|
Berburu Milky Way Ciwidey, Sabtu (13 Oktober 2018). (Foto: Harris Rinaldi) |
Pradirwan ~ Istilah
milky way menarik perhatian saya. Istilah itu digunakan untuk menyebut galaksi Bimasakti yang berisikan gugusan bintang-gemintang membentuk pola spiral dengan diameter 100.000 tahun cahaya.
Berburu foto
milky way memang tak semudah yang dibayangkan. Fenomena alam yang keindahannya telah mendunia itu ternyata hanya bisa ditemukan di tempat dan waktu yang tepat. Butuh dari sekedar persiapan alat dan perlengkapan yang mumpuni, namun faktor keberuntungan juga berperan.
Kita harus mencari lokasi terbuka yang bebas dari polusi udara dan polusi cahaya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena tempat-tempat tersebut seringkali jauh dari tempat tinggal kita. Pegunungan atau pantai yang masih sepi menjadi pilihan.
Di Jawa Barat, salah satu tempat berburu
milky way terbaik berada di kawasan wisata Ciwidey Kab. Bandung. Selain karena lokasinya yang tinggi, keasrian suasana serta
landscape-nya yang memukau, polusi disini cukup rendah. Selain itu, kawasan ini mempunyai banyak spot menarik yang bisa dijadikan tempat berburu
milky way, seperti Ranca Upas, Situ Patenggang, dan perkebunan teh.
Ranca Upas menjadi pilihan berburu
milky way kami, Sabtu (13/10/2018) minggu lalu. Selain karena memenuhi syarat lokasi untuk memperoleh
milky way, Ranca upas atau Kampung Cai Ranca Upas merupakan kawasan wisata alam dan bumi perkemahan terpopuler bagi traveller untuk melihat keindahan alam lebih dekat. Kawasan ini juga merupakan hutan lindung dan tempat konservasi berbagai macam flora dan fauna, misalnya tanaman langka seperti jamuju dan kihujan (trembesi), serta fauna dilindungi seperti rusa.
|
Saat mengabadikan kabut yang turun (foto: Harris Rinaldi) |
|
Pose sejenak (foto : Harris Rinaldi) |
Kawasan yang berada di ketingggian 1700 mdpl ini memiliki luas area 215 hektar. Tentu saja, suhu udara disini cukup dingin. Saat kami datang ke lokasi sekitar pukul 17.15 WIB, udara mencapai 17 derajat Celcius. Kabut sedang turun menutupi pandangan. Bisa dibayangkan ketika dini hari, suhu udara bisa sangat ekstrim. Oleh karena itu bagi yang akan bermalam disini, sangat dianjurkan membawa jaket, baju, penutup kepala, sarung tangan, dan kaus kaki yang tebal. Saking dinginnya, di dalam tenda pun berembun. Api unggun menjadi satu-satunya penghalau udara dingin yang efektif, meskipun asapnya yang masuk ke tenda membuat bangun para penghuninya.
|
Ga bisa tidur karena dingin (foto : Tatag Wicaksono) |
Lalu, peralatan apalagi untuk mendapatkan foto milky way? Mas Harris Rinaldi, ketua rombongan kami mengatakan selain kamera (
DSLR/Mirrorles),
gear wajib adalah tripod dan lensa
wide. "Lensa kit 18 mm juga bisa, lebih bagus lagi kalau punya lensa
wide dengan f besar, misalnya 12 mm f/2 samyang," ujarnya.
|
Hasil foto yang ku ubah white balance-nya (1) |
|
Hasil foto yang ku ubah white balance-nya (2) |
Ketika malam semakin larut, mas Harris mulai meminta kami untuk mengatur kamera. "Intinya, pakai lensa paling
wide yang kita punya, gunakan diafragma (f) paling besar, iso coba paling besar di 3200,
Sutter Speed 30 detik, jangan lupa
setting White Balance untuk mendapatkan efek warna yang lain dari biasanya," katanya.
Kami pun mulai mencoba-coba settingan sampai mendapatkan settingan yang pas sesuai keinginan masing-masing (selera).
|
Berburu milky way (foto: Yusuf Ote) |
Kenapa 30 detik? Karena menurut pengalaman, 30 detik itu adalah waktu maksimum agar bintang tetap seperti titik, bukan sebuah garis. Kalau lebih dari 30 detik, maka bintang akan ‘berjalan’ dan nampak seperti apa yang kita sebut sebagai light painting, kecuali, memang efek seperti itu yang ingin didapatkan.
Dalam
photography, ada yang disebut rule-600. Jadi
shutter speed maksimum yang diperbolehkan agar bintang tak bergerak adalah 600 dibagi dengan focal length lensa (format 35 mm, jika APS-C dikali dulu dengan 1.5, MFT dikali 2).
Jadi kalau kita pakai lensa 18 mm, maka waktu maksimum adalah 600/18 = 33 detik? Meski tidak selalu akurat ini karena tergantung dari posisi kita di bumi. Tapi, itu rule of thumb-nya sebagai permulaan untuk camera setting- nya.
Hal lain yang kami lupa adalah faktor keberuntungan. Langit masih tertutup kabut dan berawan sejak sore tadi. Kami memutuskan untuk menyimpan baterai dan energi kami, siapa tahu cuaca cerah kami dapatkan menjelang malam hingga dini hari nanti.
Oh ya, jika hanya memotret bintang, mungkin bisa kapan saja. Tapi bumi kita ini berputar. Ada kalanya
milky way tidak terlihat dari tempat kita berdiri.
Milky way juga akan sulit terlihat jika ada bulan (polusi cahaya juga). Jadi, lebih baik kita memotret saat bulan baru muncul, sehingga malam gelap akan lebih panjang. Untuk mengecek posisi
milky way, dibutuhkan aplikasi khusus seperti
stellarium,
sky guide, dan banyak sekali di
app store. Searching aja ya. Konon, paling enak memotret milky way itu adalah saat April – September di arah selatan.
|
Salah satu sudut yang ku potret saat berburu milky way |
Langit mulai cerah sementara udara sangat dingin. Sekujur tubuh mulai membeku. Saya dan mas Harris mulai melakukan pengecekkan posisi milky way. Tapi setelah dilakukan pengecekkan di aplikasi, posisi rasi bintang Sagitarius berada dibawah horizon. Artinya, milky way telah lewat. Untuk meyakinkan, kami melakukan pemotretan lagi ke berbagai sudut. Hasilnya memang benar, milky way tak nampak dari hasil foto-foto itu. Kecewa, pastinya. Tapi, selalu ada hikmah dibalik kejadian. Bagi saya, ini hunting bareng pertama kali yang berkesan. Selain dengan mas Harris, saya bertemu lagi dengan mbak Caecilia, mas Amran (Abeng), mas Dwi Doso dan menambah tiga kawan baru, mbak Heti, mas Yusuf, dan mas Tatag.
|
Pengobat kekecewaan kami, mendapat sunrise yang indah |
|
Suasana pagi yang berhasil ku abadikan |
|
Pemburu sunrise |
|
Ketua Tim, Harris Rinaldi |
Akhirnya, kami memutuskan untuk menunggu pagi. Sambil berharap, fajar nanti menjadi fajar yang istimewa.
Kala itu di malam Minggu
Pada suatu sudut di jalan-jalan gelapmu
Rasa itu tumbuh
di ruas cahaya bernama rindu
Terdudukku pandangi langit hitam
Malam telah melahap semua cahaya
Bintang dan rembulan tertutup kabut duka
Rinduku perlahan menjadi kelabu
hanya ada kenangan yang masih berserak
entah dari kepala siapa
dari kisah yang mana
Mengiringi cinta yang tak lagi sempurna
Sejenak akupun terdiam dan menikmati luka
Terima kasih atas kesempatan dan sharing ilmunya. Sampai jumpa di lain kesempatan.
Bandung, 20 Oktober 2018
Artikel ini ditayangkan di
Ayo Bandung setelah dilakukan editing ulang.