Jalan Asia Afrika Bandung |
Pradirwan- Aku melihatnya. Jarak antara aku dengannya tak terlalu jauh. Ia berbaju merah, sedikit menarik perhatianku, duduk sendirian di kursi trotoar sambil memperhatikan gadget-nya yang menyala. Sesekali ia mengambil gambar dirinya. Ber-selfie ria dengan background lalu lalang kendaraan.
Dia menoleh kepadaku. Tersenyum. Aku 'tersesat' dalam binar indah matanya. Semesta seakan berhenti berputar.
"Tidak salah lagi. Ini dia yang telah lama ku kenal hanya lewat media sosial," gumamku.
Aku menghampirinya dengan sisa-sisa keraguanku. Senyum tipisku menyambut senyum ramahnya.
“Sudah lama?” Aku duduk disampingnya dan mulai membuka obrolan.
“Tidak juga,” jawabnya. Gadget yang dipegangnya ia masukkan ke dalam tas kecil yang ia bawa sambil mengalihkan pandangannya. Aku kira, sedikit perasaan gugup mulai menjalari tubuhnya. Pun begitu diriku.
Aku menikmati moment itu. Pandanganku lekat ke wajahnya. Sungguh, segala hal tentangnya sangat sempurna. Dia seperti dewi dalam mitologi Yunani yang sering kubaca. Suasana alun-alun kota sore ini seolah sedang mendukungku bertemu dengannya.
“Senang bertemu denganmu secara nyata,” katanya. Kali ini mata kami beradu pandang.
Aku tersenyum, “Senang juga melihatmu lagi secara terencana.”
Ia terkekeh.
Aku teringat sesuatu. Tanganku merogoh sebuah buku yang sengaja kubawa dari rumah. “Ini buku antologi puisi pertamaku."
Tangannya terulur mengambil buku yang sengaja kupinjamkan padanya.
“Terima kasih ya.”
Aku mengangguk.
Dia mengajakku untuk sekadar berjalan di area alun-alun kota. Sambil berjalan, kami saling bertukar kisah.
Sesekali aku tertawa mendengar ceritanya tentang kekonyolannya hari ini. Dia seakan mempercayakan segalanya padaku. Dan entah mengapa aku merasa sangat bahagia ketika mengetahui hal itu.
"Terima kasih,” kataku.
Dia menolehku, “Untuk apa?”
Aku tak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya.
“Menghabiskan waktumu bersamaku,” jawabku ragu.
Dia menatapku lekat. Sepertinya dia tak percaya aku mengatakan itu di antara riuh manusia dan warna jingga yang muncul di langit alun-alun kota sore ini.
Jantungku berdegub kencang. Mataku masih menatap lekat matanya dalam-dalam.
Sayup-sayup dari kejauhan suara alunan lagu cinta dimainkan. Dua orang pengamen memainkan gitar, sementara satu orang menengadahkan topinya, meminta recehan.
Aku tahu ada sesuatu yang berbeda di mata itu. Aku benar-benar yakin bahwa tatapan itu adalah benar. Ya, dia jatuh cinta padaku. Dan aku pun begitu, aku jatuh cinta padanya.
“Aku menyukai senja kali ini. Itu karena aku menghabiskannya bersamamu. Sejak pertama kali aku melihat fotomu, mem-follow akunmu, dan kamu merespon pesan singkatku, aku sering memikirkanmu. Sejak kamu berkata kita pernah bertemu beberapa kali, namun kamu tak pernah menjelaskan pertemuan itu. Aku merasa... Aku jatuh cinta padamu," ungkapku.
Air mukanya berubah. Pandangannya menatap jauh.
"Aku tak bisa."
Tenggorokanku tercekat. Beberapa detik kemudian dia berkata, "Kamu terlalu sempurna untukku."
"Apa? Tidak, aku tak sesempurna yang kamu kira. Kamu terlalu naif. Jangan pernah menganggap bahwa kamu tak pantas untuk mencintai dan dicintai. Semua orang berhak untuk bahagia," tegasku.
"Aku ga mau patah hati lagi. Aku capek mencintai seseorang," jawabnya lirih. Kali ini dia menunduk.
"Tolong lihat aku dan beri aku kesempatan untuk memberikan yang terbaik, melebihi kebaikan orang lain yang pernah ia berikan kepadamu."
Giliran matanya menatap lekat mataku. Mencari-cari kesungguhan atas ucapanku. Lalu, tanpa berkata, ia tersenyum dan mengangguk perlahan.
Aku menyambut senyum itu dengan perasaan lega. Aku ingin memeluknya, namun urung karena tiga pengamen tadi tepat di depan kami. (*)
Pradirwan
Bandung, 27 Desember 2019
*Semua kisah dalam cerpen ini hanya fiktif belaka. Semoga terhibur.
Cerpen lainnya:
Senja Mati di Kota Ini
Senja Mati di Kota Ini
Post a Comment