BREAKING NEWS

Kita di Sini, Mei

Kita di Sini, Mei


Pradirwan
- Kita di sini, Mei. Menembus hujan yang menari sesuka hati bersama dengan dengungan romansa yang dipeluk angin.

Menari sampai nada-nada terakhir. Menari laksana esok hari tak hadir lagi.

Menari dengan kejujuran di matamu bahwa kesempatan tak datang dua kali. Tiada terulang esok, hari ini. Mungkin pula tiada kita esok hari.

Pada tiap-tiap tatapanku, ada pendar jingga kecoklatan di sekitarmu. Hanya ada satu kesimpulan: aku masih merindumu, Mei.

Gemuruh dihatiku berputar seperti topan yang riuh. Mengasuh asa, bahwa suatu saat takdir akan berubah.

Seperti pendar pelita yang membuat malam terang. Memberi kehidupan kepada mereka yang nyaris pulang.

Di sinilah kita, Mei.

Bersamamu, ibarat penanda kehidupan yang akan membuatku lebih memaknai apa yang telah kumiliki sekarang.

Memberi harapan, seperti terang hijau daun yang mulai bersemi.

Ketika lelah, ia tak lantas gugurkan daunnya, seketika. Ia biarkan angin yang jadi penentu takdir, akan jatuh ataukah tetap bertahan.

Dan bersamamu Mei, selalu menyimpan harap, bahwa suatu saat, kau akan mampu mengisi ruang kosongku, menjadi pelitaku di malam-malam yang semakin kelam.

***

"Don, kamu mau ke mana?"

Tanyamu kala itu adalah sesuatu yang sukar untuk dijawab, Mei. Entah mengapa aku tidak bisa menjawabnya. Sungguh aku tidak punya jawabannya. Berharap semesta membantuku menjawab tanya itu. Atau memang semesta tidak menyediakan jawabannya untuk kita.

"Kemana saja, asal kita jangan pisah.”

“Lalu kita harus apa?”

Andai saja kupunya jawabannya, Mei. Jawaban atas semua tanyamu sekarang dan sebelum-sebelum ini. Tentang kita yang tersandung dan hampir goyah. Atau sudah.

“Tetaplah mencintaiku, Mei. Seperti kamu yang sekarang dan kamu yang dahulu.”

“Yakinlah, waktu akan punya caranya sendiri untuk menjemput rasa. Apa menurutmu begitu saja itu cukup?”

“Kalau sudah selesai ya sudah. Tetaplah mencintaiku sampai lelah tiba di ujung batasnya.”

Bahkan hubungan kita belum bernama, Mei. Lalu haruskah kita mengikhlaskan sisa-sisa pusaran ini?

"Aku tahu kamu akan selalu mencintaiku, Don.”

Ucapmu barusan seperti dedaunan rimbun di tengah padang gersang. Teduh. Cocok dengan senyum dan tanganmu yang bertaut.

Ah, lagi-lagi aku salah. Kamu cocok dengan apapun yang bumi punya. Sayangnya, kamu hanya tidak cocok denganku.

“Bukan, kita hanya berada di waktu yang salah.”

“Itu artinya memang tidak cocok, kan?” Matamu yang terpejam anggun itu mulai memberi pemakluman.

“Waktunya yang tidak cocok.”

Telapak tanganmu terjatuh lembut di kedua bahuku. Aku merasa seperti diberikan nirwana beserta isinya olehmu.

Terkadang aku merasa tidak pantas untuk kamu cintai. Siapalah aku ini, tidak punya kelebihan dibanding mereka-mereka yang mengantre untuk melamarmu.

Meski begitu, bilik-bilik hatimu selalu berhasil merengkuh jiwa lemahku lalu berbisik, “Aku hanya mau kamu, Don.”

Lalu kita berdua disini, saling terkait, dan berbincang soal apa-apa yang mungkin terjadi di masa depan.

Karena kita tidak bisa membeli rahasia Tuhan, Mei. Yang bisa kita lakukan hanyalah menebak, langkah mana yang terbaik untuk kita. Hanya itu.

Ruang cafe di sudut jalan itu lalu menguap seperti air yang dimasak di atas tungku. Kita saling menghilang dari pandangan masing-masing.

Pada akhirnya, kita mesti berjalan di satu garis yang masih sama, hanya saja arah kita terpaksa berbeda.

Kita berdua menangis di bawah langit jingga yang sama, hanya saja kita tidak saling memeluk.

Kita jatuh cinta, saling rindu, meski dengan cara yang terpaksa berbeda.


***

Satu postingan instagram setiap bulan mati itu meyakinkanku bahwa masih ada aku di hati kamu.

Kalimat menyenangkan yang kau tulis di caption-nya meyakinkanku bahwa aku masih punya banyak waktu.

Sajak dan prosa yang tertuang di sana meyakinkanku bahwa bagimu aku masih menjadi pilihan hatimu.

Jika niatmu untuk memupuk asa hubungan kita yang nyaris tenggelam, maka kamu berhasil, Mei. Aku menjadi bersemangat. Meski aku tak tahu, entah akan berapa lama rasa ini akan singgah.

Seperti katamu, Mei. Bahwa waktu akan punya caranya sendiri untuk menjemput rasa. Ini pula yang menjadi keyakinanku saat ini.

Meski kadang yang waktu lakukan padaku itu kejam. Ia sesekali mencuri semua kenanganku bersamamu, membelenggunya, lalu membakarnya hingga binasa. Lalu yang aku lakukan untuk membalasnya hanyalah membaca ulang tulisan-tulisanmu itu, Mei.

Kadang aku kembali di malam itu, mengingat gaun polos yang selaras dengan warna kulitmu dan mengingat senyuman yang tersungging di wajahmu. Sebelum semesta akhirnya memisahkan kita, Mei.

Di perjalanan ini, mentari jingga jatuh di balik bukit. Aku menatapnya, Mei. Sejenak aku bertanya, apakah mentari senja di sana memantulkanku di antara kedua matamu?

***

Mentari senja datang lagi. Awal bulan penanggalan hijriah. Kembali aku membuka instagramku. Berharap satu postinganmu muncul teratas di linimasa. Seperti bulan-bulan sebelumnya.

Hujan yang membasahi bumi tadi pagi masih meninggalkan bekas. Barangkali ini hujan terakhir sebelum memasuki musim kemarau.

Kemarau ketujuh. Tak ada postinganmu lagi.

"Jika esok ada waktunya, kamu masih mau sama aku, Don?”

“Seandainya kamu mengizinkan.”

“Aku mengizinkan.”

“Aku berharap semestapun turut mengizinkan.”

Kita saling berpesan, saling bersandar.

Ini cuma sebentar, Mei. Aku akan kembali ke kotaku esok. Sementara kamu hanya perlu mengisi tujuh tahun itu dengan berjalan. Jangan menghitung. Nanti kita bertemu lagi di sini.

"Seandainya aku pulang dan kamu sudah pergi, aku janji tidak akan mencarimu.”

“Meski kamu sedih?”

“Meski aku sedih.”

“Tapi kalau kamu menemukanku, kamu boleh datang.”

“Sungguh miris ya, Mei? Kamu itu rumahku. Kalau aku datang artinya aku bertamu ke rumahku sendiri.”

“Kalau begitu, kita tidak akan lagi punya waktu seperti ini. Seperti dulu.”

“Itu lebih baik dari pada kesakitan melawan takdir, Mei.”

Kamu terdiam.

Perbedaan letak Bandung dan Manila saja sudah membuat kita menahan terlalu banyak. Kalau Nursultan penggantinya, kita bisa sama-sama mati.

“Setiap bulan mati, ingat aku ya, Don. Aku akan posting di instagramku untuk mengenangmu.”

“Aku akan selalu membaca postinganmu. Tetapi kenapa hanya pada bulan mati?"

"Saat itu langit sangat gelap. Bintang akan nampak lebih jelas. Aku ingin kamu memandang bintang-bintang itu. Bayangkan aku di antara bintang-bintang itu ya, Don."

Aku mengingatmu lagi, Mei. Pada musim kemarau ketujuh ini. Meski katamu kala itu aku tak perlu lagi mengingatmu. Tetapi tetap saja aku lakukan. Karena bagiku tak ada batas waktu untuk mencintaimu.

Aku berjalan. Salahku juga yang menghitung waktu hubungan tanpa nama ini.

Hingga hampir tengah malam, akhirnya postingan instagrammu muncul lagi. Musim kemarau tahun ketujuh, kamu memberi tahu bahwa kamu pergi. Kamu telah mendapatkan pengganti.

Lalu aku mengerti. Selama ini aku bodoh telah menanti cinta yang sebenarnya tidak pernah ada. (*)


Pradirwan
Bandung, 16 Mei 2021

*cerita ini hanya fiksi belaka. Semoga terhibur. 

Cerpen lainnya:
  1. Secangkir Kopi Pahit dan Kisah Kita
  2. Terima Kasih Telah Menghabiskan Waktu Bersamaku
  3. Senja Mati di Kota Ini
  4. Sepotong Sore di Pantura
  5. Catatan di Kala Senja
  6. Tabrakan
  7. Kisah masa lalu : Rini
  8. Kisah masa lalu : Yang ku cinta bukan jodohku
  9. Gadis itu bernama Amel

Share this:

Post a Comment

 
Copyright © 2021 Pradirwan and OddThemes