Pradirwan - "Benarkah kamu akan bertunangan dengan Lia?" tanya pak guru didepan para anggota keluarga yang lain. Beliau salah satu tokoh penting di kampung ini. Seorang tokoh masyarakat yang cukup disegani. Kali ini, beliau berperan sebagai perwakilan keluarga perempuan yang akan bertunangan denganku.
"Ya, pak", jawabku dengan malu-malu. Sungguh perasaanku layaknya seorang terdakwa yang sedang menghadapi sidang vonis pengadilan. Dag dig dug jantung ini terasa berdetak semakin kencang.
"Kapan kamu mulai berpacaran dengannya?" tanyanya lagi.
"Sudah lumayan lama, lebih dari 6 bulanan", jawabku mulai gugup, kondisi ini mulai menyiksa. Tak biasa aku harus berkata di depan seluruh kerabat seperti ini.
"Ketemu dimana? Dengan cara bagaimana?" lanjutnya lagi. Pak Guru sudah mirip polisi yang sedang menginterogasi tersangka.
"Ketemu di perantauan, biasa saja via hape, sms dan telpon". Aku coba jawab sejujurnya meski keringat dingin mulai menjalari setiap jengkal tubuh ini. Telapak tangan dan kakiku terasa semakin dingin.
"Untuk apa sih menanyakan hal-hal seperti ini? Hubungannya apa dengan acara pertunangan ini? Kepo amat sih?" Gerutuku dalam hati. Aku mulai ga tahan.
Malam semakin larut. Suara binatang malam mulai makin jelas terdengar. Sesekali terdengar pula deru motor yang melewati gang beberapa meter dari kamar kosku bersama dua rekan sekamarku.
Mereka adalah Excel dan Pangky rekan-rekan yang sudah sedari awal aku lahir memang sekampung denganku, hingga kini kami bekerja, merantau ke kota Tangerang ini, kami masih bersama, bahkan kini berbagi kamar kos.
Kamar kos kami memang cukup untuk bertiga yang sama-sama masih bujangan, meski tak begitu luas, hanya 4x4 m2 saja luasnya. Selain karena alasan sekampung tadi, hal ini kami lakukan agar bisa menghemat pengeluaran kami di kota yang lumayan besar ini.
Aku dan Excel pulang ke kosan kami. Sayup-sayup dari luar pintu kamar, kami mendengar Pangky sedang menelpon seseorang. Benar saja, ketika kami membuka pintu kamar, Pangky sedang bertelepon. Melihat kami datang, Pangky buru-buru menyudahi telponnya.
"Sudah dulu ya, teman-temanku sudah datang, nanti aku telpon lagi, assalamu'alaikum" katanya sambil menutup telponnya.
"Telponan sama siapa? Cewek ya?" kataku penasaran.
"memangnya kenapa? Ga boleh gitu? Memangnya cuma kamu aja yang bisa telponan sama cewek?" rentetan pertanyaan itu meluncur deras tanda protes. Tak lama Pangky pun bercerita: "Dia temanku, namanya Tini, kalau mau kenalan, nanti aku coba tanyakan dulu ke orangnya ya", jelasnya.
"Ide yang cerdas, kenalin denganku ya, hehehe ". Aku tersenyum penuh makna. Tak lama berselang, Pangky pun akhirnya menyebutkan nomor telpon cewek tersebut.
"Hallo, assalam'ualaikum? Ini dengan Tini ya..., aku dapat nomor kamu dari Pangky" kataku.
"wa'alaikum salam... Bukan, aku bukan Tini, ini siapa?" Suara cewek itu di ujung telpon.
Aku terkejut saat dia bilang bukan Tini. "Aku pasti sudah dikerjain sama Pangky nih, sudah kepalang tanggung, lanjutkan saja... " pikirku
"Panggil saja aku Dion, aku teman Pangky. Nama kamu siapa?" aku memakai nama samaran. Nama yang baru saja aku ciptakan.
"Aku Amel..."
"Tapi kamu benar temannya Pangky kan? " aku menegaskan kembali. Tiba-tiba pikiranku mengatakan ini salah sambung.
"Ya, aku temannya saat di SMA dulu". Jelasnya. Senang aku mendengar jawaban ini, setidaknya aku tidak merasa dikerjain 100% oleh Pangky.
"Berarti kamu orang Cirebon dong?"
"Ya, aku orang Plumbon, Cirebon"
"Apa kita sudah pernah bertemu?"
"Ya, aku kenal kamu, aku tau semua tentang kamu"
Waduh... Aku semakin dibuatnya penasaran. Aku mulai menduga - duga siapa sebenarnya cewek ini. Dia mengenalku dengan baik, tapi aku tak mengenalnya? Apakah Pangky sudah menceritakan semua tentangku?
Tiga bulan berlalu, aku beranikan diri untuk bertanya "Boleh aku main ke tempatmu?"
Berhari-hari sejak perkenalan kami, kami tak pernah bertemu. Komunikasi kami hanya sms dan telpon saja.
"Boleh saja, emangnya berani, jarak kita kan lumayan jauh?" tantangnya.
Rasa penasaranku menuntun aku untuk nekat bagaimana pun caranya agar bisa bertemu dengannya, apalagi dengan tantangan seperti ini. Aku menanyakan alamat pertemuan kami. Sebuah bengkel di Kota Serang menjadi tempat janji ketemu. Dengan penuh semangat aku coba berangkat menuju Serang, dan ketemulah dengan bengkel yang dimaksud Amel.
Hari masih siang ketika aku sampai di bengkel. Aku terkejut ketika kudapati di depan ku berdiri laki-laki muda yang sangat aku kenal. Dia adik temanku, sekampung pula. Laki-laki itupun terkejut melihat kedatanganku.
"Bro? Kamu ada disini? Sama siapa?"
"Aku sama mas Ari, tuh dia... " sambil menunjuk mas Ari.
Aku makin terkejut, ketika ku ketahui bahwa bengkel ini adalah milik orang sekampungku. Dia kakak mas Ari. Lantas hubungan dengan Amel apa?
Ari mengajak masuk. Layaknya bertemu kawan lama, kami mengobrol melepas kangen. Seorang gadis menyuguhkan minuman kepada kami. Aku pangling namun masih mengenalnya, tetanggaku satu RT di kampung. Hanya saja kami jarang bertemu, sejak lulus SMA dia merantau.
"Lia, kamu disini, apa kabar?" aku menyapanya dan bersalaman. Kulihat sekeliling, mereka tersenyum kepadaku.
"Baik, bagaimana denganmu Dion?" jawabnya.
Aku terkejut dia memanggilku Dion. Nama yang ku berikan hanya pada Amel. Amel juga janjian ketemu disini.
"Apa ka-ka-mu Amel?" terbata ku meyakinkan diri bertanya.
"Ya, nama lengkapku Amelia".
Tuntas sudah rasa penasaranku. Amel yang ku kira orang Plumbon, tak pernah ku kenal, ternyata orang yang dekat denganku. Bahkan rumahnya hanya beberapa meter denganku. Dunia memang sempit.
Kisah ini terinspirasi dari sahabat kami.
"Ya, pak", jawabku dengan malu-malu. Sungguh perasaanku layaknya seorang terdakwa yang sedang menghadapi sidang vonis pengadilan. Dag dig dug jantung ini terasa berdetak semakin kencang.
"Kapan kamu mulai berpacaran dengannya?" tanyanya lagi.
"Sudah lumayan lama, lebih dari 6 bulanan", jawabku mulai gugup, kondisi ini mulai menyiksa. Tak biasa aku harus berkata di depan seluruh kerabat seperti ini.
"Ketemu dimana? Dengan cara bagaimana?" lanjutnya lagi. Pak Guru sudah mirip polisi yang sedang menginterogasi tersangka.
"Ketemu di perantauan, biasa saja via hape, sms dan telpon". Aku coba jawab sejujurnya meski keringat dingin mulai menjalari setiap jengkal tubuh ini. Telapak tangan dan kakiku terasa semakin dingin.
"Untuk apa sih menanyakan hal-hal seperti ini? Hubungannya apa dengan acara pertunangan ini? Kepo amat sih?" Gerutuku dalam hati. Aku mulai ga tahan.
---
Malam semakin larut. Suara binatang malam mulai makin jelas terdengar. Sesekali terdengar pula deru motor yang melewati gang beberapa meter dari kamar kosku bersama dua rekan sekamarku.
Mereka adalah Excel dan Pangky rekan-rekan yang sudah sedari awal aku lahir memang sekampung denganku, hingga kini kami bekerja, merantau ke kota Tangerang ini, kami masih bersama, bahkan kini berbagi kamar kos.
Kamar kos kami memang cukup untuk bertiga yang sama-sama masih bujangan, meski tak begitu luas, hanya 4x4 m2 saja luasnya. Selain karena alasan sekampung tadi, hal ini kami lakukan agar bisa menghemat pengeluaran kami di kota yang lumayan besar ini.
Aku dan Excel pulang ke kosan kami. Sayup-sayup dari luar pintu kamar, kami mendengar Pangky sedang menelpon seseorang. Benar saja, ketika kami membuka pintu kamar, Pangky sedang bertelepon. Melihat kami datang, Pangky buru-buru menyudahi telponnya.
"Sudah dulu ya, teman-temanku sudah datang, nanti aku telpon lagi, assalamu'alaikum" katanya sambil menutup telponnya.
"Telponan sama siapa? Cewek ya?" kataku penasaran.
"memangnya kenapa? Ga boleh gitu? Memangnya cuma kamu aja yang bisa telponan sama cewek?" rentetan pertanyaan itu meluncur deras tanda protes. Tak lama Pangky pun bercerita: "Dia temanku, namanya Tini, kalau mau kenalan, nanti aku coba tanyakan dulu ke orangnya ya", jelasnya.
"Ide yang cerdas, kenalin denganku ya, hehehe ". Aku tersenyum penuh makna. Tak lama berselang, Pangky pun akhirnya menyebutkan nomor telpon cewek tersebut.
---
"Hallo, assalam'ualaikum? Ini dengan Tini ya..., aku dapat nomor kamu dari Pangky" kataku.
"wa'alaikum salam... Bukan, aku bukan Tini, ini siapa?" Suara cewek itu di ujung telpon.
Aku terkejut saat dia bilang bukan Tini. "Aku pasti sudah dikerjain sama Pangky nih, sudah kepalang tanggung, lanjutkan saja... " pikirku
"Panggil saja aku Dion, aku teman Pangky. Nama kamu siapa?" aku memakai nama samaran. Nama yang baru saja aku ciptakan.
"Aku Amel..."
"Tapi kamu benar temannya Pangky kan? " aku menegaskan kembali. Tiba-tiba pikiranku mengatakan ini salah sambung.
"Ya, aku temannya saat di SMA dulu". Jelasnya. Senang aku mendengar jawaban ini, setidaknya aku tidak merasa dikerjain 100% oleh Pangky.
"Berarti kamu orang Cirebon dong?"
"Ya, aku orang Plumbon, Cirebon"
"Apa kita sudah pernah bertemu?"
"Ya, aku kenal kamu, aku tau semua tentang kamu"
Waduh... Aku semakin dibuatnya penasaran. Aku mulai menduga - duga siapa sebenarnya cewek ini. Dia mengenalku dengan baik, tapi aku tak mengenalnya? Apakah Pangky sudah menceritakan semua tentangku?
---
Tiga bulan berlalu, aku beranikan diri untuk bertanya "Boleh aku main ke tempatmu?"
Berhari-hari sejak perkenalan kami, kami tak pernah bertemu. Komunikasi kami hanya sms dan telpon saja.
"Boleh saja, emangnya berani, jarak kita kan lumayan jauh?" tantangnya.
Rasa penasaranku menuntun aku untuk nekat bagaimana pun caranya agar bisa bertemu dengannya, apalagi dengan tantangan seperti ini. Aku menanyakan alamat pertemuan kami. Sebuah bengkel di Kota Serang menjadi tempat janji ketemu. Dengan penuh semangat aku coba berangkat menuju Serang, dan ketemulah dengan bengkel yang dimaksud Amel.
Hari masih siang ketika aku sampai di bengkel. Aku terkejut ketika kudapati di depan ku berdiri laki-laki muda yang sangat aku kenal. Dia adik temanku, sekampung pula. Laki-laki itupun terkejut melihat kedatanganku.
"Bro? Kamu ada disini? Sama siapa?"
"Aku sama mas Ari, tuh dia... " sambil menunjuk mas Ari.
Aku makin terkejut, ketika ku ketahui bahwa bengkel ini adalah milik orang sekampungku. Dia kakak mas Ari. Lantas hubungan dengan Amel apa?
Ari mengajak masuk. Layaknya bertemu kawan lama, kami mengobrol melepas kangen. Seorang gadis menyuguhkan minuman kepada kami. Aku pangling namun masih mengenalnya, tetanggaku satu RT di kampung. Hanya saja kami jarang bertemu, sejak lulus SMA dia merantau.
"Lia, kamu disini, apa kabar?" aku menyapanya dan bersalaman. Kulihat sekeliling, mereka tersenyum kepadaku.
"Baik, bagaimana denganmu Dion?" jawabnya.
Aku terkejut dia memanggilku Dion. Nama yang ku berikan hanya pada Amel. Amel juga janjian ketemu disini.
"Apa ka-ka-mu Amel?" terbata ku meyakinkan diri bertanya.
"Ya, nama lengkapku Amelia".
Tuntas sudah rasa penasaranku. Amel yang ku kira orang Plumbon, tak pernah ku kenal, ternyata orang yang dekat denganku. Bahkan rumahnya hanya beberapa meter denganku. Dunia memang sempit.
---
Kisah ini terinspirasi dari sahabat kami.
Doy "mata nazwa" |
Note: artikel ini juga di terbitkan di birokreasi.com
Keren narasimu, Her... keep writing
ReplyDeleteIyakah? Jadi tersanjung hehehe... Makasih pak... Gara-gara pusing mikirin berita yang belum tentu benar, makanya bikin cerpen aja pak...
ReplyDelete