Pradirwan - Aku tertegun sejenak disalah satu kursi tamu. Tak bergerak. Tetap diam membisu. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari sela-sela bibirku. Tatapanku kosong. Pikiranku menerawang. Memikirkan jawaban apa yang harus aku sampaikan kepada ibu gadis pujaan hatiku, Mawar. Semua terlihat seperti jalan buntu.
Memang hubunganku dengannya sudah berjalan lebih dari enam tahun, sejak Mawar baru naik kelas dua salah satu SMA Negeri di Cirebon, hingga kini Mawar lulus kuliah. Usiaku selisih setahun dengan Mawar, dan selama ini, hubunganku dengan Mawar belum mengarah ke tahapan yang lebih serius (pernikahan). Aku masih sangat muda, usiaku belum genap 23 tahun. Aku baru menata jalan hidupku. Beberapa pekerjaan sudah aku coba, namun masih tak sesuai harapanku. Dan kali ini aku baru saja diterima di salah satu perusahaan otomotif terkemuka di Jakarta. Aku bahkan masih dalam masa “percobaan” di perusahaan ini, ketika tiba-tiba pertanyaan yang tak siap ku hadapi itu meluncur dari bibir ibunya. “Kapan kamu melamar anak saya?”
“Jika aku harus bertunangan dengan anak ibu, terus terang aku tidak siap, namun jika aku harus menikah dengan Mawar, aku siap, tentu sesuai dengan kondisiku saat ini, aku baru diterima bekerja, dan adikku masih butuh biaya buat sekolahnya”. Jawabku lancar, penuh keyakinan. Entah dorongan apa yang menyebabkannya. Perasaanku lega, seperti telah melepaskan beribu beban yang menghimpit hidupku akhir-akhir ini. Ini jawaban terbaikku.
Aku pun pamit dan pergi merantau, meninggalkan Mawar, ke Jakarta. Meraih jalan hidupku.
“Aku sayang kamu, Ardie, aku takut kehilangan kamu” ucap Mawar tulus.
“Aku juga, nok” jawabku sambil aku menatap matanya yang teduh. Nok adalah panggilan sayangku kepadanya.
“Sekarang aku takut,” ungkapnya
“kenapa? Apa yang kamu takutkan?”
“aku telah lulus SMA, aku berpisah dengan teman-temanku, dan aku pun takut akan berpisah denganmu,” matanya mulai sembab, perlahan butiran air matanya mulai menetes di pipinya. Bisa kurasakan beban itu menyesakkan dadanya.
“Perpisahan ini hanya sementara, aku ke Jakarta hanya untuk mengejar mimpiku, mencari jalanku agar kita bisa bersatu dalam pernikahan, sementara itu, kamu juga harus mengejar mimpimu, kuliah di Bandung, agar dapat membahagiakan orang tuamu, itu harus kita jalani, ini episode yang harus kita lewati. Jika saatnya tiba, aku yakin semua akan menjadi indah pada waktunya”, ku mencoba menenangkannya. Kuusap kedua pipinya, isaknya mulai reda.
“hari sudah sore, aku antar kamu pulang ya?”
Mawar mengangguk. Kami pun beranjak dari tempat kami, menuju rumahnya. Mawar menggandeng tanganku erat.
“Ardie, aku lulus dengan Cumlaude” teriak mawar di ujung telepon. "Bisakah kamu hadir di acara wisudaku?” Tanyanya.
“Benarkah? selamat ya nok, aku pasti hadir, tunggu saja”
“makasih sayang, ku tunggu ya....”
Besok adalah hari wisuda Mawar. Ku segera telepon seorang kawan karibku yang ada di Bandung, menanyakan tempat wisudanya, dan aku berniat untuk menginap di kosannya.
“Aku mau ke Bandung nih, kasih alamatmu dong? Selepas kerja aku langsung berangkat ke kosanmu ya?”
“Gampang kok, kamu turun saja di Pintu Tol Padalarang, lalu naik angkot arah Cimahi, nanti aku jemput di depan Pabrik *ltrajaya, ada acara apa nih? Kok tumben mendesak banget sepertinya?”
“Mawar wisuda besok di Ledeng, jarak kosanmu dengan Ledeng jauh ga?”
“Oooo... masalah cewek toh?, Mawar yang mana ya? Yang waktu SMA itu?, aku pikir sudah putus, hehehe,”
“Ya, Mawar yang itu, gimana, jauh ga?”sedikit kesel mendengar jawaban temenku ini tentang 'putus'.
“Deket kok? Paling sejam juga sampai, asal pagi-pagi banget perginya, Cimahi macet bro”
“Ok deh, nanti kita lanjut ngobrolnya di kosan kamu ya, oke? Bye”. Aku menutup teleponku.
Waktu terasa sangat lama. Detik-detik jam kerja bergerak seperti sangat lambat. Sudah tiga bulan aku tak bertemu dengan Mawar, rindu ini serasa semakin membuncah. Sudah lama aku menantikan saat-saat bahagia seperti ini.
Jam pulang kerja pun berdentang, aku bergegas menuju terminal bus Kampung Rambutan, segera ku cari bus jurusan Bandung. Hari sudah menjelang maghrib ketika sebuah bus berpenumpang penuh melintas perlahan di depanku.
“Bandung-Bandung-Bandung, Bandung bang?” teriak kondektur bus sambil menghampiriku. Aku pun naik bus itu.
“Biarlah penuh, yang penting aku segera sampai di Bandung, kasihan temanku kalau aku sampai di Bandung dini hari, besok dia masih kerja”, gumamku.
Pukul 10 malam, bus yang kutumpangi keluar tol Padalarang, aku telepon lagi kawanku, memberitahunya agar menjemput di tempat yang sudah kita tentukan.
Hari masih pagi. Matahari pun belum nampak. Udara Bandung yang sangat kontras dengan Jakarta, tak lagi aku hiraukan. Aku bergegas menuju tempat wisuda Mawar.
Nampak dari kejauhan, gadis itu memakai kebaya dan berjilbab. Aku terkesima, dia sangat anggun, cantik sekali. Dia gelisah, seperti sedang menunggu seseorang, sesekali dia melihat jam tangan yang ada di tangan kirinya. Di sekelilingnya, nampak ada adik dan kedua orang tuanya. Namun, dia tak melihatku. Perlahan aku mulai mendekatinya dari belakang.
“Assalamu'alaikum” sapaku.
“Wa'alaikum salam,” jawab mawar sekeluarga, agak terkejut mereka melihat kedatanganku. Mawar menoleh. Lantas segera mencium tanganku. Senyumnya mulai merekah. Aku bersalaman dengan keluarganya. Aku dan Mawar ambil jarak beberapa meter dari keluarganya.
“aku sudah lama lihatin nok dari tadi”
“Jahat banget sih biarin Mawar nungguin”, sifat manjanya mulai nampak.
“Aku mau deketin, cuma ragu.”
“ragu kenapa?”
“benarkah ini nok yang ku kenal? Kok seperti melihat bidadari yang memakai kebaya”
“iiih...masih pagi kok sudah ngegombal” tangannya mulai mencubit pinggangku. Aku meringis. Keluarganya tampak senyum-senyum melihat tingkah kami berdua.
Sayang sekali, tak lama kemudian, panitia sudah mengumumkan bahwa acara wisuda akan segera dimulai.
“Jangan temui lagi Mawar, Mawar sudah saya jodohkan dengan orang lain, dia akan menikah minggu depan”. Pesan singkat dari ibunya Mawar itu mengejutkanku.
“Bagaimana bisa Mawar menikah dengan orang lain? Bukankah aku sudah menyampaikan seminggu lalu jika diminta untuk menikahinya, aku siap, tapi sesuai dengan kondisiku saat ini?” beragam tanya berkecamuk dalam pikiranku. Ku coba menghubungi Mawar, namun nomornya tak aktif. Aku putuskan untuk pulang ke Cirebon. Tujuanku langsung bertemu dengan Mawar dan orang tuanya.
Sesampainya di rumah Mawar, tak ku lihat Mawar, ibunya mempersilahkanku masuk.
“To the point ya bu, maksud ibu apa sms seperti itu?”
“bukannya kamu bilang minggu lalu, waktu aku tanya kapan kamu akan melamar Mawar?, kamu jawab seperti itu. Bagiku, itu adalah penolakan secara halus, kamu ga serius dengan Mawar, maka itu, aku jodohkan dia dengan anak temanku, seorang tentara. Kebetulan dia suka sama Mawar. Kemarin orang tuanya datang melamar Mawar, dan Mawar menerima lamaran itu, maka aku mohon sama kamu, agar menjauhi mawar, karena dia akan menikah minggu depan.”
“Berarti, Mawar 'selingkuh' dibelakangku” ujarku penuh emosi.
“Jangan sekali-kali lagi kamu ngomong seperti itu, Mawar setia sama kamu, tapi kamu yang tak kunjung melamarnya, membuatnya ragu”.
“Aku sudah bilang, aku siap menikah dengannya, asal mau menerima kondisiku saat ini, bukan seperti yang ibu pikirkan? Sekarang Mawar dimana? Aku ingin bicara dengannya”.
“Maafkan ibu Ardie, ibu salah paham, ibu serahkan keputusannya sama Mawar, meskipun ibu akan menanggung malu, jika perjodohan ini tidak terjadi.” Aku tak memperdulikan omongannya.
“Dia sedang diajak calonnya berkunjung ke rumahnya”.
“Baik, permisi bu, aku akan ke rumahnya”.
Dengan emosi tinggi, aku bergegas ke salah satu temanku, meminjam pistolnya, lantas aku menuju rumah calon suaminya. Akan aku selesaikan secara laki-laki. Sesampainya disana, ku lihat Mawar dan calonnya sedang ngobrol di teras rumah. Temanku yang kupinjam pistolnya, tak ku ketahui ternyata membuntutiku bersama kawan-kawannya yang lain. Dia khawatir melihat tingkahku.
Aku keluarkan pistol, ku todongkan ke kepala calonnya. Mawar terkejut bukan main, lantas menangis sejadinya.
“Apa maksud kamu merebut cewekku?” ujarku, aku hajar kepalanya dengan gagang pistol. Teman-temanku mencegahku, merangkul dan merampas pistol itu.
“Aku tak merebut siapa pun?, aku tak tahu kalau Mawar sudah punya cowok.” ucapan calonnya terlihat jujur.
“Aku yang salah Ardie, aku yang menerima lamarannya, aku meragukan cintamu karena jawabanmu minggu lalu. Kamu seolah tak serius berhubungan denganku, tapi asal kamu tahu, dengan siapapun aku menikah, aku tak kan berhenti mencintaimu, dulu aku pernah bersumpah pada diriku sendiri, siapa pun yang melamarku lebih dulu, aku akan menerimanya, meskipun aku tak mencintainya” jelasnya.
Aku mulai menitikkan air mata. Badanku terasa lemas. Mencoba tegar. Dan tiba-tiba semua menjadi gelap.
“Jika aku harus bertunangan dengan anak ibu, terus terang aku tidak siap, namun jika aku harus menikah dengan Mawar, aku siap, tentu sesuai dengan kondisiku saat ini, aku baru diterima bekerja, dan adikku masih butuh biaya buat sekolahnya”. Jawabku lancar, penuh keyakinan. Entah dorongan apa yang menyebabkannya. Perasaanku lega, seperti telah melepaskan beribu beban yang menghimpit hidupku akhir-akhir ini. Ini jawaban terbaikku.
Aku pun pamit dan pergi merantau, meninggalkan Mawar, ke Jakarta. Meraih jalan hidupku.
***
“Aku sayang kamu, Ardie, aku takut kehilangan kamu” ucap Mawar tulus.
“Aku juga, nok” jawabku sambil aku menatap matanya yang teduh. Nok adalah panggilan sayangku kepadanya.
“Sekarang aku takut,” ungkapnya
“kenapa? Apa yang kamu takutkan?”
“aku telah lulus SMA, aku berpisah dengan teman-temanku, dan aku pun takut akan berpisah denganmu,” matanya mulai sembab, perlahan butiran air matanya mulai menetes di pipinya. Bisa kurasakan beban itu menyesakkan dadanya.
“Perpisahan ini hanya sementara, aku ke Jakarta hanya untuk mengejar mimpiku, mencari jalanku agar kita bisa bersatu dalam pernikahan, sementara itu, kamu juga harus mengejar mimpimu, kuliah di Bandung, agar dapat membahagiakan orang tuamu, itu harus kita jalani, ini episode yang harus kita lewati. Jika saatnya tiba, aku yakin semua akan menjadi indah pada waktunya”, ku mencoba menenangkannya. Kuusap kedua pipinya, isaknya mulai reda.
“hari sudah sore, aku antar kamu pulang ya?”
Mawar mengangguk. Kami pun beranjak dari tempat kami, menuju rumahnya. Mawar menggandeng tanganku erat.
***
“Ardie, aku lulus dengan Cumlaude” teriak mawar di ujung telepon. "Bisakah kamu hadir di acara wisudaku?” Tanyanya.
“Benarkah? selamat ya nok, aku pasti hadir, tunggu saja”
“makasih sayang, ku tunggu ya....”
***
Besok adalah hari wisuda Mawar. Ku segera telepon seorang kawan karibku yang ada di Bandung, menanyakan tempat wisudanya, dan aku berniat untuk menginap di kosannya.
“Aku mau ke Bandung nih, kasih alamatmu dong? Selepas kerja aku langsung berangkat ke kosanmu ya?”
“Gampang kok, kamu turun saja di Pintu Tol Padalarang, lalu naik angkot arah Cimahi, nanti aku jemput di depan Pabrik *ltrajaya, ada acara apa nih? Kok tumben mendesak banget sepertinya?”
“Mawar wisuda besok di Ledeng, jarak kosanmu dengan Ledeng jauh ga?”
“Oooo... masalah cewek toh?, Mawar yang mana ya? Yang waktu SMA itu?, aku pikir sudah putus, hehehe,”
“Ya, Mawar yang itu, gimana, jauh ga?”sedikit kesel mendengar jawaban temenku ini tentang 'putus'.
“Deket kok? Paling sejam juga sampai, asal pagi-pagi banget perginya, Cimahi macet bro”
“Ok deh, nanti kita lanjut ngobrolnya di kosan kamu ya, oke? Bye”. Aku menutup teleponku.
Waktu terasa sangat lama. Detik-detik jam kerja bergerak seperti sangat lambat. Sudah tiga bulan aku tak bertemu dengan Mawar, rindu ini serasa semakin membuncah. Sudah lama aku menantikan saat-saat bahagia seperti ini.
Jam pulang kerja pun berdentang, aku bergegas menuju terminal bus Kampung Rambutan, segera ku cari bus jurusan Bandung. Hari sudah menjelang maghrib ketika sebuah bus berpenumpang penuh melintas perlahan di depanku.
“Bandung-Bandung-Bandung, Bandung bang?” teriak kondektur bus sambil menghampiriku. Aku pun naik bus itu.
“Biarlah penuh, yang penting aku segera sampai di Bandung, kasihan temanku kalau aku sampai di Bandung dini hari, besok dia masih kerja”, gumamku.
Pukul 10 malam, bus yang kutumpangi keluar tol Padalarang, aku telepon lagi kawanku, memberitahunya agar menjemput di tempat yang sudah kita tentukan.
***
Hari masih pagi. Matahari pun belum nampak. Udara Bandung yang sangat kontras dengan Jakarta, tak lagi aku hiraukan. Aku bergegas menuju tempat wisuda Mawar.
Nampak dari kejauhan, gadis itu memakai kebaya dan berjilbab. Aku terkesima, dia sangat anggun, cantik sekali. Dia gelisah, seperti sedang menunggu seseorang, sesekali dia melihat jam tangan yang ada di tangan kirinya. Di sekelilingnya, nampak ada adik dan kedua orang tuanya. Namun, dia tak melihatku. Perlahan aku mulai mendekatinya dari belakang.
“Assalamu'alaikum” sapaku.
“Wa'alaikum salam,” jawab mawar sekeluarga, agak terkejut mereka melihat kedatanganku. Mawar menoleh. Lantas segera mencium tanganku. Senyumnya mulai merekah. Aku bersalaman dengan keluarganya. Aku dan Mawar ambil jarak beberapa meter dari keluarganya.
“aku sudah lama lihatin nok dari tadi”
“Jahat banget sih biarin Mawar nungguin”, sifat manjanya mulai nampak.
“Aku mau deketin, cuma ragu.”
“ragu kenapa?”
“benarkah ini nok yang ku kenal? Kok seperti melihat bidadari yang memakai kebaya”
“iiih...masih pagi kok sudah ngegombal” tangannya mulai mencubit pinggangku. Aku meringis. Keluarganya tampak senyum-senyum melihat tingkah kami berdua.
Sayang sekali, tak lama kemudian, panitia sudah mengumumkan bahwa acara wisuda akan segera dimulai.
***
“Jangan temui lagi Mawar, Mawar sudah saya jodohkan dengan orang lain, dia akan menikah minggu depan”. Pesan singkat dari ibunya Mawar itu mengejutkanku.
“Bagaimana bisa Mawar menikah dengan orang lain? Bukankah aku sudah menyampaikan seminggu lalu jika diminta untuk menikahinya, aku siap, tapi sesuai dengan kondisiku saat ini?” beragam tanya berkecamuk dalam pikiranku. Ku coba menghubungi Mawar, namun nomornya tak aktif. Aku putuskan untuk pulang ke Cirebon. Tujuanku langsung bertemu dengan Mawar dan orang tuanya.
Sesampainya di rumah Mawar, tak ku lihat Mawar, ibunya mempersilahkanku masuk.
“To the point ya bu, maksud ibu apa sms seperti itu?”
“bukannya kamu bilang minggu lalu, waktu aku tanya kapan kamu akan melamar Mawar?, kamu jawab seperti itu. Bagiku, itu adalah penolakan secara halus, kamu ga serius dengan Mawar, maka itu, aku jodohkan dia dengan anak temanku, seorang tentara. Kebetulan dia suka sama Mawar. Kemarin orang tuanya datang melamar Mawar, dan Mawar menerima lamaran itu, maka aku mohon sama kamu, agar menjauhi mawar, karena dia akan menikah minggu depan.”
“Berarti, Mawar 'selingkuh' dibelakangku” ujarku penuh emosi.
“Jangan sekali-kali lagi kamu ngomong seperti itu, Mawar setia sama kamu, tapi kamu yang tak kunjung melamarnya, membuatnya ragu”.
“Aku sudah bilang, aku siap menikah dengannya, asal mau menerima kondisiku saat ini, bukan seperti yang ibu pikirkan? Sekarang Mawar dimana? Aku ingin bicara dengannya”.
“Maafkan ibu Ardie, ibu salah paham, ibu serahkan keputusannya sama Mawar, meskipun ibu akan menanggung malu, jika perjodohan ini tidak terjadi.” Aku tak memperdulikan omongannya.
"Mawar kemana?"
“Dia sedang diajak calonnya berkunjung ke rumahnya”.
“Baik, permisi bu, aku akan ke rumahnya”.
Dengan emosi tinggi, aku bergegas ke salah satu temanku, meminjam pistolnya, lantas aku menuju rumah calon suaminya. Akan aku selesaikan secara laki-laki. Sesampainya disana, ku lihat Mawar dan calonnya sedang ngobrol di teras rumah. Temanku yang kupinjam pistolnya, tak ku ketahui ternyata membuntutiku bersama kawan-kawannya yang lain. Dia khawatir melihat tingkahku.
Aku keluarkan pistol, ku todongkan ke kepala calonnya. Mawar terkejut bukan main, lantas menangis sejadinya.
“Apa maksud kamu merebut cewekku?” ujarku, aku hajar kepalanya dengan gagang pistol. Teman-temanku mencegahku, merangkul dan merampas pistol itu.
“Aku tak merebut siapa pun?, aku tak tahu kalau Mawar sudah punya cowok.” ucapan calonnya terlihat jujur.
“Aku yang salah Ardie, aku yang menerima lamarannya, aku meragukan cintamu karena jawabanmu minggu lalu. Kamu seolah tak serius berhubungan denganku, tapi asal kamu tahu, dengan siapapun aku menikah, aku tak kan berhenti mencintaimu, dulu aku pernah bersumpah pada diriku sendiri, siapa pun yang melamarku lebih dulu, aku akan menerimanya, meskipun aku tak mencintainya” jelasnya.
Aku mulai menitikkan air mata. Badanku terasa lemas. Mencoba tegar. Dan tiba-tiba semua menjadi gelap.
“Cinta memang tak harus memiliki”
***
Sepoci madu
Masihkah tertuang
Dalam cawan hati
Kiranya …
Madu dalam cawan hatiku
Tidak memabukan
Bila kau menikmati separuhnya
Dan…
cawan dengan arak dan anggur jenuh
karna ku tak mau tertawa
dalam pantai hayalan
dentingan kasih
masihkah angan mengalun
bersama aliran madu-madu
walau kau kian jauh
22/02/2002
Terinspirasi dari kisah seorang sahabat...
Post a Comment