Pradirwan - Sejak dulu aku memang tak begitu menyukai "main" ke teras tetangga seperti ibu-ibu lain. Berkumpul disaat senggang, bercengkerama, membicarakan apa yang sedang menjadi trending topik saat itu, atau sekedar obrolan "say hello", wujud nyata silaturahmi antar saudara dan tetangga.
Aku juga bukan tak menyukai wujud silaturahmi seperti itu, silaturahmi apapun wujudnya, ku yakini akan mendatangkan rejeki. Maka itu, sesekali aku masih juga ikut bersama ibu-ibu itu, apalagi bila disana jadi tempat berkumpul para keponakan dan sepupu. Mengasuh keponakan adalah hal paling mengasyikkan sebagai pengisi waktu luang selama aku berada di kampung.
Namun ada 1 hal yang menjadi alasan untuk tidak ikut acara "main" di teras tetangga tersebut, yaitu terkadang tema obrolannya menjadi tak terkendali, bahkan terjebak ke dalam kondisi "bergosip". Ini yang terkadang sulit dihindari. Padahal konsekuensi bergosip ini jelas-jelas ga ada untungnya, jika itu benar artinya membuka aib seseorang, dan jika itu salah hanya akan menimbulkan fitnah. Semuanya berdosa.
Dan entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba tetanggaku bilang, "kamu ga bisa ngurus suami kamu ya?"
Bagai disambar petir aku mendengar pertanyaan itu, bagaimana bisa dia berkata seperti itu. Sekampung pun tahu sejak menikah dengan suamiku aku sudah mengikutinya kemana pun ia pergi. Menyiapkan segala kebutuhannya sejak bangun hingga tidur lagi. Aku rela meninggalkan orang tuaku, keluargaku demi mengabdi kepada suami.
Tiba-tiba dadaku mendadak sesak, seperti hampir kehabisan oksigen. Ku tarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Emosiku mencoba menguasai.
"Aku mendengar sendiri adik iparmu bilang begitu, saat di warung, sedang ngobrol berdua dengan pedagang warung itu, dia bilang apalagi dititipin orang tua, suami saja ga diurusin?" katanya lagi melanjutkan.
Tak kuasa aku menahan malu di depan saudara dan tetanggaku. Bagaimana bisa adik iparku berkata seperti itu? Sambil menahan tangisku jatuh, aku buru-buru pulang membawa rasa sakit hati ini.
Di saat aku mulai menata lagi hidupku sejak kehilangan ibu sebulan yang lalu, kini cobaan baru sudah ku terima. Aku seperti memikul beban yang berat. Tertatih ku dibuatnya.
Aku segera mencari suamiku. Ku lihat sedang berbincang dengan sepupuku dan seorang teman. Tak mau mengganggu, aku coba sms.
"apa aku pernah tak mengurusmu?, mohon jawab dengan jujur"
"Ga, kenapa?"
"adikmu bilang aku ga ngurusin kamu bang?, bisa kita bicara di dalam? "
Tak lama suamiku muncul. Aku ceritakan semuanya.
"seingatku kamu ga mengurusku hanya ketika ibumu meninggal saja, dan aku mengikhlaskannya karena kondisi yang tak memungkinkan. Harusnya itu tak menjadi masalah, karena aku dan kamu ga ada masalah" suamiku mulai berkata.
"jika sudah tiba masa orang tua kita tak bisa bekerja, kita mau mengurusnya, tapi sampai saat ini, orang tua kita ga meminta, tak ada telpon atau pembicaraan apapun yang mengarah kesana, bagaimana bisa kita tiba-tiba memaksa orang tua kita tinggal bersama kita, jika pembicaraan tentang hal itu pun tak pernah ada?"
"setiap info itu jangan suka di telan mentah-mentah. Harus di klarifikasi dulu, agar tak salah mengambil kesimpulan. Bahkan berita dari media ternama pun harus kamu klarifikasi dulu sebelum kamu ambil kesimpulan. Karena apapun yang terlihat dan yang terdengar itu belum tentu yang sebenarnya", suamiku menjelaskan.
"sekarang kita klarifikasi, jika dia mengakui, maafkanlah, jika tak mengakui ya sudah, mau bagaimana cara membuktikannya, kita serahkan saja sama Allah, Allah maha tau dan yakin saja, setiap perbuatan ada balasannya"
"ayo kita klarifikasi ke orangnya!" ujarku. Aku ingin masalah ini tak berlarut-larut. Kami bergegas ke rumah adik.
"Adik, aku dapat omongan, kamu bilang di warung kalau mbak tak mengurus kakakmu, apalagi ngurusin orang tua suami saja ga diurusin, bener kamu bilang begitu?, kan kamu tahu, sejak nikah aku ikut terus sama kakakmu."
"seingatku, aku tak pernah ngomong seperti itu, tapi barangkali aku lupa, aku minta maaf sebelumnya. Mbak bisa ceritakan detilnya? Siapa saja saksinya? Kapan kejadiannya? Dimana? Agar mbak yakin, mbak bisa pertemukan aku dan mereka di hadapan mbak, dan tanyakan hal tersebut? Aku siap mbak, aku merasa tak pernah mengatakan seperti itu?".
"Kalau sampai benar adik ngomong begitu, itu sih kurang ajar namanya, tapi sepertinya itu tak mungkin dilakukan, bisa saja orang itu sengaja mengarang cerita agar adik dan kakak berantem, kamu dan keluarga ini ga akur". Mertuaku menambahkan.
"saat ini, keluarga kita sedang menjadi trending topik tetangga. Mereka menunggu kita terjebak dalam kesalahan sekecil apapun, baik omongan atau pun tingkah laku, lalu memblow up besar-besaran layaknya selebriti yang sedang naik daun, namun itulah resikonya hidup bertetangga, tinggal kita memilih saja, yang mana yang harus didengar dan dilakukan dan yang mana yang tidak".
Emosiku mulai surut. Kini ku mengerti apa yang terjadi. Hari ini ku belajar bahwa hidup adalah seni mengolah informasi. Bijaksanalah dalam mengatasi masalah dan berdamailah dengan hatimu.
---
Aku juga bukan tak menyukai wujud silaturahmi seperti itu, silaturahmi apapun wujudnya, ku yakini akan mendatangkan rejeki. Maka itu, sesekali aku masih juga ikut bersama ibu-ibu itu, apalagi bila disana jadi tempat berkumpul para keponakan dan sepupu. Mengasuh keponakan adalah hal paling mengasyikkan sebagai pengisi waktu luang selama aku berada di kampung.
para keponakan (Juli 2015) |
Dan entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba tetanggaku bilang, "kamu ga bisa ngurus suami kamu ya?"
Bagai disambar petir aku mendengar pertanyaan itu, bagaimana bisa dia berkata seperti itu. Sekampung pun tahu sejak menikah dengan suamiku aku sudah mengikutinya kemana pun ia pergi. Menyiapkan segala kebutuhannya sejak bangun hingga tidur lagi. Aku rela meninggalkan orang tuaku, keluargaku demi mengabdi kepada suami.
Tiba-tiba dadaku mendadak sesak, seperti hampir kehabisan oksigen. Ku tarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Emosiku mencoba menguasai.
"Aku mendengar sendiri adik iparmu bilang begitu, saat di warung, sedang ngobrol berdua dengan pedagang warung itu, dia bilang apalagi dititipin orang tua, suami saja ga diurusin?" katanya lagi melanjutkan.
Tak kuasa aku menahan malu di depan saudara dan tetanggaku. Bagaimana bisa adik iparku berkata seperti itu? Sambil menahan tangisku jatuh, aku buru-buru pulang membawa rasa sakit hati ini.
Di saat aku mulai menata lagi hidupku sejak kehilangan ibu sebulan yang lalu, kini cobaan baru sudah ku terima. Aku seperti memikul beban yang berat. Tertatih ku dibuatnya.
Aku segera mencari suamiku. Ku lihat sedang berbincang dengan sepupuku dan seorang teman. Tak mau mengganggu, aku coba sms.
"apa aku pernah tak mengurusmu?, mohon jawab dengan jujur"
"Ga, kenapa?"
"adikmu bilang aku ga ngurusin kamu bang?, bisa kita bicara di dalam? "
Tak lama suamiku muncul. Aku ceritakan semuanya.
"seingatku kamu ga mengurusku hanya ketika ibumu meninggal saja, dan aku mengikhlaskannya karena kondisi yang tak memungkinkan. Harusnya itu tak menjadi masalah, karena aku dan kamu ga ada masalah" suamiku mulai berkata.
"jika sudah tiba masa orang tua kita tak bisa bekerja, kita mau mengurusnya, tapi sampai saat ini, orang tua kita ga meminta, tak ada telpon atau pembicaraan apapun yang mengarah kesana, bagaimana bisa kita tiba-tiba memaksa orang tua kita tinggal bersama kita, jika pembicaraan tentang hal itu pun tak pernah ada?"
"setiap info itu jangan suka di telan mentah-mentah. Harus di klarifikasi dulu, agar tak salah mengambil kesimpulan. Bahkan berita dari media ternama pun harus kamu klarifikasi dulu sebelum kamu ambil kesimpulan. Karena apapun yang terlihat dan yang terdengar itu belum tentu yang sebenarnya", suamiku menjelaskan.
"sekarang kita klarifikasi, jika dia mengakui, maafkanlah, jika tak mengakui ya sudah, mau bagaimana cara membuktikannya, kita serahkan saja sama Allah, Allah maha tau dan yakin saja, setiap perbuatan ada balasannya"
"ayo kita klarifikasi ke orangnya!" ujarku. Aku ingin masalah ini tak berlarut-larut. Kami bergegas ke rumah adik.
"Adik, aku dapat omongan, kamu bilang di warung kalau mbak tak mengurus kakakmu, apalagi ngurusin orang tua suami saja ga diurusin, bener kamu bilang begitu?, kan kamu tahu, sejak nikah aku ikut terus sama kakakmu."
"seingatku, aku tak pernah ngomong seperti itu, tapi barangkali aku lupa, aku minta maaf sebelumnya. Mbak bisa ceritakan detilnya? Siapa saja saksinya? Kapan kejadiannya? Dimana? Agar mbak yakin, mbak bisa pertemukan aku dan mereka di hadapan mbak, dan tanyakan hal tersebut? Aku siap mbak, aku merasa tak pernah mengatakan seperti itu?".
"Kalau sampai benar adik ngomong begitu, itu sih kurang ajar namanya, tapi sepertinya itu tak mungkin dilakukan, bisa saja orang itu sengaja mengarang cerita agar adik dan kakak berantem, kamu dan keluarga ini ga akur". Mertuaku menambahkan.
"saat ini, keluarga kita sedang menjadi trending topik tetangga. Mereka menunggu kita terjebak dalam kesalahan sekecil apapun, baik omongan atau pun tingkah laku, lalu memblow up besar-besaran layaknya selebriti yang sedang naik daun, namun itulah resikonya hidup bertetangga, tinggal kita memilih saja, yang mana yang harus didengar dan dilakukan dan yang mana yang tidak".
Emosiku mulai surut. Kini ku mengerti apa yang terjadi. Hari ini ku belajar bahwa hidup adalah seni mengolah informasi. Bijaksanalah dalam mengatasi masalah dan berdamailah dengan hatimu.
---
Post a Comment