Pradirwan - Aku melihat jam dinding itu. Pukul 14.52. Sudah dua jam ternyata sejak aku keluar rumah untuk ikut acara "seserahan" salah satu sahabatku. Dia akhirnya akan menikah dalam dua hari kedepan setelah melalui proses yang cukup panjang. Ah sudahlah, biarlah ini akan menjadi kenangan indah bagi dia dan calon istrinya saja kelak. Bagiku, melihat senyum kebahagiaan di wajahnya saja sudah menyenangkan. Aku turut berbahagia.
Aku masuk kamar untuk sekedar berganti pakaian. Cuaca terik siang ini, cukup membuat sekujur badanku keringatan. Sungguh aku merasa tak nyaman.
Tiba-tiba nada dering ponselku samar-samar terdengar. Nada sms. Aku mencari benda kecil berharga itu. Suaranya dari ruang keluarga.
"suruh adik bawa uang 80 ribu ke rumah bibi, segera!" tulisan sms itu. Ternyata sms dari istriku. "Ada apa?" pikiranku mulai bertanya-tanya. Apakah ada yang mau dibelinya? Lupakan mencari jawaban. Aku bergegas menyelesaikan urusanku berganti pakaian.
Aku memanggil adik, dari suaranya dia ada di dapur. Aku melangkah kesana, ku lihat dia sedang membersihkan piring dan alat-alat masak yang lainnya. "Ya kak, ada apa?" tanyanya. Aku yang hendak menyampaikan isi sms itu mengurungkan diri. Saya takut mengganggu pekerjaannya. Lebih baik aku saja yang menyampaikannya uang 80 ribu itu ke istriku. Lagipula disana bisa ketemu sama bibi dan para sepupu yang lain.
"Ga papa. Aku pikir kamu senggang, sudah lanjutkan saja", jawabku.
"Ini uangnya, buat bayar apa bu?" aku bertanya sambil menyerahkan uang 100 ribu.
"Ga ada uang pas saja?" dia balik bertanya.
"Ga ada. Cuma itu", jawabku.
Lantas dia mencoba menukarkan uang itu ke sepupu. Tak ada yang punya pecahan kecil sejumlah 100 ribu.
"Coba tukarkan ke warung" pintanya ke sepupuku.
Sepupu berangkat ke warung. Tak lama, sepupu datang dan menyerahkan uang hasil pecahan 100 ribu.
"Ada apa toh bu?" aku mengulangi pertanyaanku. Rasa penasaranku makin memuncak. Aku pikir pasti ada yang tak beres.
"Mimi kata "orang itu" masih punya hutang pada anaknya dulu, waktu masih jualan," matanya mulai berkaca-kaca. Istriku tak dapat melanjutkan kata-katanya. Hanya suara isaknya saja yang makin jelas terdengar. Air matanya mengalir bak titian air sungai.
Aku terkejut. Sudah hampir 40 hari sejak mimi pamit, kenapa baru sekarang menagih hutang mimi? Bukankah di setiap prosesi pemakaman, selalu disampaikan bila ada hutang-piutang agar segera diselesaikan sama ahli waris? Bukankah dia tau jika tak segera diselesaikan akan membebani almarhumah? Bukankah dia juga tau rumah kami? Kenapa tidak langsung datang ke rumah kami? Bukankah rumah kami berjarak hanya beberapa meter saja dengan rumahnya? Kami ada lebih dari seminggu untuk menyelesaikan urusan ini. Apa masalahnya? Tak enak hatikah melihat kami yang sedang berkabung bila menagih hutang anaknya? Bukankah bisa disampaikan melalui bibi atau saudara kami? Terlalu sibukkah? Rentetan pertanyaan baru menghujam dipikiranku.
Beberapa waktu aku terdiam menunggu kejelasan.
"Dia bilang begitu, saat tadi di prosesi seserahan, di depan banyak orang, aku malu, takut apa kata saudara yang lain kalau mendengar hal ini, takut ada prasangka yang tidak-tidak, padahal anak-anaknya sungguh memang tak tau", istriku mulai menjelaskan disela isaknya.
"terus kamu bilang apa?" tanyaku selanjutnya.
"Aku tak sanggup berkata, untungnya ada bibi, dia berkata kenapa tak sedari kemarin-kemarin bilangnya, lagipula yang memberikan hutang anakmu? Benarkah adikku berhutang segitu?".
"Ada catatannya, pernah ku tanyakan, tapi aku susah untuk menagihnya waktu itu, almarhumah susah ditagihnya. Jika ga percaya, nanti saja sama anakku urusannya sepulang dari luar negeri", jawabnya.
Aku masuk kamar untuk sekedar berganti pakaian. Cuaca terik siang ini, cukup membuat sekujur badanku keringatan. Sungguh aku merasa tak nyaman.
Tiba-tiba nada dering ponselku samar-samar terdengar. Nada sms. Aku mencari benda kecil berharga itu. Suaranya dari ruang keluarga.
"suruh adik bawa uang 80 ribu ke rumah bibi, segera!" tulisan sms itu. Ternyata sms dari istriku. "Ada apa?" pikiranku mulai bertanya-tanya. Apakah ada yang mau dibelinya? Lupakan mencari jawaban. Aku bergegas menyelesaikan urusanku berganti pakaian.
Aku memanggil adik, dari suaranya dia ada di dapur. Aku melangkah kesana, ku lihat dia sedang membersihkan piring dan alat-alat masak yang lainnya. "Ya kak, ada apa?" tanyanya. Aku yang hendak menyampaikan isi sms itu mengurungkan diri. Saya takut mengganggu pekerjaannya. Lebih baik aku saja yang menyampaikannya uang 80 ribu itu ke istriku. Lagipula disana bisa ketemu sama bibi dan para sepupu yang lain.
"Ga papa. Aku pikir kamu senggang, sudah lanjutkan saja", jawabku.
---
"Ini uangnya, buat bayar apa bu?" aku bertanya sambil menyerahkan uang 100 ribu.
"Ga ada uang pas saja?" dia balik bertanya.
"Ga ada. Cuma itu", jawabku.
Lantas dia mencoba menukarkan uang itu ke sepupu. Tak ada yang punya pecahan kecil sejumlah 100 ribu.
"Coba tukarkan ke warung" pintanya ke sepupuku.
Sepupu berangkat ke warung. Tak lama, sepupu datang dan menyerahkan uang hasil pecahan 100 ribu.
"Ada apa toh bu?" aku mengulangi pertanyaanku. Rasa penasaranku makin memuncak. Aku pikir pasti ada yang tak beres.
"Mimi kata "orang itu" masih punya hutang pada anaknya dulu, waktu masih jualan," matanya mulai berkaca-kaca. Istriku tak dapat melanjutkan kata-katanya. Hanya suara isaknya saja yang makin jelas terdengar. Air matanya mengalir bak titian air sungai.
Aku terkejut. Sudah hampir 40 hari sejak mimi pamit, kenapa baru sekarang menagih hutang mimi? Bukankah di setiap prosesi pemakaman, selalu disampaikan bila ada hutang-piutang agar segera diselesaikan sama ahli waris? Bukankah dia tau jika tak segera diselesaikan akan membebani almarhumah? Bukankah dia juga tau rumah kami? Kenapa tidak langsung datang ke rumah kami? Bukankah rumah kami berjarak hanya beberapa meter saja dengan rumahnya? Kami ada lebih dari seminggu untuk menyelesaikan urusan ini. Apa masalahnya? Tak enak hatikah melihat kami yang sedang berkabung bila menagih hutang anaknya? Bukankah bisa disampaikan melalui bibi atau saudara kami? Terlalu sibukkah? Rentetan pertanyaan baru menghujam dipikiranku.
Beberapa waktu aku terdiam menunggu kejelasan.
"Dia bilang begitu, saat tadi di prosesi seserahan, di depan banyak orang, aku malu, takut apa kata saudara yang lain kalau mendengar hal ini, takut ada prasangka yang tidak-tidak, padahal anak-anaknya sungguh memang tak tau", istriku mulai menjelaskan disela isaknya.
"terus kamu bilang apa?" tanyaku selanjutnya.
"Aku tak sanggup berkata, untungnya ada bibi, dia berkata kenapa tak sedari kemarin-kemarin bilangnya, lagipula yang memberikan hutang anakmu? Benarkah adikku berhutang segitu?".
"Ada catatannya, pernah ku tanyakan, tapi aku susah untuk menagihnya waktu itu, almarhumah susah ditagihnya. Jika ga percaya, nanti saja sama anakku urusannya sepulang dari luar negeri", jawabnya.
"Aku tak sanggup mendengar apa-apa lagi. Dadaku sudah sesak, seperti ada batu besar yang menimpa dadaku ".
Sepupu yang sedari tadi diam, ikut berkata, "memang dulu almarhumah pernah berhutang dagangannya, tapi setahuku bayar kok. Almarhumah bilang sudah lunas, tapi menurutnya belum?, entahlah mana yang benar, aku tak tahu pasti."
"Ya, aku ingat, dia dulu juga pernah menawarkan dagangannya itu ke istri dan mimi, tapi apa mungkin mimi ga bayar hutangnya, sedangkan mimi selalu memberi hutang ke orang lain? Ga ada uang pun selalu diusahakan. Apalagi hanya barang seharga di bawah 500 ribu, insyaallah kalau itu pasti bisa dibayar", ujarku.
"Ya sudah, sekarang kita selesaikan saja, terlepas siapa yang salah dan benar, kita lunasin saja. Toh kita juga tidak tahu, tidak ada saksi juga, tapi yakin deh, Allah maha tau, jika itu benar, maka kita sudah lunasin, jika itu bohong, anggap saja kita telah bersedekah kepada yang membutuhkan. Ikhlasin saja", kataku mencoba memberi solusi.
"Ya, aku setuju apa kata kamu", ujar sepupuku.
Mendengar itu, tangis istriku mulai reda. "Sehabis ashar aku dan adik akan ke rumahnya", kata istriku.
Senja mulai menjelang. Ditemani bibi dan adiknya, istriku berkunjung ke rumah orang itu. Menyelesaikan masalah.
"Maaf ya, aku ga sengaja mengungkapkan hal itu tadi siang, tak ada niat apa-apa kecuali menyelesaikan masalah itu, aku ga menyangka jadinya seperti ini". Orang itu memulai pembicaraan, di saksikan suami dan anak bungsunya. Suaminya agak terkejut melihat tingkah istrinya. Lantas menegur istrinya.
"Ya, ga apa-apa. Hanya saja, punten pisan, lain kali jangan pernah mengulangi cara seperti tadi siang. Di depan banyak orang. Terus terang kami malu. Kami insyaallah akan mampu melunasi hutang itu, ini sebagai pelunasan hutang itu, mohon diterima dan mohon juga agar catatannya dihapuskan".
"Atas nama almarhumah, kami juga meminta maaf, apabila selama hidupnya ada kekhilafan baik sengaja ataupun tidak sengaja, dan kami juga mengucapkan terima kasih atas bantuannya selama ini".
Terharu mendengar jawaban istriku. Ternyata dia bisa kendalikan emosinya dan dengan santun mengungkapkan semua kalimat itu. Sikap itulah yang perlu terus dilakukan.
Sepupu yang sedari tadi diam, ikut berkata, "memang dulu almarhumah pernah berhutang dagangannya, tapi setahuku bayar kok. Almarhumah bilang sudah lunas, tapi menurutnya belum?, entahlah mana yang benar, aku tak tahu pasti."
"Ya, aku ingat, dia dulu juga pernah menawarkan dagangannya itu ke istri dan mimi, tapi apa mungkin mimi ga bayar hutangnya, sedangkan mimi selalu memberi hutang ke orang lain? Ga ada uang pun selalu diusahakan. Apalagi hanya barang seharga di bawah 500 ribu, insyaallah kalau itu pasti bisa dibayar", ujarku.
"Ya sudah, sekarang kita selesaikan saja, terlepas siapa yang salah dan benar, kita lunasin saja. Toh kita juga tidak tahu, tidak ada saksi juga, tapi yakin deh, Allah maha tau, jika itu benar, maka kita sudah lunasin, jika itu bohong, anggap saja kita telah bersedekah kepada yang membutuhkan. Ikhlasin saja", kataku mencoba memberi solusi.
"Ya, aku setuju apa kata kamu", ujar sepupuku.
Mendengar itu, tangis istriku mulai reda. "Sehabis ashar aku dan adik akan ke rumahnya", kata istriku.
---
Senja mulai menjelang. Ditemani bibi dan adiknya, istriku berkunjung ke rumah orang itu. Menyelesaikan masalah.
"Maaf ya, aku ga sengaja mengungkapkan hal itu tadi siang, tak ada niat apa-apa kecuali menyelesaikan masalah itu, aku ga menyangka jadinya seperti ini". Orang itu memulai pembicaraan, di saksikan suami dan anak bungsunya. Suaminya agak terkejut melihat tingkah istrinya. Lantas menegur istrinya.
"Ya, ga apa-apa. Hanya saja, punten pisan, lain kali jangan pernah mengulangi cara seperti tadi siang. Di depan banyak orang. Terus terang kami malu. Kami insyaallah akan mampu melunasi hutang itu, ini sebagai pelunasan hutang itu, mohon diterima dan mohon juga agar catatannya dihapuskan".
"Atas nama almarhumah, kami juga meminta maaf, apabila selama hidupnya ada kekhilafan baik sengaja ataupun tidak sengaja, dan kami juga mengucapkan terima kasih atas bantuannya selama ini".
Terharu mendengar jawaban istriku. Ternyata dia bisa kendalikan emosinya dan dengan santun mengungkapkan semua kalimat itu. Sikap itulah yang perlu terus dilakukan.
---
"Ketika ada orang yang menyakitimu, berdoalah kepada Allah agar kamu tidak seperti orang itu, berdoalah kamu agar menjadi orang baik. Percayalah ketika kamu tetap tersenyum saat berhadapan dengan orang yang menyakiti, dia akan merasa malu seumur hidupnya"
Post a Comment