berusia dua tahun lebih yang menuntut untuk segera dituntaskan. Namun, haru yang sempat menyusup itu harus berlalu begitu cepat. Secepat jingga di tepi barat cakrawala digantikan oleh gelap malam yang segera jadi pekat.
“Ang, Nok ijin pulang ya. Sekali lagi maafkan Nok. Hati-hati di jalan ya, Ang.”
Ardhi mengangguk. Ada rasa takut selepas kepergian Nok Aya seolah ini adalah pertemuan terakhir mereka. Ardhi singgah di sebuah masjid saat perjalanan pulang. Ia gelar sajadah di salah satu sudut dan bermunajat.
“Rabbi, aku bersyukur karena Engkau telah pertemukan kami kembali. Izinkanlah kami bertemu kembali meski hanya sekali.”
Air mata berlinang. Ia tak sanggup lagi meneruskan kata-katanya. Tak terasa, ia sudah terlelap di masjid itu hingga fajar. Lalu berniat berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda motor naas itu.
***
Dua tahun berlalu. Rumah di Jamblang yang lebih dari lima tahun tak pernah Nok Aya kunjungi, sore itu ramai dengan keluarga besar yang tengah berdoa bersama. Lantunan ayat suci terdengar. Ardhi bergegas menuju rumah itu dan melihat Nok Aya terbaring di hadapannya. Ia tampak sangat letih. Nafasnya sangat pelan. Badannya tak bergerak sedikit pun. Hanya kelopak matanya yang terlihat sesekali menutup. Ardhi tahu, dalam diam, Nok Aya sedang tersenyum kepadanya sambil menahan sakratulmaut. Kali ini, takdir berkata tegas. Doa Ardhi di sebuah masjid sebelum kecelakaan itu, dijawab dengan leukimia yang merenggut nafas Nok Aya.
***
Aang = bahasa Cirebon, panggilan untuk “kakak” baik laki-laki maupun perempuan. Beberapa daerah di Cirebon mengkhususkannya untuk laki-laki.
Nok = bahasa Cirebon, panggilan untuk anak perempuan. Seperti “nduk” dalam bahasa Jawa, atau “neng” dalam bahasa Sunda.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh birokreasi 

Mudik


Pradirwan ~ Musim pulang kampung nasional itu, mudik, telah lewat. Ia membuktikan kemajuan teknologi informasi nyatanya tak mampu menggantikan segala hal. Kita tetap melihat para perantau berbondong-bondong pulang ke kampung halaman, hanya untuk berkumpul dengan keluarga besar saat Idul Fitri tiba. Mereka telah bersiap jauh-jauh hari sebelumnya, berdesak-desakan agar tak kehabisan tiket, atau bermacet-macet sepanjang jalur pantura.

Di jalan-jalan lintas yang biasanya lowong, kemacetan tiba-tiba merangsek dari segala penjuru. Tidak hanya karena jumlah pengendara, kemacetan justru lebih sering karena segelintir oknum tak mau mematuhi aturan lalu lintas. Berhenti seenaknya, menyerobot jalur, dan banyak lagi. Merekalah yang bertanggung jawab atas banyak kecelakaan yang terjadi.

Baca juga: Kita Di Sini, Mei

Kalau dipikir-pikir, hidup di dunia ini tak ubahnya berkendara di jalan raya. Namanya berkendara, tentu ada kendaraan, jalan, dan tujuan. Tubuh kita menjadi kendaraan bagi jiwa, seisi dunia sebagai jalanan panjang, sementara tujuannya adalah apa pun yang kita bayangkan sebagai keberhasilan.

Layaknya berkendara, akan ada petugas yang membantu mengatur lalu lintas. Saat mudik, kita akan melihat banyak petugas kepolisian dan dinas perhubungan yang sedang piket. Selain mengatur lalu lintas, mereka juga berpatroli, menertibkan, kadang-kadang juga memberi sanksi bagi para pelanggar. Merekalah aparat hukum di jalan raya. Sementara untuk hukum semesta, ketentuan Tuhan, ada malaikat dan makhluk lain yang ditugasi menjadi aparatusnya.

Sepanjang jalan, mesti ada rambu-rambu yang harus ditaati bersama. Jika semua pengendara mematuhi rambu-rambu, tentu kita sampai ke tujuan dengan selamat. Rambu-rambu itu juga menjadi penanda, sebuah isyarat, bentuk kasih sayang Tuhan kepada kita. Rasa sayang yang begitu besar untuk memastikan kita selamat dan menjadi pemenang dalam kehidupan masing-masing.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” QS. Ali Imron : 190

Pun meski waktu perjalanan dan tujuannya sama, tetap akan ada perbedaan yang spesifik dalam meraih tujuan. Pengendara yang sama-sama menuju Cirebon, ada yang memilih mobil, motor, atau kereta api. Begitu juga waktu tempuh, kadar kelelahan, dan banyak lainnya. Lantas kenapa harus takut podium kemenangan akan direbut orang lain? Kenapa harus takut tidak kebagian tempat setelah sampai di Cirebon?

Mestinya kita tak perlu kebut-kebutan, berusaha menyalip, apalagi sampai menjatuhkan pengendara lain. Semua pasti akan sampai ke tujuan masing-masing. Sangat tidak mungkin Tuhan menciptakan manusia hanya untuk ngebek-ngebeki jagad, layaknya pengisi daftar penerima subsidi atau kartu miskin. Pasti ada tujuan yang lebih besar untuk penciptaan kita, bahwa setiap manusia diciptakan untuk berhasil dan menjadi hebat, menjadi pemimpin dan pemenang. Sekalipun diri sendiri sebagai skala minimal, setiap manusia pasti punya manfaat bagi orang lain.

Kalau semua diciptakan jadi pemenang, tak perlu dong kita semua bersaing? Tidak juga. Persaingan tetap perlu, setidaknya untuk mengenal versi terbaik dari diri kita. Yang tak boleh adalah bersaing untuk mendapatkan sesuatu yang bukan hak kita. Tak perlulah menyerobot jalan orang lain. Kita semua punya jalan masing-masing dan rejeki tidak akan tertukar.

Jadi, kapan kita mudik?

Bandung, 21/6/17

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh birokreasi http://birokreasi.com/2017/07/mudik/

Rayuan Air Jernih Telaga Nilem

Telaga Nilem 
Pradirwan ~ Telaga Nilem berada di desa Kaduela, kecamatan Pesawahan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Akses memasuki lokasi Telaga Nilem masih satu arah menuju Telaga Remis, bahkan pintu masuknya masih sama. Nah, lokasi Telaga Nilem ini tak jauh dari pintu masuk.

Mak Iyah

Pradirwan ~ Siapa yang tak kan merasa iba melihat derita Mak Iyah?
Mak Iyah, saat menerima bantuan berupa kursi roda dan bahan makanan (16/6).

Catatanku tentang Wefie

Wefie 

Pradirwan ~ Melakukan berbagai kegiatan bersama teman memang bisa menjadi kegiatan asyik saat senggang. Keseruan momen kumpul bareng ini rasanya belum lengkap tanpa melakukan wefie

Terlebih jika momen kumpul bareng tersebut sangat langka, seperti salah satu momen di #photo yang saya unggah ini. Bisa satu frame bareng Walikota Bandung pak @ridwankamil, Kakanwil DJP Jawa Barat I, Kepala KPP Pratama Bandung Cibeunying, dan Ketua API.

Wefie atau we-selfie saya artikan sebagai kegiatan memotret sendiri memanfaatkan kamera telpon pintar atau kamera lainnya yang kemudian diunggah ke sosial media atau aplikasi obrolan daring.

Berbagai alasan kenapa orang senang melakukan wefie. Alasan utamanya karena bosan share terus-terusan foto selfie. 

Sudah jelas bukan yg dimaksud foto selfie? Yupz, memotret diri sendiri. (baca selengkapnya: Apa sih Definisi Foto Selfie Itu?)

Kebayang kan foto selfie itu sendirian terus. 

Ga mau kan kalo ada yang nyangka kamu ga punya temen? 

Atau gara-gara sering selfie jadi muncul pertanyaan aneh,  pasangan kamu mana? 

Atau yang lebih parah, kamu sedang ikutan uji nyali ya? Kok sendirian terus? Nah loh.

Nah, untuk menghindari itu baiknya sering-sering bikin foto wefie. Kenapa? 

Memories never dies, right?
Sependek pengetahuan saya, sebuah foto selalu menyimpan kenangan. 
“Hal terbaik mengenai sebuah gambar adalah gambar itu tidak pernah berubah, bahkan ketika orang-orang yang ada di dalamnya sudah berubah." - Andy Warhol 
Dari sebuah foto ia akan mampu bercerita. Malah ada yang bilang sebuah foto bisa bercerita lebih dari 1000 kata. (baca juga: Bercerita Lewat Fotografi, Bisakah? )

Sebuah foto memiliki kemampuan untuk menunjukkan emosi, gairah, narasi, gagasan serta pesan. Ia merekam semua cerita itu. (Baca juga artikel ini: Fotografi Dokumentasi )

Selain itu, bikin foto wefie itu bisa ngajak orang supaya gampang ngumpul. 

Ya, waktu kita keluarkan jurus wefie kita, pernah ga ngalamin tiba-tiba​ yang tadinya ga masuk frame mendadak merapat? Pernah kan? 😂😂😂

Wefie itu juga bisa mendatangkan pahala. 

Kebayang kan yg tadinya masing-masing sibuk lihat hapenya, terus ada ajakan wefie. Masing-masing jadi pasang muka senyum kan? Nah, senyum kan ibadah juga toh?

Wefie juga bikin kita mikir. 

Mikir gimana supaya orang yang banyak ini semuanya bisa masuk dalam satu foto. Ga asik kan kalo ada temen kita yang kepotong fotonya.

Dan alasan terakhir, biar ga kece...pian😂. 

Semakin banyak orang dalam foto kita semakin ngerasa kalau diri kita punya temen, ga spt uji nyali.😎😎

Bandung, 13/06/2017
 
Copyright © 2021 Pradirwan and OddThemes