Semoga langit mendung ini bukan pertanda duka. Karena di bumi ada hati yang patah.
Mendung di Jatiluhur Purwakarta |
Pradirwan - Tempat ini indah. Mungkin itulah yang muda-mudi itu rasakan saat duduk menghadap tepian Waduk Jatiluhur, Purwakarta.
Mereka betah berlama-lama duduk di tempat itu meski mendung menggelayuti senja. Angin sepoi menyapa kumpulan eceng gondok dan bebatuan besar di salah satu sisi waduk, sebelum akhirnya menyentuh kulitnya.
Sementara di seberang, nampak gunung berjejer mengelilingi waduk terbesar di Indonesia ini. Tempat ini memang nyaman untuk menikmati senja. Menikmati semilir angin sore yang menerpa wajah mereka. Entah apa yang mereka pikirkan, keduanya hanya terdiam. Duduk melamun. Membiarkan pikiran masing-masing melayang jauh tak menentu.
Pemuda itu akhirnya bersuara.
"Aku akan melanjutkan studiku ke Jepang. Aku harap kamu bisa menerima keputusanku ini," ucapnya lirih.
Cewek di samping pemuda itu menoleh. Ia seakan tak percaya yang diucapkan kekasihnya. Kata-kata yang diucapkan ditengah perdebatan batinnya antara rela dan tidak rela akan kepergiannya ke Jepang.
"Bukan maksudku untuk meninggalkanmu dengan begitu saja. Tapi aku mohon mengertilah dan terima keputusanku ini."
Begitu hati-hati dan pelan pemuda itu mengucapkan kata-kata itu. Tapi tidak begitu bagi ceweknya. Kata-kata itu menyelinap masuk begitu saja ke setiap memori otaknya. Ingin rasanya ia meminta untuk mengulangi perkataan itu sekali lagi. Tapi apa daya. Bayangan perpisahan mencekat perasaannya. Hati memang tak bisa dibohongi. Baginya, rencana itu membuyarkan kebahagiaannya.
"Jangan menyakiti perasaanmu sendiri. Katakan apa yang ingin kamu katakan," imbuhnya sambil menatap wanitanya.
Genangan air matanya mulai tumpah. Ia tak sanggup lagi menahan gejolak perasaannya.
"Menangislah jika kamu ingin menangis. Menangislah jika itu membuatmu tenang. Tapi ingat, kamu hanya boleh menangisi yang memang layak untuk kamu tangisi. Air matamu itu sangat berharga."
"Tolong, antarkan aku pulang!"
Cewek itu berdiri. Tatapannya memandang jauh ke Bendungan yang mulai dibangun 1957 oleh kontraktor asal Prancis Compagnie française d'entreprise itu. Pikirannya melayang jauh. Seolah ia ingin setegar bendungan itu untuk membendung rasa yang berkecamuk di dalam dadanya.
Kekasihnya akan pergi, meninggalkannya dan kota kecil itu. Juga kenangan. Bayangan rindu yang terpisah ribuan kilo meter mulai menghantuinya. Bukankah rindu yang terpisah jarak itu sungguh menyiksa?
Baginya, yang ia butuhkan saat itu hanya ingin segera pulang dan mengunci diri di dalam kamar. Membenamkan wajahnya yang memerah penuh air mata dengan bantal. Menangis sejadi-jadinya. Karena itu yang bisa membuatnya tenang, setidaknya untuk saat itu.
Sudah dua tahun ini, kedua sejoli ini bersama. Menyusuri setiap sudut kota kecil itu dan merangkai kisah demi kisah.
Pemuda itu pun berdiri dan melangkah ke sepeda motornya. Dingin. Tanpa kata-kata. Tak berapa lama, motor 125 cc itu pun menyala. Keduanya berlalu meninggalkan tempat itu. Mereka tak peduli dengan puluhan pasang mata yang tengah memandanginya. Sebuah keadaan yang membuat mereka menjadi sangat asing.
Gerimis mulai membasahi bumi. Rintiknya menerpa wajah wanita itu. Semakin lama kian deras.
Di sepanjang jalan yang berkelok-kelok itu tak ada percakapan berarti. Semua tenggelam dengan pikirannya masing-masing.
Niatan kekasihnya melanjutkan studi ke Jepang menyisakan kebimbangan. Apakah ia tak rela? Atau mungkin hatinya rela namun masih belum siap? Kenapa ini terasa terlalu mendadak? Sebenarnya apa yang terjadi dengang kekasihnya itu? Berbagai perasaan dan pertanyaan itu berkecamuk dalam benaknya.
Ia percaya jika kekasihnya tidak akan meninggalkan dirinya sepenuhnya. Hati mereka akan tetap dekat walaupun raganya terpisah jauh. Namun ia merasa gamang.
Selayaknya perpisahan, selalu ada yang hilang, tak lengkap, dan membuat hidupnya menjadi tak nyaman nantinya.
Bahwa pada setiap perpisahan, pasti meninggalkan bekas yang tidak akan sembuh dalam waktu dekat. Biar bagaimanapun, tidak ada yang akan baik-baik saja tentang sebuah perpisahan.
Beberapa menit kemudian, Pemuda itu mengajaknya berhenti di sebuah pasar malam yang sedang digelar di taman salah satu balai desa.
"Kamu tunggu disini sebentar ya!“ ucapnya usai memarkirkan kendaraannya. Sejenak wanita itu tersentak dari lamunannya seraya mengangguk pelan. Tangisnya telah lama reda. Pemuda itupun berlalu.
Wanita itu memandangi sekelilingnya. Kerlap-kerlip lampu hias dan aneka jajanan berjejer. Di tengah taman, berbagai wahana bermain anak-anak, dengan disoroti lampu aneka warna untuk menarik pengunjung.
Gelak tawa dari gerombolan remaja putri menggema dalam telinganya. Sesekali, suara rengekan balita yang memaksa ibunya agar diijinkan main di wahana itu terdengar, bercampur dengan alunan musik.
Rengekan itu membuatnya tersenyum. Ia teringat dirinya beberapa saat lalu pun menangis, seperti balita itu. Anak itu memang sama menangisnya sepertinya. Tapi dia menangis pada ibunya. Sudah pasti ibunya akan menuruti keinginan anak itu lalu ia bisa menaiki wahana. Tangis yang nyelengking suaranya itu akan berganti dengan tawa mengembang nantinya.
"Nasibnya mungkin lebih baik dariku," gumamnya.
Tangis anak itu begitu polos. Dia belum merasakan ketika perjalanan hidup dihadang permasalahan. Dihadapkan dalam kenyataan dan pilihan.
Tapi ia adalah gadis yang sudah tumbuh berkembang. Sebentar lagi umurnya beranjak 18 tahun. Masa peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Tapi apa ia sanggup? Apakah ia siap?
Bulir bening kembali menetes di kedua pipinya. Ia mengingat masa-masa saat berkenalan dengan pemuda itu. Ia menyadari, ada banyak pelajaran hidup yang ia peroleh sejak berkenalan dengan pemuda itu. Caranya membahagiakan keluarganya, mengelola waktu, termasuk caranya meraih mimpi-mimpinya.
“Hai, kok melamun?"
“Aku masih belum ikhlas kamu harus pergi secepat ini?”
“Aku sudah pernah bercerita kalau aku akan menempuh pendidikan di luar negeri. Aku ingin kuliah dan bekerja di sana. Kamu paham kan, kalau biaya hidup di sana tidak murah?”
“Ya, tapi aku tidak pernah berpikir secepat ini. Dua tahun lalu sejak kamu hadir, hidupku menjadi utuh. Kamu selalu ada untukku. Kalau kamu pergi, apakah aku sanggup?”
“Kamu pasti sanggup. Anggap saja ini ujian hidup yang harus kita lalui. Ingat ya, bukan jarak yang menjadi masalah untuk bisa bersama. Tetapi rasa ego yang tak dapat dikendalikan.”
Pada akhirnya, wanita itupun menyerah. Ia menyadari, perpisahan sementara ini adalah awal kisah baru yang akan lebih indah dari sebelumnya. Semoga. (*)
Bandung, 17 Januari 2020
*cerita ini fiksi belaka, semoga terhibur.
Cerpen lainnya: