Adi. Photo by Pradirwan (10/02/2017) |
“Kenapa terlambat, bang? Memang kuliah selesai pukul berapa? Abang sudah makan?” berondong istriku sesaat setelah aku turun dari kendaraanku.
Malam sudah semakin larut. Tidak ada lagi orang-orang yang lalu-lalang di depan rumah. Sesekali binatang malam bernyanyi nyaring memecah kesunyian. Aku melihat arlojiku, pukul 22.15 WIB.
“Ya, Neng,” jawabku.
“Abang mau cari alasan apa lagi kali ini?”
“Tidak ada Neng. Faktanya Abang memang terlambat. Lebih lambat 30 menit dari hari kemarin”
“Lantas, kenapa terlambat?”
Suasana hening. Aku menghela nafas. Aku mesti memilih kalimat yang pas dan masuk akal. Pikiranku mengembara mesti dari mana dulu menceritakan pengalaman yang terjadi saat pulang tadi.
***
“Sampai di sini dulu perkuliahan kita, sampai jumpa lagi minggu depan, selamat malam,” kata dosenku menutup perkuliahan malam itu sambil mulai mematikan laptop. Satu per satu perlengkapan mengajarnya dibereskan. Jam dinding di sisi sebelah kananku sudah menunjukkan pukul 21.05 WIB.
Kelas mendadak riuh. Teman-temanku mulai berbincang. Suara kursi lipat bergeser tak beraturan saat teman-teman mulai berdiri. Dosenku mulai keluar kelas diikuti teman-temanku menuju mesin finger print. Alat presensi menggunakan sidik jari ini sudah digunakan sejak satu semester lalu, menggantikan presensi manual. Antrian nampak mengular tak terhindarkan.
Aku mulai resah, lantas membuka botol air mineral yang aku bawa, meneguk isinya yang hanya tersisa seperempat. “Dosen dan mesin finger print ini sudah mengambil waktuku, terlambat lagi deh,” gumamku dalam hati. Perkuliahan biasanya tak selama ini. Dosen-dosen sebelumnya selalu mengakhiri perkuliahan sebelum pukul 21.00 WIB.
Usai menempelkan sidik jariku ke mesin finger print, aku bergegas menuju lokasi mobilku terparkir. Sudah lima bulan sejak aku memiliki SIM A pertamaku, mobil bermesin 1200 cc itu selalu setia menemani ke kantor, kampus, undangan, acara keluarga, hingga luar kota. Apalagi saat ini sedang musim hujan, pilihan menggunakan mobil menurutku lebih tepat saat ini dibandingkan membawa motor.
Sejumput kemudian, aku mulai melaju di jalan Suci. Jalanan ini sudah hampir dua tahun aku akrabi. Aku mulai hafal titik-titik mana saja aku harus ekstra hati-hati, titik-titik kemacetan, dan titik-titik aku bisa melaju agak kencang. Setidaknya aku melewati 2 lampu merah dan lebih dari 4 pertigaan besar hingga lampu merah gasibu. Aku tak pernah dapat melaju lebih dari 40 km/jam di jalan Suci ini. Jalanan dua-arah ini merupakan salah satu akses utama, jalur tengah kota Bandung.
Lampu merah pertigaan Gasibu itu berubah warnanya menjadi hijau. Aku menjalankan mobilku perlahan. Sekumpulan pengendara motor yang berada di sekitarku melaju agak kencang. Ketika pemotor yang lain ambil sisi sebelah kiri untuk mendahului, seorang remaja tiba-tiba muncul dari sebelah kanan mendekati pembatas. Di depan pemuda itu, ada 3 mobil lain yang berjejer di sebelah kanan, tak memberi ruang baginya mendahului. Ia pun bertahan di belakang mobil-mobil tersebut. Kecepatan meninggi. Jarak mobilku dengannya sekitar 5 meteran, ketika tiba-tiba mobil yang di depan pemuda itu mengerem saat ia akan ambil jalur kiri tanpa memberi tanda. Ia terkejut, lantas mengerem mendadak. Dan, brakkk!!!
Sang remaja terjerembap, motornya menindih tubuhnya. Ia tak bergerak di tengah jalan, persis di depan mobilku. Aku yang di belakangnya mengerem mendadak. Ban berdenyit cukup nyaring. Sejenak aku tercenung menyaksikan kejadian itu. Tanganku sedikit gemetar.
Untunglah, bemper depan mobilku tak sempat menyentuhnya. Ia selamat meski harus terluka.
Aku nyalakan lampu hazard dan menggunakan rem tangan. Aku perhatikan sekeliling. Para pengguna jalan yang melintas memperlambat kendaraan untuk sekadar melihat insiden itu. Beberapa kendaraan di belakangku mulai mengklakson.
Saat hendak turun, seorang pemuda di seberang jalan sebelah kanan yang menyaksikan kejadian itu berlari mendekat. Ia lantas menolong korban, membantunya berdiri, dan membangunkan sepeda motor itu. Aku tak jadi turun, demi melihat remaja itu menyalakan motornya, lantas meninggalkan tempat itu seolah tak terjadi apa-apa. Aku pun sama, meneruskan perjalanan pulang ke rumah.
Beberapa meter dari tempat kejadian, di atas jembatan Pasopati, aku melihatnya menepi. Ia memperhatikan motornya yang rusak di beberapa bagian. Aku melewatinya, masih dengan perasaan sedikit panik. Sepanjang perjalanan, aku masih memikirkan kejadian itu.
***
Jam mobilku menunjukkan pukul 21.43 WIB. Perjalananku sudah melewati gerbang tol Padalarang. Setelah jembatan layang dekat Samsat Padalarang, sebelah kiri ada pertigaan. Sebuah angkot di depanku menepi menurunkan penumpang tepat sebelum pertigaan. Aku ambil jalur agak ke tengah mendekati marka jalan dengan sein kanan berkedip. Dari arah berlawanan nampak sebuah mobil sedan yang akan berbelok memotong jalurku. Ia berhenti. Di belakangnya ada tiga motor yang siap mengikuti untuk berbelok. Merasa aman, aku memacu mobilku perlahan.
Kelas mendadak riuh. Teman-temanku mulai berbincang. Suara kursi lipat bergeser tak beraturan saat teman-teman mulai berdiri. Dosenku mulai keluar kelas diikuti teman-temanku menuju mesin finger print. Alat presensi menggunakan sidik jari ini sudah digunakan sejak satu semester lalu, menggantikan presensi manual. Antrian nampak mengular tak terhindarkan.
Aku mulai resah, lantas membuka botol air mineral yang aku bawa, meneguk isinya yang hanya tersisa seperempat. “Dosen dan mesin finger print ini sudah mengambil waktuku, terlambat lagi deh,” gumamku dalam hati. Perkuliahan biasanya tak selama ini. Dosen-dosen sebelumnya selalu mengakhiri perkuliahan sebelum pukul 21.00 WIB.
Usai menempelkan sidik jariku ke mesin finger print, aku bergegas menuju lokasi mobilku terparkir. Sudah lima bulan sejak aku memiliki SIM A pertamaku, mobil bermesin 1200 cc itu selalu setia menemani ke kantor, kampus, undangan, acara keluarga, hingga luar kota. Apalagi saat ini sedang musim hujan, pilihan menggunakan mobil menurutku lebih tepat saat ini dibandingkan membawa motor.
Sejumput kemudian, aku mulai melaju di jalan Suci. Jalanan ini sudah hampir dua tahun aku akrabi. Aku mulai hafal titik-titik mana saja aku harus ekstra hati-hati, titik-titik kemacetan, dan titik-titik aku bisa melaju agak kencang. Setidaknya aku melewati 2 lampu merah dan lebih dari 4 pertigaan besar hingga lampu merah gasibu. Aku tak pernah dapat melaju lebih dari 40 km/jam di jalan Suci ini. Jalanan dua-arah ini merupakan salah satu akses utama, jalur tengah kota Bandung.
Lampu merah pertigaan Gasibu itu berubah warnanya menjadi hijau. Aku menjalankan mobilku perlahan. Sekumpulan pengendara motor yang berada di sekitarku melaju agak kencang. Ketika pemotor yang lain ambil sisi sebelah kiri untuk mendahului, seorang remaja tiba-tiba muncul dari sebelah kanan mendekati pembatas. Di depan pemuda itu, ada 3 mobil lain yang berjejer di sebelah kanan, tak memberi ruang baginya mendahului. Ia pun bertahan di belakang mobil-mobil tersebut. Kecepatan meninggi. Jarak mobilku dengannya sekitar 5 meteran, ketika tiba-tiba mobil yang di depan pemuda itu mengerem saat ia akan ambil jalur kiri tanpa memberi tanda. Ia terkejut, lantas mengerem mendadak. Dan, brakkk!!!
Sang remaja terjerembap, motornya menindih tubuhnya. Ia tak bergerak di tengah jalan, persis di depan mobilku. Aku yang di belakangnya mengerem mendadak. Ban berdenyit cukup nyaring. Sejenak aku tercenung menyaksikan kejadian itu. Tanganku sedikit gemetar.
Untunglah, bemper depan mobilku tak sempat menyentuhnya. Ia selamat meski harus terluka.
Aku nyalakan lampu hazard dan menggunakan rem tangan. Aku perhatikan sekeliling. Para pengguna jalan yang melintas memperlambat kendaraan untuk sekadar melihat insiden itu. Beberapa kendaraan di belakangku mulai mengklakson.
Saat hendak turun, seorang pemuda di seberang jalan sebelah kanan yang menyaksikan kejadian itu berlari mendekat. Ia lantas menolong korban, membantunya berdiri, dan membangunkan sepeda motor itu. Aku tak jadi turun, demi melihat remaja itu menyalakan motornya, lantas meninggalkan tempat itu seolah tak terjadi apa-apa. Aku pun sama, meneruskan perjalanan pulang ke rumah.
Beberapa meter dari tempat kejadian, di atas jembatan Pasopati, aku melihatnya menepi. Ia memperhatikan motornya yang rusak di beberapa bagian. Aku melewatinya, masih dengan perasaan sedikit panik. Sepanjang perjalanan, aku masih memikirkan kejadian itu.
***
Jam mobilku menunjukkan pukul 21.43 WIB. Perjalananku sudah melewati gerbang tol Padalarang. Setelah jembatan layang dekat Samsat Padalarang, sebelah kiri ada pertigaan. Sebuah angkot di depanku menepi menurunkan penumpang tepat sebelum pertigaan. Aku ambil jalur agak ke tengah mendekati marka jalan dengan sein kanan berkedip. Dari arah berlawanan nampak sebuah mobil sedan yang akan berbelok memotong jalurku. Ia berhenti. Di belakangnya ada tiga motor yang siap mengikuti untuk berbelok. Merasa aman, aku memacu mobilku perlahan.
Tak disangka, motor yang paling belakang tiba-tiba melaju kencang memotong jalurku. Ia berhenti persis di depan mobilku. Dua remaja tanggung tanpa helm berkostum klub sepakbola kesayangan itu seolah menantangku untuk menabraknya. Aku berhenti mendadak dan mengklakson panjang, terkejut. Mataku pun melotot. Orang-orang melihat kami. Tak lama berselang, ia lantas kembali meneruskan menyeberang. Penumpang yang diboncengnya nampak memarahi pengendara yang ugal-ugalan itu.
Aku beringsut meninggalkan lokasi kejadian. Malam nampak kian larut. Pikiranku melayang ke satu tujuan. Pulang.
Bandung, 170217
Aku beringsut meninggalkan lokasi kejadian. Malam nampak kian larut. Pikiranku melayang ke satu tujuan. Pulang.
Bandung, 170217
post scriptum : artikel ini ditulis untuk birokreasi.com dan telah dipublikasikan sejak 20-02-2017
Post a Comment