BREAKING NEWS
Showing posts with label puisi. Show all posts
Showing posts with label puisi. Show all posts

Apa Kabar, Bu?


Apa Kabar, Bu (dok.pribadi)
Apa Kabar, Bu?



Apa kabar, Bu?

Siang ini aku menjengukmu lagi

Tanpa bicara sepatah kata




Di depanmu

Aku teringat kala Ibu belajar mengaji

Saat aku sudah beranjak dewasa

Terbata-bata mengeja huruf hijaiah

Tiada kenal menyerah




Aku terngiang lagi kata guru ngajimu

Bersaksi tentang dirimu

Katanya, murid yang baik itulah Ibu.

Lalu dia mendoakanmu, Bu




Sama sepertiku

Saat mentari semakin layu

Tertutup awan kelabu

Di atas pusaramu




"Selamat Hari Ibu"




***




Pradirwan

Cirebon, 22 Desember 2020

(Mengenang 40 hari wafatnya Ibu)

Pada Sebuah Senja

Pada Sebuah Senja
Pada Sebuah Senja

Pada sebuah senja yang terengah-engah
Langkah kakiku jengah,
Menapak jejak rindu di semburat jingga
Rekah wajahmu pun singgah

Pada sebuah senja yang liukkan sunyi
Ada doa yang kurapalkan tanpa henti
Yang membuat jantung ini selalu hidup,
Karena huruf demi huruf namamu kuhirup

Pada sebuah senja
Malam bergegas menutup tirai
Bertanya mimpi perihal jalan pulang
Tentang namamu yang tak pernah hilang

Barangkali
Rindu ini laksana mimpi yang mengabadi
Dalam larik-larik puisi
Tentangmu, Kekasih.

Pradirwan
Bandung, 17 September 2019

Pagi Ini

Pagi Ini, Bromo, Malang
Pagi Ini



Pagi ini
Aku sendiri lagi
Di peraduan sunyi
Gigil rindu menghampiri

Pagi ini aku ingin menulis puisi
tentang kamu juga rinduku
sekadar melarutkan kata
menghantar imaji ke dalam bias asap
dari secangkir kopi

Pagi ini
Meski kita belum lagi bisa bersama
setidaknya kita bahagia
jauh di dalam dada,
terucap oleh lirih doa kepada Sang Pencipta.

Kelak, jika semesta tak mengizinkan kita
untuk selalu bersama,
setidaknya dalam kata dan alinea
kita masih bisa saling menyapa.


Aku merindumu, Cinta!


Malang, 3 September 2019

Senja yang Tak Lagi Sama

Senja yang Tak Lagi Sama
Senja yang Tak Lagi Sama



Untuk kesekian kalinya
aku menikmati bias jingga yang merona
membasuh kaki langit yang sama

Katamu
Kasihku tidaklah berarti
Seperti malam yang tak mampu mengusir sepi
Lalu, untuk siapakah aku menanti
Menanam rindu berhari-hari?

Sebelum luka di hati ini kian berlubang
Izinkan rasa ini aku buang
Membiarkannya menghilang
Bersamamu
dan segala kenang

Rapuhku karena acuhmu
Risauku karena diammu

Sejenak kupandang lagi senja
Mengabu pucat, tanpa jingga

Senjaku kini tak lagi sama

Pradirwan,
Bandung, 14 Maret 2021

Andai Saja


Puisi "Andai Saja"


Andai saja

Mata kita mampu mengintip dari celah tirai hikmah

Ujung dari perjalanan kita

Mungkin akan lahir ribuan ujaran rasa syukur

atas segala dinamika ketidaknyamanan ini




Andai saja

Kita mengerti bahwa hidup adalah perjalanan

Akan kita gembirakan tiap langkah itu




Andai saja

Kau pinjamkanku sedikit tawa

Akan kulupakan cerita

Sedih di jiwa




Andai saja

Kau teteskanku sedikit air mata doa

Agar dapat kuyakinkan diri bahwa

Duka takkan menghuni hati ini

Untuk selamanya.




Tulislah sedikit kata-kata bahagia

Rayulah aku seperti senja

Atau fajar yang menyapa

Agar kuterlupa

Apa rasanya terluka




Andai saja.




Curug Malela, 5 Januari 2019

Kepada Wijaya Kusuma Aku Bercerita

bunga wijaya kusuma
wijaya kusuma



Aku terdiam sepanjang malam

Di bawah naungan keraguan

pendar sinar rembulan

Mendung memaksa untuk merundung

Kala semesta sedang berkabung



Aku kehilangan sebuah aksara

Yang ku kemas dalam rima-rima

Untaian makna pun kian lara

Hingga puisi tak lagi bersuara



Kepada Wijaya Kusuma aku bercerita

Tentang mimpi-mimpi anak bangsa

Jiwa-jiwa pengembara akan terus mengembara

Demi karya dan cinta



Tuhan

Engkau tau seberapa kuat langkahku

Kuatkanlah aku di setiap bulir bening air mata itu




Izinkanlah,

ikhlasku terangkum dalam bait-bait doa

menyabdakan tabahku pada sisa harapan yang ada


Kepada Wijaya Kusuma aku pernah bercerita

Tiap tetes air mataku penuh makna

Betapapun perihnya rasa kehilangan di dada

Akan selalu ada asa membara

Karena aku percaya

Tuhanku Maha Sempurna

Tuhanku Pemilik hati dan jiwa




Pradirwan

Bandung, 12 September 2019

Sepotong Bahagia Sisa Semalam


Mentari Senja (ilustrasi) Puisi Sepotong Bahagia Sisa Semalam (Pradirwan)
Ilustrasi: Mentari Senja (Pradirwan) 


Sepotong bahagia sisa semalam
Meriuh tawa pada gelas kaca
Mengusir senyap
Bayangmu pun lindap

Aku berteduh
Pada peluh meluruh
Gemuruh hujanku reda, badaiku pun usai
Tersisa lengkung senyum yang terjuntai

Kelak akan tiba masanya
Keakraban hanya sebatas kata
Dingin, sehening senja
Lalu, akan kupastikan
Sesalmu adalah kesia-siaan
Dalam ceruk persembunyian


Pradirwan
Bandung, 11 Agustus 2020

Tak Ada yang Istimewa

 Sunset Pradirwan Tak ada yang istimewa


Dulu,

Pernah kau berkata, "Tunggu aku!"
Dan aku mau
Tidak peduli kau datang lagi
Atau selamanya pergi


Dulu,

Aku simpan setiap kenangan
dalam ingatan
Mengira semua istimewa


Lalu,

Sehabis hujan sebentar
Tubuh siapa yang lebih gemetar
Menahan cinta yang lapar?

Siapa yang lebih dulu menyerah?
Cinta yang patah
atau rindu yang menggerutu?


Nyatanya,

Sungguh ku rindu
Meskipun ku tahu
Tidak ada yang istimewa
dari rasa yang aku lahirkan sendiri


***

Pradirwan
Bandung, 3 Desember 2018

Aku Rindu, Dik

Puisi Pradirwan Aku Rindu, Dik
Aku Rindu, Dik (Pradirwan) 

 

Biar kujerang kata-kata ini, Dik
Menanaknya menjadi puisi
Rinduku membuncah hingga ke ubun-ubun
Berlumut dan membatu, mendamba temu

Dalam kekalutanku
Pisau waktu mengiris jiwaku
Memisahkan cemas dan pilu menanti sosokmu
Sabarku jatuh dari segala penjuru

Pelik ini tak kunjung rampung, Dik
Sementara gelap semakin membayang
Aku rindu pada yang mereka sebut pulang
Aku rindu pada yang mereka sebut tenang

Mentari yang jatuh di halaman rumahmu
Nyatanya tak mampu menyampaikan isyarat
Bahwa rasa ini telah mengiba sejauh-jauhnya
Hanya pasrah yang melesap ke dalam tanah

Sepasrah aku yang mendidih 
Dipanggang jarak dan waktu
Olehmu

***
Pradirwan
Bandung, 25 Juli 2020

Tuhan, Aku Jatuh Hati


Puisi Tuhan, Aku Jatuh Hati Karya Pradirwan
Tuhan Aku Jatuh Hati (Foto: Pradirwan, Stasiun Kiaracondong Bandung)


Kumaknai dingin pagi ini

Laksana sunyi yang diam

Tempat embun menyajakkan kenangan

Merupa doa penuntun perjalanan


Larik-larik puisi menari

di antara sinar mentari pagi

Guratannya melagukan asa untuk memulai hari

Mengenalkan tenang

Pun ketika fajar menafsir damai

dalam bait-bait doa


Tuhan, aku jatuh hati!

***


Pradirwan
Bandung, 17 November 2018


Memoar Tentangmu


Puisi Memoar Tentangmu
Memoar Tentangmu


Ada satu kata
yang sering kuungkap dalam bait puisi
yang sering mengiringi debar hati
Tentang senja, gerimis, dan fatamorgana

Kau tahu?
Hari-hariku kini berpacu dengan waktu
Mengurai mimpi-mimpi yang beku
Melenyapkan rindu yang kian bertalu-talu
Mendamba jawabmu

Untukku sekadar mengobat pedih ini
Untukku sekadar merajut lagi mimpi-mimpi
yang diremukkan keadaan
menjadi serpihan-serpihan
yang terserak di sepanjang jalan

Jarak memang telah memisahkan kita
Dan kau telah biarkanku sendiri
merawat janji setia
yang sering kutitipkan lewat doa

Kini biarkan aku bermain-main
Dengan segala ingin
Mencintaimu dari jauh
Mengikuti arah rindu
Meski harus menentang semesta
dan tertawa dalam rinai air mata

Hingga kelak...
Ku temukan sebuah senja
yang akan menjadi narasi penutup kisah kita
yang akan dikenang selamanya
tanpa dendam dan duka

Kita sepakat saling pisah
Dengan menyimpan segala tanya
Membiarkannya menjadi rahasia
Berganti dengan jiwa yang kuat
Memendam rasa yang kian lekat


Pradirwan,  
Bandung, 8 November 2020

Pengalaman pada Sepotong Senja

pengalaman senja di pantai ujung genteng
Pengalaman pada sepotong senja (Pradirwan)


Tiada pengalaman yang lebih indah daripada pengalaman saat kita menikmati sepotong senja. Duduk beralas pasir putih diiringi deru ombak dan angin pantai. Menatap langit tepi barat dan menyaksikan jejak sang surya tenggelam pada petak-petak langit jingga.

Seperti senja itu, saat aku melepas lelah setelah seharian berjalan, menelusuri jalanan penuh liku menuju pantai ini.

Sungguh, aku rindu kembali ke pantai ini dan menatap lagi langit senjanya.

Pada senja kala itu, kita berjalan menyusuri pantai berpasir putih. Kita memang sengaja datang walaupun satu per satu pengunjung telah banyak yang pergi.

Kali ini, aku datang sekadar bernostalgia. Aku ingin merasakan kembali pengalaman senja di atas pasir putih. Desau angin dan riak ombak samudera menjadi teman sepi. Pantai ini cocok bagiku menjadi tempat duduk menyendiri.

Aku datang sekadar bernostalgia. Sialnya, aku berjumpa dengan kesunyian tiada tara. Ombak serasa mati. Tak lagi berkejaran ke pantai. Tak ada lagi suara pengunjung. Semuanya hilang, lenyap ditimbun waktu.

Pengalaman yang ku cari tak dapat ku temui. Di ujung horizon, mentari senja terbelah kemudian perlahan-lahan hilang. Ia meninggalkan petak-petak jingga pada awan yang tak beraturan di langit.

Aku duduk di hamparan pasir putih dan mataku terpana pada langit jingga.

"Indah sekali!" Pujiku dengan suara tak terucap.

Itu suara dalam keheningan. Pujian hati pada sepotong senja yang indah tak terkatakan. Mataku terpana. Jiwaku terhibur menyambut keindahan senja yang menakjubkan itu.

Tiba-tiba bayangan itu muncul. Bayangan aku dan kamu saat senja merelakan jingga kepada malam. Lantas hilang, terkubur kenanganku sendiri.

***

Pradirwan
Ujunggenteng, 15 April 2019

Di Sana, Pada Suatu Senja

Di Sana, Pada Suatu Senja (Pradirwan)


Mungkin kau pernah bertanya
Mengapa waktu seringkali memainkan rasa
bersama hati dan raga?

Di sana, pada suatu senja

Awan kadang gemar menjahit senja,
namun enggan menemui jingga.

Sementara aku hanya bisa menyampaikan syair kerinduan,
yang terlanjur diam disekap ruang.

Biarkan hari ini jiwa menyatu,
membayar rindu,
lantas mengutuk waktu.

Ah, benarkah senja memang begitu sedari dulu?

Pernah suatu kali jingga merona mencakar cakrawala,
lalu jatuh dalam wajahmu,
menjelma nyanyian rindu,
kala malam menutup pintu.

Hingga senja berkata
menjawab semua tanya
tentang alasan kepergian yang tanpa aba-aba

Sementara aku terpekur
terikat dalam belenggu rasa yang temaram

Lalu menyerpih dalam lapisan langit yang jatuh pada kelamnya sebuah perasaan

Merindumu sungguh berat
Tapi percayalah, aku sanggup!


Pradirwan
Ujunggenteng, 15 April 2019

Bangunan Tua

Bangunan Tua (doc. pradirwan)

Bangunan Tua

Bangunan tua itu ingin bercerita
Tentang masa lalunya
Tentang kesendiriannya
ditengah belantara kota
Adakah dia bersama cinta?

Namun sayang,
Kisahnya kini hampir usang
Tak ada lagi yang mendengar
Terbiar sendiri kedinginan
Di pelataran sunyi malam
Hanya dapat memandang
Tanpa berani berkata
Tersumpal gaung dunia

Maka ia sekali lagi menyendiri
Dalam dunianya yang sepi
Menatap waktu
Yang mengubah padang
Menjadi gersang

***
Pradirwan, 
Bandung, 12/04/2019

Catatan di Kala Senja

Catatan di Kala Senja
Catatan di Kala Senja (photo by Slamet Rianto)


Aku membuka kembali sebuah catatan yang pernah aku buat beberapa saat lalu. Di sebuah senja saat mentari perlahan turun menyisakan lembayung.

Sebuah catatan yang memuat sedikit banyak hal penting dalam percakapan kita saat itu. Percakapan dan perkenalan kita yang singkat menjejak kenangan. Di hari itu, saat khotib belum berkhutbah pada sholat Jumat siang itu.

Kini, hadir dihadapanku senja yang ganjil, senja yang terik namun dingin, dan ingatan-ingatan yang perlahan luput di hadapan sang waktu.

Mungkin begitulah cara kerja ingatan, tidak pernah membuat kita benar-benar melupakan sesuatu. Selalu ada jejak yg tertinggal. Sebuah kesan yang mendalam. 

Ia tak seperti jejak pada pasir pantai yang dihapus gelombang, sirna tak berbekas. Ingatan kali ini adalah kesan dan ucapan yang dikekalkan waktu. Dan aku berhasil mencatat dalam buku ini. Meski terkadang ia dapat juga hadir lewat lagu, atau tanggal-tanggal pada kalender.


***

Pradirwan,
Bandung, 03 Juni 2017
 
Copyright © 2021 Pradirwan and OddThemes