“Jurnalis itu seperti sejarawan. Dia menulis sejarah peristiwa hari ini.”
~Amarzan Loebis
Pradirwan - Saya memutuskan menulis sejak 2013. Awalnya melihat teman yang punya blog. Dalam pekerjaan, saya menerima banyak pertanyaan berulang dan harus saya jawab berulang pula. Agar lebih efisien, saya gunakan tulisan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan menuliskannya dalam blog. Belakangan, tulisan-tulisan saya menjadi tulisan jurnalistik.
Blog inilah yang menjadi catatan saya. Blog yang menjadi saksi sejarah saya belajar banyak hal, termasuk menulis dan memotret.
Blog inilah yang menjadi catatan saya. Blog yang menjadi saksi sejarah saya belajar banyak hal, termasuk menulis dan memotret.
Sejarah didefinisikan sebagai peristiwa yang dilakukan manusia pada masa lampau di tempat tertentu, dan pada waktu tertentu.
Sebagai peristiwa masa lampau, sejarah sering dipahami dalam dua hal, yaitu sejarah sebagai realitas peristiwa (history as actuality), dan sejarah sebagai kisah peristiwa (history as written).
Sejarah sebagai realitas peristiwa bersifat unik, terjadi hanya satu kali, dan mustahil terulang. Ini yang seringkali saya sebutkan sebagai momen. Tak akan pernah ada momen yang sama persis, maka itu seringkali saya manfaatkan setiap momen tersebut untuk diabadikan dengan membuatnya sebagai suatu karya (foto/tulisan/video).
Sejarah sebagai kisah peristiwa masa lampau adalah realitas peristiwa masa lampau yang menjadi tugas sejarawan untuk menelitinya, melalui jejak yang ditinggalkan, lalu kemudian direkonstruksi menjadi kisah. Beberapa sumber yang menjadi rujukan di antaranya setiap catatan, saksi, atau bukti-bukti sejarah lainnya.
“Ada empat proses dalam jurnalisme: reporting, interviewing, writing, editing.”
Tugas jurnalis menuliskan setiap peristiwa yang mempunyai news values. Redaktur senior Tempo Amarzan Loebis mengatakan, “Jurnalis itu seperti sejarawan. Dia menulis sejarah peristiwa hari ini.” Konsekuensinya, jurnalis harus teliti dan akurat. Apa pun yang dia tulis akan menjadi rujukan fakta di kemudian hari.
Jurnalis menulis sejarah hari ini, besok bisa jadi ada fakta, konteks peristiwa, atau data pembanding dari sumber-sumber lain yang ditemukan. Bisa jadi apa yang dia tulis kemarin, sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan beberapa waktu setelahnya. Tidak ada kebenaran yang mutlak. Maka itu, seorang jurnalis harus rendah hati dan berpikiran terbuka.
Untuk dapat menulis berita, dibutuhkan bahan tulisan. Penggalian bahan ini bisa diperoleh dari peliputan peristiwa (reportase), wawancara, dan riset. Jurnalis yang baik akan menggali fakta, bukan mendengar analisis narasumber atau bahkan adu argumen dengannya ketika wawancara. Analisis narasumber hanya diperlukan wartawan untuk konteks dan perspektif dalam menulis sebuah peristiwa. Karena itu wartawan yang baik pandai membuat pertanyaan yang ia kembangkan dari jawaban narasumber.
Pemilihan narasumber juga tak kalah penting. Wartawan Tempo, Bagja Hidayat menjelaskan, dalam jurnalistik ada lima jenis narasumber yang bisa diwawancarai berdasarkan validitas informasi sebuah peristiwa: 1) pelaku, 2) mereka yang melihat, 3) dia yang paling tahu, 4) mereka yang berwenang, 5) pakar.
Urutan ini tak boleh tertukar. Jenis-jenis narasumber ini yang akan menentukan nilai sebuah berita. Jika narasumber sebuah peristiwa hanya “ia yang berwenang”, seperti polisi, apalagi juru bicara polisi, gradasi informasinya tak lebih kuat dibanding jika narasumbernya mereka yang melihat langsung peristiwa itu, apatah lagi mereka yang terlibat.
Dua modal jurnalis yang wajib dimiliki, sikap skeptis dan curious. Dua senjata ini juga memungkinkan sebuah wawancara bisa lengkap, bahkan mengungkap. Jika hilang dua sifat ini, jurnalisme menjadi cacat. Kekaguman terhadap narasumber menghilangkan sikap kritis. Sebaliknya, kebencian juga bisa menjerumuskan wartawan pada kenyinyiran yang menjengkelkan. Jika tak kritis dan skeptis, karena kagum atau benci kepada narasumber itu, hal-hal mendasar dalam wawancara bisa terabaikan. Misalnya, wartawan lupa bertanya harga sepatu setelah narasumbernya menyebut merek.
Kesimpulannya, tulisan bagus ditopang bahan yang lengkap. Soalnya, bahan lengkap saja belum tentu menghasilkan tulisan bagus, apatah lagi bahannya tak lengkap. Bahan lengkap ditentukan saat wawancara. Wawancara yang baik jika wartawannya kritis dan skeptis. Aib bagi seorang wartawan adalah tak bisa bertanya di hadapan narasumber akhirnya tak bisa mendapatkan bahan yang lengkap.
Penulis Mesir, Nagouib Mahfoudz, mengatakan bahwa orang pintar terlihat dari pertanyaannya, sementara orang bijak terlihat dari jawabannya. Narasumber akan menghargai pewawancara jika ia mendapat pertanyaan-pertanyaan yang sederhana tapi menohok. Karena itu narasumber ini akan terdorong untuk menjelaskan lebih rinci. Sebaliknya, pertanyaan bodoh memancing narasumber mendominasi bahkan menyembunyikan informasi. Karena itu sebaik-baiknya pertanyaan adalah yang memancing jawaban. Dan wartawan kreatif menciptakan pertanyaan dari jawaban tersebut.
Sumber :
Jurnalistik Dasar, Resep dari Dapur Tempo (Tempo Institute, 2017)
Wawancara Mengawetkan Sejarah, Bagja Hidayat (Wartawan Tempo, Catatan Iseng, 2018)
Artikel ini ditayangkan di AyoBandung.com
Post a Comment