Pradirwan - Udara pagi di musim kemarau ini sangat dingin ku rasakan menyapu kulitku. Mataku masih terpejam saat inderaku mencari letak kain sarung, menariknya kembali untuk menutupi seluruh badanku. Dirasa tak cukup, aku menekukkan lututku agar sarung itu mampu menutupi semua tubuhku. Layaknya selimut mahal yang di iklan diperkenalkan oleh selebriti nasional, ia berhasil sedikit mengusir rasa dingin itu. Meski begitu, aku masih bisa terlelap melanjutkan mimpi-mimpiku.
Ayam jantan bersahutan umpama ritual rutin memanggil sang mentari. Perlahan namun pasti, fajar mulai menyingsing. Awan mendung menghalangi sinarnya. Gelap. Ia menyembunyikan waktu subuh yang ternyata sudah hampir habis. Kantuk masih membuatku malas untuk beranjak dari pembaringan saat ibu mulai menggoyang-goyangkan bahuku.
“Die, sudah pagi nih, ayo sholat, mandi, sarapan terus berangkat sekolah”, dengan kasih ibu membangunkanku.
Aku pun bangun, berusaha mengusir rasa kantuk yang masih menggodaku, membiarkan sisa mimpiku tak berkesudahan. Aku bergegas menaati perintahnya.
Aku selesaikan semua perintah ibu, setelah mempersiapkan perlengkapan sekolah aku menuju sebuah tempat yang biasa aku dan teman-temanku jadikan sebagai tempat menunggu angkutan umum, kami menyebutnya 'pangkalan'. Lokasi sekolahku memang cukup jauh, sekitar 20 KM, aku menggunakan angkutan umum ini karena memang ini yang paling murah dan tersedia di tempatku. Untuk mencapai sekolahku, paling tidak aku harus menggunakan 2-3 angkot berbeda jurusan. Cukup jauh dan menyita waktu. Maka itu, aku harus berangkat sekolah pagi-pagi buta, sekitar pukul 5 pagi aku harus berada di pangkalan itu, dimana armada pertama datang.
“Assalamualaikum...”, aku mencoba mengawali pembicaraan dan berlagak tenang setelah melihat Mr. P-Man lagi sibuk membagikan soal. Beliau berpaling ke arahku, “Ardie, darimana kamu, sudah dua kali ini kamu terlambat?” Suaranya bak halilintar menyambar di siang bolong.
“Maaf Pak, mobilnya…”
“Mogok, Macet, atau Penuh. Alasan basi, ya sudah kalau kamu pengen ikut belajar, bersihkan kaca jendela kelas!” Seru Mr. P-Man dengan intonasi tinggi dan pandangan mata yang tajam seakan siap mengiris mukaku menjadi serpihan-serpihan kecil yang tak ada artinya.
Dengan berat hati kukerjakan seruan Mr. P-Man, membelai kaca jendela dengan mesra dan penuh kekesalan, apalagi setelah ku lihat kawan sekelasku mentertawakanku. Meledekku, Puas!
Disela-sela keseriusanku membersihkan kaca jendela kelasku, pandanganku mengarah ke bangku deretan kedua dari depan. Ada yang berbeda kali ini, dua hari lalu hanya ditempati seorang gadis saja, tapi sekarang ku lihat dua orang gadis menempatinya.
Ayam jantan bersahutan umpama ritual rutin memanggil sang mentari. Perlahan namun pasti, fajar mulai menyingsing. Awan mendung menghalangi sinarnya. Gelap. Ia menyembunyikan waktu subuh yang ternyata sudah hampir habis. Kantuk masih membuatku malas untuk beranjak dari pembaringan saat ibu mulai menggoyang-goyangkan bahuku.
“Die, sudah pagi nih, ayo sholat, mandi, sarapan terus berangkat sekolah”, dengan kasih ibu membangunkanku.
Aku pun bangun, berusaha mengusir rasa kantuk yang masih menggodaku, membiarkan sisa mimpiku tak berkesudahan. Aku bergegas menaati perintahnya.
Aku selesaikan semua perintah ibu, setelah mempersiapkan perlengkapan sekolah aku menuju sebuah tempat yang biasa aku dan teman-temanku jadikan sebagai tempat menunggu angkutan umum, kami menyebutnya 'pangkalan'. Lokasi sekolahku memang cukup jauh, sekitar 20 KM, aku menggunakan angkutan umum ini karena memang ini yang paling murah dan tersedia di tempatku. Untuk mencapai sekolahku, paling tidak aku harus menggunakan 2-3 angkot berbeda jurusan. Cukup jauh dan menyita waktu. Maka itu, aku harus berangkat sekolah pagi-pagi buta, sekitar pukul 5 pagi aku harus berada di pangkalan itu, dimana armada pertama datang.
Ternyata, temanku Alit sudah sampai di pangkalan. Tak lama kemudian, dari gang yang berbeda, Adin muncul.
“Hei, bro! Jam berapa nih, mobilnya kok belum datang juga?“ sapa Adin kepada kami.
“Wah, kalau begini sih bisa terlambat kita.” jawab Alit
“Rabu minggu lalu aku udah telat, kalau sekarang telat lagi bahaya nih, apalagi pelajaran Mr. P-Man, aku bisa bisa disuruh ngelap kaca lagi nih.” aku mulai khawatir.
“Daripada disuruh menguras bak atau membersihkan toilet lebih baik aku ga berangkat aja deh” ujar Alit.
“Iya, Lit, aku juga balik lagi aja, gimana denganmu, Die?” Adin menanyakan keputusanku, aku berfikir sejenak dan menjawab “Kalian duluan aja ya, aku lagi belajar jadi anak rajin nih”, aku jawab sambil tersenyum kecut, bayangan ancaman hukuman dari Mr. P-Man makin jelas di mataku.
Mereka berdua pergi meninggalkan pangkalan, sementara aku sendiri menatap jauh dan berharap angkutan umum yang ku tunggu segera tiba. Satu jam ku menunggu, armada itu pun datang, penuh pula. Seakan ada aura gaib yang menuntun dan membulatkan tekadku untuk tetap meluncur ke sekolah meski resiko membersihkan kaca kelas dan malu sama kawan-kawan sekelasku semakin nampak jelas. Aku berdiri di pintu masuk, tak kebagian tempat duduk.
“Hei, bro! Jam berapa nih, mobilnya kok belum datang juga?“ sapa Adin kepada kami.
“Wah, kalau begini sih bisa terlambat kita.” jawab Alit
“Rabu minggu lalu aku udah telat, kalau sekarang telat lagi bahaya nih, apalagi pelajaran Mr. P-Man, aku bisa bisa disuruh ngelap kaca lagi nih.” aku mulai khawatir.
“Daripada disuruh menguras bak atau membersihkan toilet lebih baik aku ga berangkat aja deh” ujar Alit.
“Iya, Lit, aku juga balik lagi aja, gimana denganmu, Die?” Adin menanyakan keputusanku, aku berfikir sejenak dan menjawab “Kalian duluan aja ya, aku lagi belajar jadi anak rajin nih”, aku jawab sambil tersenyum kecut, bayangan ancaman hukuman dari Mr. P-Man makin jelas di mataku.
Mereka berdua pergi meninggalkan pangkalan, sementara aku sendiri menatap jauh dan berharap angkutan umum yang ku tunggu segera tiba. Satu jam ku menunggu, armada itu pun datang, penuh pula. Seakan ada aura gaib yang menuntun dan membulatkan tekadku untuk tetap meluncur ke sekolah meski resiko membersihkan kaca kelas dan malu sama kawan-kawan sekelasku semakin nampak jelas. Aku berdiri di pintu masuk, tak kebagian tempat duduk.
Ternyata ini armada yang kedua, karena yang pertama sedang mogok. Aku yakin sampai sekolah pasti terlambat satu jam. Benar saja, waktu menunjuk angka delapan ketika langkah kakiku tepat di depan kelasku. Jujur, aku gugup.
“Assalamualaikum...”, aku mencoba mengawali pembicaraan dan berlagak tenang setelah melihat Mr. P-Man lagi sibuk membagikan soal. Beliau berpaling ke arahku, “Ardie, darimana kamu, sudah dua kali ini kamu terlambat?” Suaranya bak halilintar menyambar di siang bolong.
“Maaf Pak, mobilnya…”
“Mogok, Macet, atau Penuh. Alasan basi, ya sudah kalau kamu pengen ikut belajar, bersihkan kaca jendela kelas!” Seru Mr. P-Man dengan intonasi tinggi dan pandangan mata yang tajam seakan siap mengiris mukaku menjadi serpihan-serpihan kecil yang tak ada artinya.
Dengan berat hati kukerjakan seruan Mr. P-Man, membelai kaca jendela dengan mesra dan penuh kekesalan, apalagi setelah ku lihat kawan sekelasku mentertawakanku. Meledekku, Puas!
Disela-sela keseriusanku membersihkan kaca jendela kelasku, pandanganku mengarah ke bangku deretan kedua dari depan. Ada yang berbeda kali ini, dua hari lalu hanya ditempati seorang gadis saja, tapi sekarang ku lihat dua orang gadis menempatinya.
Anehnya saat semua kawan mentertawakan aku, seorang dari dua gadis itu malah terdiam sejuta kata dan seakan memandang kosong kedepan tanpa menengok sedikitpun. Gadis itu adalah Rini. Aku “dekat” dengannya, namun kami tidak “berpacaran”. Tapi aku tak peduli, yang aku pikirkan bagaimana supaya aku cepat selesaikan hukuman ini.
“Ardie, sini kamu! Sudah bersih semua ?”
“Sudah pak, malah sekarang tambah kinclong”
“Bagus, kamu boleh duduk dan kerjain soalnya”
Lembaran soal itupun kuterima. Aku pun duduk sambil berusaha menjawab lembaran soal-soal Ebtanas tahun lalu itu. Aku tidak bersemangat mengerjakan soal-soalnya, ditambah lagi seorang kawan berpendapat seakan dirinya paling benar. Aku reflek membantah semua pendapatnya. Kami berdebat hebat. Tentu debat tanpa kata, hanya dengan isyarat.
Suasana hening berubah gaduh. Gadis yang semenjak pagi tadi terdiam itu, Rini, terlihat terbujur. Ia pingsan. Aku dan kawanku seketika itu juga menghentikan perdebatan, aku melompati meja dan kepala kawan yang duduk didepanku. Ku angkat tubuh Rini dengan perasaan panik dan tak pedulikan apapun. Bersama seorang kawan ku bawa Rini kesebuah ruang UKS, kurebahkan gadis itu disebuah tempat untuk segera diberikan pertolongan pertama.
“Rin…Rin…Rini…, ini Ardie, kamu kenapa ?” perasaan aku mendadak takut kehilangan Rini. Temanku memberikan minyak beraroma keras untuk membuatnya siuman. Perlahan mata Rini mulai terbuka.
“Die, maafin aku yach, aku gak kuat lagi, sakit banget”
“Kamu jangan ngomong gitu, Rin. Aku tahu kamu kuat menahan semua ini. Kamu sabar ya!”
“Aku takut, maafin aku ya dan sampaikan maafku sama kawan-kawan. Rini mau pergi jauh, Die”
Berulang kali kalimat itu ia ucapkan. Kristal-kristal bening itu menghiasi seraut pucat wajahnya yang tepat berada dihadapanku. Tanpa kusadari, kristal bening itu pun memenuhi kelopak mataku. Berjuta kata berkecamuk dikepalaku.
“Rin, aku sudah maafin kamu, semua teman maafin kamu, tapi kalau kamu pergi dengan cara seperti itu, aku ga akan pernah maafin kamu dan aku bakal merasa bersalah atas semua ini”.
“Die, aku udah ga kuat lagi”
“Aku tahu kamu pasti kuat, semua kawan disini mau kamu sembuh, semuanya sayang sama kamu, Rin”
“Die, Rini dingin banget”
Aku bergegas meminta kawan perempuanku untuk memberikan minyak kayu putih dan mencari selimut untuk hangatkan tubuhnya dari kedinginan yang dirasakanya. Aku pandangi wajah pucatnya, pun menggenggam erat telapak tanganya, ku usap keringat dingin yang membanjiri wajahnya, namun tanpa sadar kulihat mata sayupnya terpejam, bibir mungilnya pun membisu. Rasa takutku makin menjadi.
“Rin…Rin…Rini…!!!” teriakan kecilku yang seakan tak menerima kenyataan. Aku mendekap erat tubuhnya yang tak bergerak lagi dihadapanku. Aku merasa seakan dunia tiba-tiba tak lagi berputar.
Aku tak peduli dengan sekelilingku, dekapanku semakin erat dan tak terlepaskan lagi. Tetesan air mataku membasahi wajah pucatnya, dan saat ku berusaha membangunkanya, aku memandang kelopak matanya mulai bergerak. Aku lega. Bagiku kedipan mata itu adalah karunia terbesar yang ku harapkan saat itu. Tiada kebahagian selain harapanku melihat tubuh yang ku dekap erat itu, kembali bergerak pulih.
“Terima kasih ya Allah”.
Dalam penatnya kata-kata yang ingin ku ungkapkan saat itu, aku menambah eratnya dekapan tanganku terhadapnya, karena ku takut ia kan pergi setelah kulepaskan dekapanku.
Diantara drama itu, Otoy, kawan yang bersamaku mengangkat Rini dari kelas menuju UKS mulai berkata, “Die, bagaimana kalau kita bawa Rini ke rumah sakit saja, biar ku carikan mobil dulu untuk membawanya?”
“Ya, aku setuju, cepat cari mobilnya”.
Otoy bergegas mencoba menghubungi guru yang bersedia mengantarkannya ke rumah sakit. Mr. P-Man bersedia untuk mengantarkan Rini ke rumah sakit dengan sedan klasiknya. Kami menuju sebuah rumah sakit swasta yang terdekat dengan sekolah.
“Die, aku mau dibawa kemana?” tanya Rini.
“Kita ke rumah sakit, Rin. Kamu tenang aja ya”
“Die, aku dingin banget, aku takut”
Mendengar kalimat itu aku baru sadar kalau dekapan eratku telah kulepaskan, kemudian Rini mendekapku sama seperti saat pertama kudekap tubuhnya.
Mobil sedan klasik pun berhenti di depan lobi Unit Gawat Darurat. Kami langsung disambut dua orang anak muda berpakaian putih, Rini diangkat keluar dari mobil.
Lalu-lalang manusia yang nampak panik, mewarnai memoriku yang masih sibuk memikirkan keadaan Rini yang terkapar tak berdaya.
Seorang perawat berpangkat Sersan ditemani seorang Kopral memanggilku.
“Mas, kesini sebentar, kita urus administrasinya dulu”. Aku dan Otoy berbagi tugas, aku yang mengurus pendaftaran dan otoy yang mengambil resep obat di Apotek.
“Bagaimana, Mbak?” Aku mendekati sersan itu.
Bermacam pertanyaan mereka lontarkan kepadaku. Hingga pertanyaan yang terkadang meledekku dan mencoba mengorek hubunganku dengan Rini. Banyak sudah jawaban yang ku sampaikan hingga aku pun mengucapkan satu kalimat.
“Bapaknya seorang Ajudan Walikota di Jakarta Pusat, pangkat terakhirnya Letnan Satu di Angkatan Udara”
Sersan genit itu berhenti berceloteh dan segera membubuhkan stempel ASKES di map administrasi pendaftaran.
Selesai pendaftaran, aku, Otoy, dan seorang perawat mengantarkan Rini ke sebuah ruangan sesuai yang kuminta di surat pendaftaran. Rasa khawatir, takut, cemas, seakan sedikit terkikis setelah Rini mendapatkan perawatan yang intensif. Tak lama kemudian, saudaranya datang dan menambah kelapangan hati yang kurasakan sebelumnya begitu penat.
Aku dan Otoy kemudian bergegas kembali menuju sekolah tuk sekedar mengambil tas dan mengikuti pelajaran selanjutnya.
Selesai jam sekolah akupun kembali kerumah sakit. Ku lihat wajah pucat Rini mulai beranjak pulih walaupun tak seayu saat dalam keadaan sehat.
Tak lama, seorang ibu datang membawa sejuta keceriaan bagi Rini yang semenjak awal menantikan kehadirannya. Beliau adalah ibu kandung Rini yang sengaja datang dari Jakarta setelah menerima kabar anaknya dalam keadaan sakit.
Hari mulai beranjak senja, mentari kini berganti menjadi rembulan yang cantik. Aku bergegas pulang, walaupun ada sedikit perasaan tak tega meniggalkan Rini sendirian menahan sakit, namun aku harus kembali ke rumah dan menyerahkan urusan Rini kepada ibunya.
Dari balik jendela kamarku, rembulan nampak terang dan bundar sempurna. Ia seakan mengiringi lamunanku, membayangkan hal apalagi yang akan menimpa Rini. Sosok yang ku anggap sahabat sejatiku, yang aku sayangi.
Bintang pun berkedip manja seakan mengucapkan selamat kepadaku karena aku masih akan dapat melihat senyuman sahabat sejatiku esok hari. Bermacam perasaan yang berkecamuk dibenakku membuatku kian pelik untuk memejamkan mata, kurasakan malam berjalan sangat lambat.
Cirebon, 03 Maret 2002
Note: Kisah ini terinspirasi dari seorang sahabat. Nama tokoh dalam cerita ini disamarkan demi menjaga privasi.
“Ardie, sini kamu! Sudah bersih semua ?”
“Sudah pak, malah sekarang tambah kinclong”
“Bagus, kamu boleh duduk dan kerjain soalnya”
Lembaran soal itupun kuterima. Aku pun duduk sambil berusaha menjawab lembaran soal-soal Ebtanas tahun lalu itu. Aku tidak bersemangat mengerjakan soal-soalnya, ditambah lagi seorang kawan berpendapat seakan dirinya paling benar. Aku reflek membantah semua pendapatnya. Kami berdebat hebat. Tentu debat tanpa kata, hanya dengan isyarat.
Suasana hening berubah gaduh. Gadis yang semenjak pagi tadi terdiam itu, Rini, terlihat terbujur. Ia pingsan. Aku dan kawanku seketika itu juga menghentikan perdebatan, aku melompati meja dan kepala kawan yang duduk didepanku. Ku angkat tubuh Rini dengan perasaan panik dan tak pedulikan apapun. Bersama seorang kawan ku bawa Rini kesebuah ruang UKS, kurebahkan gadis itu disebuah tempat untuk segera diberikan pertolongan pertama.
“Rin…Rin…Rini…, ini Ardie, kamu kenapa ?” perasaan aku mendadak takut kehilangan Rini. Temanku memberikan minyak beraroma keras untuk membuatnya siuman. Perlahan mata Rini mulai terbuka.
“Die, maafin aku yach, aku gak kuat lagi, sakit banget”
“Kamu jangan ngomong gitu, Rin. Aku tahu kamu kuat menahan semua ini. Kamu sabar ya!”
“Aku takut, maafin aku ya dan sampaikan maafku sama kawan-kawan. Rini mau pergi jauh, Die”
Berulang kali kalimat itu ia ucapkan. Kristal-kristal bening itu menghiasi seraut pucat wajahnya yang tepat berada dihadapanku. Tanpa kusadari, kristal bening itu pun memenuhi kelopak mataku. Berjuta kata berkecamuk dikepalaku.
“Rin, aku sudah maafin kamu, semua teman maafin kamu, tapi kalau kamu pergi dengan cara seperti itu, aku ga akan pernah maafin kamu dan aku bakal merasa bersalah atas semua ini”.
“Die, aku udah ga kuat lagi”
“Aku tahu kamu pasti kuat, semua kawan disini mau kamu sembuh, semuanya sayang sama kamu, Rin”
“Die, Rini dingin banget”
Aku bergegas meminta kawan perempuanku untuk memberikan minyak kayu putih dan mencari selimut untuk hangatkan tubuhnya dari kedinginan yang dirasakanya. Aku pandangi wajah pucatnya, pun menggenggam erat telapak tanganya, ku usap keringat dingin yang membanjiri wajahnya, namun tanpa sadar kulihat mata sayupnya terpejam, bibir mungilnya pun membisu. Rasa takutku makin menjadi.
“Rin…Rin…Rini…!!!” teriakan kecilku yang seakan tak menerima kenyataan. Aku mendekap erat tubuhnya yang tak bergerak lagi dihadapanku. Aku merasa seakan dunia tiba-tiba tak lagi berputar.
“Ya Allah, andai harus ia pergi, aku relakan kepergianya, namun kumohon jangan saat ini atau paling tidak jangan dalam dekapanku, karena aku akan menyesal seumur hidupku apabila ia pergi dengan cara seperti ini.”
Aku tak peduli dengan sekelilingku, dekapanku semakin erat dan tak terlepaskan lagi. Tetesan air mataku membasahi wajah pucatnya, dan saat ku berusaha membangunkanya, aku memandang kelopak matanya mulai bergerak. Aku lega. Bagiku kedipan mata itu adalah karunia terbesar yang ku harapkan saat itu. Tiada kebahagian selain harapanku melihat tubuh yang ku dekap erat itu, kembali bergerak pulih.
“Terima kasih ya Allah”.
Dalam penatnya kata-kata yang ingin ku ungkapkan saat itu, aku menambah eratnya dekapan tanganku terhadapnya, karena ku takut ia kan pergi setelah kulepaskan dekapanku.
Diantara drama itu, Otoy, kawan yang bersamaku mengangkat Rini dari kelas menuju UKS mulai berkata, “Die, bagaimana kalau kita bawa Rini ke rumah sakit saja, biar ku carikan mobil dulu untuk membawanya?”
“Ya, aku setuju, cepat cari mobilnya”.
Otoy bergegas mencoba menghubungi guru yang bersedia mengantarkannya ke rumah sakit. Mr. P-Man bersedia untuk mengantarkan Rini ke rumah sakit dengan sedan klasiknya. Kami menuju sebuah rumah sakit swasta yang terdekat dengan sekolah.
“Die, aku mau dibawa kemana?” tanya Rini.
“Kita ke rumah sakit, Rin. Kamu tenang aja ya”
“Die, aku dingin banget, aku takut”
Mendengar kalimat itu aku baru sadar kalau dekapan eratku telah kulepaskan, kemudian Rini mendekapku sama seperti saat pertama kudekap tubuhnya.
Mobil sedan klasik pun berhenti di depan lobi Unit Gawat Darurat. Kami langsung disambut dua orang anak muda berpakaian putih, Rini diangkat keluar dari mobil.
Lalu-lalang manusia yang nampak panik, mewarnai memoriku yang masih sibuk memikirkan keadaan Rini yang terkapar tak berdaya.
Seorang perawat berpangkat Sersan ditemani seorang Kopral memanggilku.
“Mas, kesini sebentar, kita urus administrasinya dulu”. Aku dan Otoy berbagi tugas, aku yang mengurus pendaftaran dan otoy yang mengambil resep obat di Apotek.
“Bagaimana, Mbak?” Aku mendekati sersan itu.
Bermacam pertanyaan mereka lontarkan kepadaku. Hingga pertanyaan yang terkadang meledekku dan mencoba mengorek hubunganku dengan Rini. Banyak sudah jawaban yang ku sampaikan hingga aku pun mengucapkan satu kalimat.
“Bapaknya seorang Ajudan Walikota di Jakarta Pusat, pangkat terakhirnya Letnan Satu di Angkatan Udara”
Sersan genit itu berhenti berceloteh dan segera membubuhkan stempel ASKES di map administrasi pendaftaran.
Selesai pendaftaran, aku, Otoy, dan seorang perawat mengantarkan Rini ke sebuah ruangan sesuai yang kuminta di surat pendaftaran. Rasa khawatir, takut, cemas, seakan sedikit terkikis setelah Rini mendapatkan perawatan yang intensif. Tak lama kemudian, saudaranya datang dan menambah kelapangan hati yang kurasakan sebelumnya begitu penat.
Aku dan Otoy kemudian bergegas kembali menuju sekolah tuk sekedar mengambil tas dan mengikuti pelajaran selanjutnya.
Selesai jam sekolah akupun kembali kerumah sakit. Ku lihat wajah pucat Rini mulai beranjak pulih walaupun tak seayu saat dalam keadaan sehat.
Tak lama, seorang ibu datang membawa sejuta keceriaan bagi Rini yang semenjak awal menantikan kehadirannya. Beliau adalah ibu kandung Rini yang sengaja datang dari Jakarta setelah menerima kabar anaknya dalam keadaan sakit.
Hari mulai beranjak senja, mentari kini berganti menjadi rembulan yang cantik. Aku bergegas pulang, walaupun ada sedikit perasaan tak tega meniggalkan Rini sendirian menahan sakit, namun aku harus kembali ke rumah dan menyerahkan urusan Rini kepada ibunya.
Dari balik jendela kamarku, rembulan nampak terang dan bundar sempurna. Ia seakan mengiringi lamunanku, membayangkan hal apalagi yang akan menimpa Rini. Sosok yang ku anggap sahabat sejatiku, yang aku sayangi.
Bintang pun berkedip manja seakan mengucapkan selamat kepadaku karena aku masih akan dapat melihat senyuman sahabat sejatiku esok hari. Bermacam perasaan yang berkecamuk dibenakku membuatku kian pelik untuk memejamkan mata, kurasakan malam berjalan sangat lambat.
Cirebon, 03 Maret 2002
Note: Kisah ini terinspirasi dari seorang sahabat. Nama tokoh dalam cerita ini disamarkan demi menjaga privasi.
Post a Comment