Fragmen tentang Juli |
Pradirwan - Pesawatku mendarat usai menyeberangi samudera berjam-jam. Perjalanan panjang ini sungguh melelahkan.
Aku menginjakkan kakiku di sebuah pulau yang subur. Gunung nampak kokoh menjulang. Ia berjubah awan putih. Sawah terhampar berundak. Burung-burung saling bermesraan di antara padi yang menguning. Sementara di bawah sana, aliran sungai meliuk-liuk. Gemericik airnya menentramkan hati.
Siang ini berjarak 36 hari dari suatu pagi, kala aku bertemu senyummu. Ini sungguh di luar dugaanku. Kita justru jauh lebih dekat dari sekadar saling mencuri pandang.
Jantungku berdegup kencang. Inikah saatnya, misteri yang kusimpan untukmu akan terkuak?
Ini adalah sebuah siang bermakna kala senyum yang engkau sulamkan tak lagi menghiraukan terik yang menghunjam wajahmu.
Senyummu pula yang memecah kebisuan saat setiap pertanyaan yang hendak kuajukan tercekat kelu saat di dekatmu.
"Bagaimana kabarmu, Don?"
Dua minggu lalu kudapati dirimu menabur senyum di halaman hati. Entah mengapa aku merasa tak berkutik. Maka saat senyum itu tumbuh menjadi cinta, kupetik lalu kutanam lagi dalam-dalam di taman sanubari.
Lantas selanjutnya apa? Apakah bisu adalah kata kerja? Aku pernah mendapati tanah bercerita tentang bunga yang berguguran mengecupnya. Apakah kau ingin mengecup misteriku juga?
Aku pun pernah mendengar kabar tentang persamaan hati dan hujan. Tahukah kau bahwa keduanya jatuh di tempat yang Tuhan kehendaki?
Selain persamaan itu, tahukah kau bahwa pernah ada hujan yang jatuh bertubi-tubi. Deras sekali. Hingga setiap tetesnya melapukkan kayu yang terpendam bisu.
Pasti akan menjadi hari yang sangat menyebalkan, jika tahu dirimu adalah bagian dari hujan tersebut dan aku adalah kayu malang yang kau jatuhi itu.
Jika percakapan ini datang, sudikah kiranya dirimu memberi kasih yang kuminta? Atau andai hatimu telah membeku, maka aku akan mengadu kepada kemarau, agar ia segera mencair di sanubarimu, lalu kita ukir kembali cinta itu?
*
Dear, Juli.
Ini masih tentang siang itu. Kala sinar teriknya menghunjam wajahmu tanpa toleransi.
Kulihat kau memandangku dengan tiga garis di keningmu yang membentang heran. Mungkinkah lagi-lagi segala tanyaku penyebabnya? Ataukah ada hal lain yang memenuhi pikiranmu? Adakah sepenggal kalimat yang hendak kau ucap untukku?
Aku tahu kamu ragu. Aku merasakan bahwa sesekali diammu dan garis-garis di keningmu menjelaskan itu. Sorot matamu pun menguatkan hal yang sama.
Seketika aku dibuat gugup. Aku membayangkan jawabmu itu akan mengetuk jantungku. Lalu mengaduk-aduk perasaanku lagi.
"Aku tak bisa, Don."
Benar saja dugaanku. Tapi kenapa? Lagi-lagi aku dibuatnya penasaran. Hingga kau tak lagi bisa mengelak.
"Aku ragu, Don."
Kita beradu pandang. Ada sendu yang berpijar redup di kedua bola matanya yang pekat.
Pada intinya, dari perkataanmu itu, kita akan menjadi sepasang manusia yang akan terpisah jauh oleh jarak. Bahkan di saat kita belum tahu-menahu misteri masa depan yang kita punya masing-masing.
Apakah benar sampai jumpa lagi atau selamat tinggal adalah dua kosakata baru yang salah satunya akan mengisi kamus rumitnya kisah kita?
Karena mungkin saja kita nanti terpisah jarak, tetapi setelah berpisah, akan ada hal apa lagi?
Tapi biarlah. Jika sudah bulat tekadmu itu maka beri aku satu janji dari senyum yang diapit lesung pipimu itu. Selanjutnya "berpisah" akan kuanggap sebagai kata perintah, tapi dengan catatan itu hanya sementara saja.
**
Hai, Juli.
Suatu malam yang berjarak 14 hari sejak kudapati senyummu, aku membawakan setumpuk puisi yang sulit dirimu, bahkan diriku untuk tafsir sendiri. Gelisah, gundah, atau resah bercampur di dalamnya.
Hanya satu kepastian, setiap rindu yang kutuliskan itu adalah tentangmu. Kini kumengerti, nyatanya jarak terjauh sebuah rindu adalah tak berada di langit yang sama.
Tapi, Juli.
Bukankah kamu pernah berkata, kamu merindukan puisi-puisiku yang kukirim sebelum tidur malammu?
Kukira dengan mengirimimu puisi dan menyebut namamu setiap malam, sayap-sayap doa akan terbang menembusi langit, lalu kita akan menjadi utuh. Tak kusangka, kau malah patahkan sayap-sayap itu.
Saat dua pasang bola mata bertemu, ada yang berbeda dari senyummu yang pernah kudapati dalam bentuk anugerah.
Malang sekali, senyummu yang mulanya kukira hanya untukku itu ternyata sudah terbagi. Aku melihatmu bersamanya.
Tahukah kau, Juli...
Dalam setiap kepergian ada sunyi.
Meredam suka menggugah sepi.
Namun, sebelum darahku membeku dan nadiku terhenti.
Aku ingin memeluk dan tidur di pangkuanmu, meski hanya sekali.
***
Senja, sehari usai malam itu. Aku telah tiba kembali ke kotaku. Di ujung cakrawala mentari bersandar. Bias cahaya jingganya lembut mewarnai langit barat.
Baru kusadari, bias cahaya itu telah mengubah wajah kota ini menjadi sebuah fenomena: tentang perubahan sebuah lukisan realis yang tanpa ada satu garispun melenceng, menjadi sebuah siluet bangunan dengan jejeran gedung berlatar langit senja. Sungguh indah.
Aku tengah menikmati fenomena itu ketika tiba-tiba sebuah pesan masuk di gawaiku.
"Kamu di mana, Don?"
Deg. Lama kubaca pesan itu. Berulang-ulang.
Aku memang pergi darimu tanpa pamit. Tetapi aku tak punya alasan lain.
Kamu tahu Juli?
Aku bisa merasakan dentuman hebat yang menyerang jantungku saat kita saling berbicara, bergurau, atau berbagi cerita. Aku pun bisa merasakan tusukan nyeri di ulu hatiku saat aku tahu bahwa kau telah bersama seorang yang lain.
Aku memang iri karena aku bisa merasakan sesak di dadaku saat aku harus melihat adegan kamu bersamanya. Begitu dekat, mesra, dan bahagia.
Terkadang aku berpikir, mengapa ia bukanlah aku? Mengapa aku tidak lebih dulu mengenalmu dan mengapa waktu terlalu terlambat mempertemukan kita?
****
Aku termenung. Berpikir untuk berusaha menyangkal. Kian kukuh aku untuk menghindar, semakin kutersadar bahwa aku sungguh mencintaimu.
Rasanya getir dan manis datang bersamaan. Namun bukan hal itu inti dari penjajakan hidup dan cinta ini. Terlebih kita bukanlah anak-anak lagi yang mengandalkan tangis untuk sebungkus es krim kesukaan.
Hubungan kita memang belum bernama. Lalu untuk apa aku secemburu itu hingga memutuskan pulang ke kotaku?
"Aku sudah kembali ke kotaku. Ada urusan penting. Maaf aku belum sempat mengabarimu," jawabku.
Dalam hatiku berjanji, aku akan melupakanmu. Kalau kamu membalas pesanku lagi, akan kubantah habis-habisan.
Tetapi, bagai bias cahaya mentari, tekadku itu tenggelam di balik cakrawala, meninggalkanku sendiri. Sialnya, itu membuatku tak tenang. Aku mulai menghujani diriku dengan rentetan pertanyaan yang tak dapat kujawab.
"Ooh. Apa kamu tak sedikitpun mengingatku? Memangnya ada yang lebih penting dari aku?" tanyamu. Hatiku mencelos.
"Apa maksudmu? Bukankah kamu sudah bersama pria itu?"
"Apa? Itu tidak seperti yang kamu pikirkan!"
"Kamu sendiri yang bilang kalau kamu ragu? Rupanya dia yang membuatmu ragu padaku?"
"Aku sudah kembali ke kotaku. Ada urusan penting. Maaf aku belum sempat mengabarimu," jawabku.
Dalam hatiku berjanji, aku akan melupakanmu. Kalau kamu membalas pesanku lagi, akan kubantah habis-habisan.
Tetapi, bagai bias cahaya mentari, tekadku itu tenggelam di balik cakrawala, meninggalkanku sendiri. Sialnya, itu membuatku tak tenang. Aku mulai menghujani diriku dengan rentetan pertanyaan yang tak dapat kujawab.
"Ooh. Apa kamu tak sedikitpun mengingatku? Memangnya ada yang lebih penting dari aku?" tanyamu. Hatiku mencelos.
"Apa maksudmu? Bukankah kamu sudah bersama pria itu?"
"Apa? Itu tidak seperti yang kamu pikirkan!"
"Sungguh, Don!. Itukah yang kamu pikirkan tentangku? Itu tidak benar."
Aku terdiam tak membalas lagi. Bisa saja kamu hanya ingin menenangkan aku. Sekarang, hanya tersisa perasaan ini di sebuah persimpangan jalan. Terserak dihantam laju waktu. Terpikir mengajak segenap hati dan raga untuk tidak lagi terlindas rasa.
"Beri aku kesempatan menjelaskan ini semua, Don!" Aku mengiyakan.
"Dua hari yang lalu aku menerima pesan darinya. Aku diajaknya bertemu. Aku menyanggupi karena dia selalu membantuku saat skripsi dan aku menghargai undangannya. Tak disangka, dia memberiku seikat bunga. Mungkin saat itulah kamu melihatku bersamanya.
Aku mengira itu hanyalah ucapan selamat darinya atas kelulusan aku. Namun ternyata dia mengungkapkan perasaannya ke aku, Don."
Dadaku kembali bergemuruh. Sepertinya Juli merasakan kegelisahanku.
"Please, jangan marah dulu. Aku lalu mengembalikan bunganya. Aku berkata bahwa aku tidak bisa menerimanya. Aku hanya menganggapnya sebagai seorang kakak. Tidak lebih. Sebenarnya, ada alasan yang lebih dari itu dan dia pasti tahu itu, Don.
Ya. Aku teringat kamu, Don. Ketika kamu mengungkapkan perasaanmu ke aku, kamu memberiku es krim karena kamu sangat mengenalku. Aku tidak suka bunga.
Bagiku, kamulah orang yang paling bisa mengerti dan mengenali aku. Aku nyaman bersama kamu. Aku sudah yakin dengan pilihanku. Aku ingin bersamamu, Don."
Ya. Aku teringat kamu, Don. Ketika kamu mengungkapkan perasaanmu ke aku, kamu memberiku es krim karena kamu sangat mengenalku. Aku tidak suka bunga.
Bagiku, kamulah orang yang paling bisa mengerti dan mengenali aku. Aku nyaman bersama kamu. Aku sudah yakin dengan pilihanku. Aku ingin bersamamu, Don."
"Benarkah itu, Juli?"
"Cinta kita dibangun di atas rasa saling percaya. Kesabaran dan pengertianmu selama ini adalah dinding kokoh yang membuatku nyaman dan terlindungi."
"Hahaha... Aku bahagia sekali, Juli. Matahari di sini sudah tenggelam, tapi langit masih nampak sedikit kebiruan. Ini adalah waktu favorit kita, Juli. Senja yang indah. Barangkali saatnya aku pulang. Tunggu aku akan kembali ke kotamu secepatnya. Aku tak sabar ingin melamarmu. I love you."
"I love you, too!" (*)
Pradirwan,
Bandung, 24 Juli 2021
*cerita ini fiksi belaka, semoga terhibur.
Post a Comment