"Jika kau bukan anak raja maka menulislah!" (Imam Ghazali)
Pradirwan - Siapa sih yang tak ingin namanya tercantum dalam sampul sebuah buku sebagai penulis? Dalam hati setiap penulis, pastilah ada keinginan untuk membuat buku, wujud tertinggi dari sebuah tulisan. Setidaknya satu buku seumur hidupnya.
Tak terkecuali Ahmad Dahlan. Baru-baru ini, lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai auditor di Kantor Pajak itu menerbitkan buku berjudul "Membangun Rumah di Bawah Tanah (MRdBT)".
Pada acara bedah buku yang digelar Sabtu malam (19/09/2020), pria yang akrab disapa Mazda itu bercerita tentang keputusannya membuat buku. "Pertengahan Agustus 2020 lalu, motivasi membuat buku yang semula tereduksi itu tiba-tiba menguat kembali," ungkapnya.
Konon, motivasi itu muncul berawal dari sebuah keinginan untuk memberikan kado pernikahan perak untuk istrinya.
Terbersitlah ide untuk mengumpulkan tulisan-tulisan yang pernah dia buat, merangkainya, mengikatnya, lalu ia jadikan sebuah draft buku. Draft ini kemudian disebarkannya ke beberapa rekan penulis.
Gayung bersambut. Rekan-rekannya menyatakan bahwa draft tersebut layak menjadi sebuah buku. Lalu seorang rekan memberinya nomor kontak penerbit. Proses selanjutnya sudah bisa ditebak, buku itupun terbit dan sampai kepada pembacanya.
Buku yang sudah masuk cetakan kedua ini dikupas tuntas oleh tiga pembicara, semalam. Mereka adalah Gathot Subroto (Fuji Film X-Fotografer), Edmalia Rohmani (Pecinta Literasi), dan Nurul Huda Haem (Pengurus Ponpes Motivasi Indonesia-Bekasi).
Acara yang berlangsung sejak pukul 19.30 WIB ini dimoderatori oleh Slamet Rianto dan disiarkan langsung melalui aplikasi zoom meeting.
Berbagai ulasan menarik tentang buku itu pun muncul. Gathot mengulas tentang sampul dan lay out buku itu. Fotografer yang fotonya pernah digunakan akun medsos @Jokowi itu membuka bahasannya dengan dua cara penerbitan buku.
Jika dulu seorang penulis harus mengirimkan naskah kepada penerbit mayor, masuk ke dalam daftar antrian untuk di-review, dan proses-proses lain yang harus diikuti, maka sekarang para penulis indie bisa mencoba peruntungannya sendiri. "Penulis bisa membuat buku dengan lebih personal melalui penerbit minor (self publishing)," kata Gathot.
Dengan memanfaatkan jejaring pertemanan di media sosial dan komunitas di Whatsapp grup, seorang penulis bisa memasarkan bukunya. "Kita bisa mengalkulasi berapa biaya yang dibutuhkan untuk ongkos mencetak buku tersebut dari jumlah pertemanan kita itu," katanya.
Meski ada pepatah mengatakan, “Don’t judge a book by its cover”, namun kenyataannya riset membuktikan bahwa keberhasilan penjualan buku di pasaran sangat bergantung terhadap kualitas dan keindahan cover-nya.
"Penggemar buku seringkali hanya melihat sekilas judul dan sampul buku dari berbagai banyak pilihan buku lainnya. Mereka sangat memperhatikan aspek desain cover buku agar 'stand out' di antara buku-buku lainnya," tutur Gathot.
Semua aspek yang tercermin dalam buku itu harus bisa direpresentasikan desainer dan author melalui cover-nya. "Semua warna, typography, desain lay out, dan ukuran buku itu harus saling menunjang," ungkapnya.
Ia berpesan, agar untuk buku selanjutnya "memanfaatkan jasa" teman-temannya yang memang ahli di bidang desain dan editing.
Menanggapi hal tersebut, Mazda menyampaikan bahwa dia menerima masukan tersebut. "Saya berpikir untuk tidak merepotkan teman-teman saja. Pihak penerbit saya anggap profesional. Mereka pun sudah beberapa kali menyampaikan konsep baik tulisan maupun lay out untuk saya setujui sebelum dicetak," katanya.
Ulasan berikutnya disampaikan Edmalia. Pecinta sastra itu mengatakan bahwa buku perdana Ahmad Dahlan itu sangat ringan sehingga pesannya mudah ditangkap.
"Inti komunikasi (baik secara lisan ataupun tulisan) adalah menggerakkan hati orang. Tulisan dianggap sukses ketika bisa menggerakkan hati orang, dan itu tercermin dalam tulisan di buku ini," kata pegawai pajak yang akrab disapa Lia itu.
Point of View (POV) atau sudut pandang penulisan tak luput dari pembahasan Lia. "Secara sederhana, POV adalah bagaimana penulis menempatkan dirinya dalam cerita dan menyampaikan cerita itu kepada pembaca. POV ditentukan saat mulai menulis. Digunakan konsisten dari awal hingga akhir cerita," jelasnya.
Dalam proses penciptaan karya, ada tiga POV yang bisa digunakan, yaitu POV orang pertama (POV1), POV orang kedua (POV2), dan POV orang ketiga (POV3).
Dalam POV1, penulis menjadi diri penulis sendiri (aku) dalam cerita, mengikuti pikiran dan aksi si penulis. Penulis tidak bisa menggambarkan apa yang tidak dilihat si penulis. Penulis juga tidak bisa mengetahui perasaan yang tidak dirasakan oleh penulis.
Saat memosisikan diri sebagai penulis, tugas utamanya hanya menulis hingga selesai apa-apa yang menjadi ide atau pikiran yang ingin dituangkan. Tidak perlu memikirkan hasilnya akan baik atau tidak, menarik atau tidak diksi yang digunakan, semua itu urusan belakangan.
Sementara dalam POV2 dan POV3, penulis memosisikan dirinya sebagai orang lain, baik sebagai pembaca (POV2) maupun sebagai editor (POV3).
Saat kegiatan menulis selesai, penulis kemudian memosisikan dirinya sebagai pembaca. Hasil tulisan yang telah selesai itu kemudian dibaca ulang dari awal sampai akhir. Hal ini bertujuan agar dapat mengenali tulisan yang mungkin kurang baik atau diksi yang digunakan kurang menarik. Sehingga dapat melakukan koreksi dan pengeditan.
Langkah selanjutnya, penulis memosisikan dirinya sebagai editor. Poin terakhir ini sangat penting diterapkan demi tercapainya tulisan yang lebih baik. Jika sudah mampu memosisikan sebagai editor, maka dengan mudahnya dapat mengubah kata yang kurang baik, ada yang salah ketik, penggunaan tanda baca yang tidak tepat, atau mungkin ada alur yang kurang pas pada tulisannya.
"Buku ini penulis memilih POV1. Menceritakan kejadian sehari-hari yang dialami penulis," ungkapnya.
Untuk itu, penting juga mengetahui platform apa yang akan digunakan penulis dalam menyampaikan gagasannya. Hal ini terkait dengan penggunaan kaidah berbahasa yang baik.
Lia lantas mengutip pendapat Gorys Keraf, “Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik."
Kejujuran yang dimaksud adalah ketepatan pemilihan kata. Ini berkaitan dengan menggunakan kata secara tepat, yang berarti menggunakan kata sesuai dengan makna yang ingin dicapai. Sementara itu, kesesuaian pemilihan kata berkaitan dengan suasana dan lingkungan berbahasa.
"Buku ini sudah menggunakan gaya bahasa yang sopan dan menarik. Namun untuk sebuah buku, menurut saya lebih baik menggunakan kaidah penulisan buku yang berlaku. Gaya bahasa yang digunakan masih terpengaruh gaya bahasa membuat artikel blog atau medsos yang personal," kata Lia.
Namun Lia tak menampik bahwa penggunaan diksi dalam buku setebal 160 halaman itu sangat ciamik. "Bahkan sekelas Masla (Slamet Rianto) pun harus membuka kamus untuk mengetahui maknanya," ujarnya berseloroh.
Menurut Mazda, dirinya mengidolakan Dahlan Iskan. Tulisan-tulisannya memang terpengaruh gaya bahasa dalam DI's Way. "Gaya bahasa ini memang saya pertahankan untuk menjaga kekhasan," katanya.
Sementara itu, pengasuh sekaligus pimpinan pondok pesantren Motivasi Indonesia-Bekasi, Nurul Huda Haem mengatakan, setidaknya ada lima hal yang ia dapatkan dari kumpulan cerita dalam buku "Membangun Rumah di Bawah Tanah" ini.
Pertama, tidak ada satu peristiwa yang terjadi melainkan ada hikmah yang menyertainya. Maknai peristiwanya. "Buku ini menyajikan berbagai kisah sederhana namun penuh hikmah," tuturnya.
Kedua, jadilah orang kaya. Menurut ustaz yang akrab disapa Ayah Enha itu, selama ini manusia dituntut menguasai ilmu ekonomi tanpa diimbangi dengan kesalehan finansial. "Dengan uang kita bisa memiliki harta. Kita lupa belajar bagaimana agar uang itu bukan lagi sebagai sebab, tetapi sebagai akibat," jelasnya.
Uang yang kita peroleh hendaknya didapatkan dari sumber yang halal, dengan cara yang baik, dan dipergunakan untuk hal-hal yang baik.
Seorang yang memiliki kesalehan finansial akan cermat memilih sumber uang yang dia dapatkan dan saat menggunakannya. Sebab, uang yang dia dapatkan bukan hanya akan dimintai pertanggungjawabannya di dunia, namun juga di akhirat kelak.
Ketiga, menyiarkan kebaikan (sedekah) itu tak dilarang. Sebagaimana tercantum dalam surat Albaqarah ayat 271, Allah SWT berfirman, "Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu."
Keempat, jangan menghardik anak yatim. Dalam Islam, anak yatim mendapatkan perhatian Alquran sejak periode Mekah.
Hal ini tercermin dalam Alquran surat Almaun ayat 1-3. Allah SWT berfirman, "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin."
Anak yatim (anak yang ditinggalkan oleh bapaknya saat usia kecil hingga akhil baligh) tidak hanya membutuhkan bantuan untuk masalah fisik, seperti pakaian, makanan, minuman, dan tempat tinggal. Mereka juga membutuhkan curahan kasih sayang dan pendidikan.
Beberapa yayasan dan panti sosial yang memelihara anak yatim ini ada di sekitar kita. "Jangan santuni kami, berdayakan kami. Inilah motto yang digunakan di pesantren kami (Motivasi Indonesia)," kata Ayah Enha.
Kelima, temukan Detik Kesadaran Diri (DKD)-mu. Kesadaran diri ini merupakan salah satu respon atas segala pengambilan keputusan yang diambil dalam kehidupan ini.
DKD adalah sebuah momentum di mana seseorang dengan penuh kearifan mengakui kekhilafannya dan melakukan perubahan. Ia sepenuhnya menyadari bahwa pengawasan Allah bukan sekadar pada keberadaannya, bahkan pada setiap huruf yang ia tuliskan, pada setiap kata yang ia lisankan, pada setiap hembusan nafas, pada setiap angin yang mendesir, pada setiap daun yang berguguran, pada setiap detik kejadian.
"Buku MRdBT ini menyiratkan bahwa penulisnya mulai 'tersadar' saat mendengarkan khotbah salat Jumat. Mazda menggunakan kemampuannya dalam menulis dengan berbagi tulisan untuk membuat kita termotivasi melakukan kebaikan," pungkasnya.
Sebagai penutup, Slamet Rianto berujar, bahwa ternyata berbuat baik itu butuh ilmu.
Tabik
Pradirwan,
Bandung, 20 September 2020
***
Judul buku: Membangun Rumah di Bawah Tanah
Penulis: Ahmad Dahlan
ISBN: 978-602-5824-78-4
Ukuran: 14x20 cm
Jumlah halaman: 160 halaman
Penerbit: Maghza Pustaka, Pati
Cetakan pertama: Agustus 2020
***
Untuk pemesanan buku (PO) silakan mengisi tautan berikut https://tinyurl.com/MRdBT2 atau menghubungi akun facebook Ahmad Dahlan Jadi Dua