BREAKING NEWS

Nasi Jamblang, Kuliner Khas dari Cirebon

Nasi Jamblang
Nasi (sega) Jamblang


Pradirwan - Berbicara tentang kuliner yang satu ini, jadi kangen kampung halaman. Ya, kuliner yang sudah terkenal di Jawa Barat (mungkin juga sudah nasional) ini memang berasal dari kampung halamanku, Jamblang - Kabupaten Cirebon.

Jamblang yang dimaksud di sini bukanlah nama tumbuhan yang buahnya berwarna hitam mirip anggur namun memiliki rasa sepat masam (ada juga yang menyebutnya jambu keling atau duwet). Jamblang adalah nama Desa dan Kecamatan di Kab. Cirebon, Jawa Barat. 

Kalau kamu mudik lewat pantura via Palimanan dan tidak lewat tol Palikanci (Palimanan-Kanci), pasti melewati desa Jamblang ini. 
Warga Jamblang dan Cirebon menyebut kuliner ini dengan sega (nasi) Jamblang.

Sega Jamblang adalah sebutan untuk nasi putih yang dibungkus dengan daun jati dengan bermacam-macam lauk pauknya, seperti sambal goreng, sate usus, daging semur, paru goreng, blakutak (cumi tinta hitam), sate kentang, dan lain-lain. 

Saat ini sega Jamblang biasa dijajakan prasmanan. Setiap pembeli bebas mengambil nasi yang sudah terbungkus daun jati berikut lauk-pauknya yang tersimpan di dalam baskom. 

Uniknya, akan lebih nikmat dimakan secara tradisional dengan ’sendok jari’ dan alas nasi beserta lauk pauknya tetap menggunakan daun jati.

Sebenarnya tidak ada yang terlalu istimewa pada nasinya, hanya nasi putih biasa yang harus didinginkan terlebih dahulu beberapa jam, baru setelah itu dibungkus dengan daun jati. 

Ukuran nasinya tidak terlalu banyak, hanya segenggaman tangan orang dewasa. Kalau dibungkus pada saat panas akan membuat nasi berubah menjadi merah. Hal itulah yang dihindari. 

Biasanya setelah nasi matang, langsung dikipas dan diangin-anginkan. Cara tradisional seperti inilah yang membuat nasi tahan lama (tidak cepat basi).

Sejarah Nasi Jamblang


Konon, awalnya sega Jamblang ini dibuat untuk para pekerja paksa di zaman Belanda. Ketika itu, para pekerja sedang membangun jalan raya Daendels dari Anyer ke Panarukan yang melewati wilayah Kabupaten Cirebon, tepatnya di Desa Kasugengan.

Asal mula nasi Jamblang ini dimulai pada tahun 1847. Kala itu, pemerintah kolonial Belanda membangun pabrik gula di wilayah Gempol Palimanan, pabrik gula Plumbon, dan pabrik spiritus di Palimanan. 

Dengan dibangunnya pabrik, pasti membutuhkan banyak tenaga kerja yang berasal dari warga di wilayah kawedanan Palimanan, Plumbon, dan sekitarnya.

Para pekerja di ketiga pabrik tersebut dibutuhkan untuk perkebunan sebagai buruh lepas maupun di kawasan pabriknya itu sendiri, terutama pada bagian perbengkelan, transportasi, administrasi, dan keamanan pabrik. 

Para buruh yang berasal dari tempat yang jauh seperti Sindangjawa, Cisaat, Cimara, Cidahu, Ciniru, Bobos, dan Lokong harus berangkat pada pagi-pagi buta dari rumahnya masing-masing. 

Mereka membutuhkan sarapan, sedangkan penjual nasi pada saat itu belum ada. Hal ini karena adanya anggapan bahwa menjual nasi itu tidak boleh atau pamali. 

Ini bisa dimaklumi karena peredaran uang kala itu masih sedikit. Bahkan, orang tua dulu lebih banyak menyimpan padi atau beras ketimbang menyimpan uang. 

Mereka berpikir tidak menyimpan uang tidak apa-apa, namun apabila tidak menyimpan padi atau beras maka hidupnya bisa sengsara. Menyimpan uang lebih berisiko karena ada rasa ketakutan tidak bisa makan.

Singkat cerita, ada seseorang bernama Ki Antara atau H. Abdulatif dan istrinya Ny. Pulung atau Ny. Tan Piauw Lun yang melihat banyak buruh lepas pabrik yang mencari warung penjual nasi. Ki Antara memberanikan diri untuk memberikan sedekah beberapa bungkus nasi kepada para pekerja tersebut.

Rupanya berita kebaikan Ki Antara dan Ny. Pulung ini menyebar dari mulut ke mulut. Pada akhirnya bertambah banyaklah pekerja yang meminta sarapan pagi kepada mereka. 

Ny. Pulung selalu menolak setiap pemberian uang dari para pekerja tersebut, namun para pekerja menyadari bahwa segala sesuatu yang dapat dibeli harus dengan mengeluarkan uang. Lambat laun, mereka bersepakat hanya memberikan imbalan ala kadarnya kepada Ny. Pulung.

Kenapa nasi Jamblang menggunakan pembungkus dari daun jati?


Tekstur daun jati yang tidak mudah sobek dan rusak menjadi alasannya. Selain itu, dengan menggunakan daun jati, nasi menjadi lebih pulen dan tidak cepat basi walaupun terbungkus dalam waktu yang cukup lama. 

Tak hanya itu, para pekerja yang berasal dari berbagai wilayah di selatan Cirebon seperti Sindangjawa, Cisaat, dan sekitarnya menjadikan daun jati ini sebagai pelindung kepala di saat terik matahari. Cirebon memang dikenal dengan cuacanya yang panas, khas pantai utara Jawa. 

Inilah peran dari Ny. Pulung. Ia mencoba hal berbeda untuk membungkus makanan. Sampai sekarang, sega Jamblang selalu menggunakan daun jati sebagai pembungkus nasinya. Ini pulalah yang menjadi salah satu ciri khas dari nasi Jamblang.

Jika kamu berkesempatan ke Cirebon, jangan lupa mencoba kuliner khas Cirebon yang satu ini. Dijamin maknyus. (*)

Pradirwan, 24 November 2013

*dirangkum dari berbagai sumber

Share this:

3 comments :

  1. waktu mampir di cirebon saya diajak temen yg asli cirebon makan jamblang pelabuhan, enak..

    kalo mas Herry favoritnya dmn?

    djangki

    ReplyDelete
    Replies
    1. di Jamblang-nya dong.. dekat pasar/Griya Jamblang.

      Delete
    2. Memang ada beberapa lokasi penjual nasi Jamblang yang akrab di telinga. Salah satunya Nasi Jamblang Pelabuhan, terletak di sebelah Taman Ade Irma Suryani, Pelabuhan Cirebon yang mas sudah kunjungi itu.

      Selain itu ada Nasi Jamblang Mang Dul di Jalan Cipto Mangunkusumo. Tepatnya di depan Grage Mal Cirebon.

      Lokasi lainnya adalah Sega Jamblang Bu Nur yang berada di Jalan Cangkringan, Kota Cirebon.

      Untuk harga cukup terjangkau. Rata-rata setiap item makanan dijual Rp 1000 sampai Rp 5000. Jadi, satu porsi makan antara Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu saja. Pas lah pokoknya. hehehe

      Delete

 
Copyright © 2021 Pradirwan and OddThemes