Kontrak Kemanfaatan Epicurus dalam RUU KUP
Infografis Sembako Bakal Kena PPN? Coba cek faktanya (sumber: @ditjenpajakri) |
Sebagian masyarakat yang menentang rencana itu berargumentasi bahwa harga barang maupun jasa tersebut akan semakin mahal, sehingga masyarakat akan semakin menderita. Terlebih jika kebijakan tersebut diberlakukan dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini.
Anggapan lainnya yang tak kalah seru adalah ketika isu PPN sembako ini dibenturkan dengan insentif PPnBM atas pembelian mobil. Mereka berpendapat bahwa orang-orang kaya justru dibebaskan pajaknya namun rakyat kecil malah dikenakan pajak. Apakah benar demikian?
Baca juga:
Mulai Maret, Beli Rumah Bisa Dapat Diskon PPN
Di Indonesia, mekanisme pengenaan PPN dilakukan melalui pemungutan oleh pihak penjual barang dan/atau pemberi jasa. Pemungut PPN ini disebut sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Karena mekanisme tersebut, maka PPN digolongkan sebagai pajak tidak langsung.
Sebagai catatan, tidak semua pengusaha wajib dikukuhkan menjadi PKP. Ada batasan peredaran bruto usaha (omzet) apakah pengusaha wajib dikukuhkan sebagai PKP atau tidak. Hanya pengusaha yang telah beromzet lebih dari Rp4,8 miliar setahun saja yang wajib dikukuhkan sebagai PKP. Artinya, jika pengusaha beromzet di bawah Rp4,8 miliar setahun, pengusaha tersebut tidak wajib dikukuhkan PKP sehingga tidak memungut PPN atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukannya.
Pemungutan PPN oleh PKP kepada konsumen pada umumnya tidak memperhatikan kemampuan membayar (ability to pay) konsumen. Atas dasar ini, PPN disebut sebagai pajak objektif dan bersifat regresif.
Artinya, siapapun yang dapat membeli barang dan/atau jasa kena pajak, maka ia akan dikenakan PPN. Tak peduli konsumen merupakan pihak yang mampu atau tidak mampu akan membayar jumlah PPN yang sama. Tentu ini tidak adil.
Demikian pula, apabila barang dan/atau jasa tertentu tidak dikenakan PPN atau dikecualikan sebagai objek PPN maka pihak yang mampu dan tidak mampu sama-sama tidak membayar PPN, tentu ini juga tidak adil.
Jadi, dikenakan atau tidak dikenakan (dikecualikan) suatu barang dan/atau jasa sebagai objek PPN akan sama-sama menimbulkan isu ketidakadilan. Inilah karekteristik PPN yang perlu kita sadari.
Berbeda halnya dengan Pajak Penghasilan (PPh). PPh merupakan pajak subjektif yang berarti pajak akan dikenakan apabila subjeknya (penerima penghasilan) memperoleh penghasilan kena pajak. Jika penerima penghasilan tidak menerima penghasilan kena pajak, maka PPh tidak akan dikenakan kepada subjek tersebut.
Sistem PPN di Indonesia menganut destination principle. Artinya, PPN dikenakan berdasarkan tempat di mana BKP atau JKP dikonsumsi; bukan berdasarkan tempat di mana BKP dan JKP diproduksi. Dengan prinsip ini, PPN hanya dikenakan apabila BKP atau JKP tersebut dikonsumsi di dalam negeri. Oleh karena itu, ekspor BKP dan JKP dikenakan PPN dengan tarif 0%, sedangkan BKP dan JKP impor dikenakan tarif standar yang saat ini berlaku sebesar 10%.
Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan PPN. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
PPN di Indonesia secara efektif dikenakan atas konsumsi akhir BKP dan/atau JKP atau biasa disebut consumption-type. PPN dikenakan di sepanjang jalur produksi dan distribusi suatu barang/jasa hingga barang/jasa tersebut diperoleh oleh konsumen yang merupakan pembayar pajak yang sebenarnya.
Metode pemungutan PPN di Indonesia menggunakan mekanisme credit-invoice di setiap tahapan produksi dan distribusi (multistage).
Dengan mekanisme ini, jumlah PPN yang harus disetorkan oleh PKP kepada pemerintah merupakan selisih antara PPN yang dipungut dari pembeli BKP/JKP (disebut Pajak Keluaran) dengan PPN yang sudah dibayarkan kepada supplier BKP/JKP yang digunakan untuk memproduksi BKP/JKP (disebut Pajak Masukan). Dengan kata lain, PKP sebagai penjual, ia akan memungut Pajak Keluaran dari pembeli. Namun sebagai pembeli, ia juga membayar Pajak Masukan kepada PKP supplier.
Melalui mekanisme tersebut, pengenaan PPN tidak menimbulkan efek pajak berganda (cascading). Apabila dalam satu masa pajak, PPN Masukan lebih besar dari PPN Keluaran, maka PKP dapat meminta restitusi kelebihan pembayaran PPN kepada pemerintah.
Pasal 4A UU PPN merinci jenis barang dan jasa yang dikenakan PPN. Ada 4 kategori barang dan 17 kategori jasa yang tidak dikenakan PPN. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, jasa pelayanan kesehatan medis, dan jasa pendidikan adalah contoh kelompok barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN tersebut (non-BKP/JKP).
Secara teoretis, dengan memasukkan barang/jasa yang semula non-BKP/JKP menjadi BKP/JKP akan membuat pajak masukan dapat dikreditkan. Alhasil, ada pengaruhnya pada harga pokok atau harga jual kepada konsumen yang bisa lebih murah.
Sebagai contoh, seorang pengusaha beras untuk mengolah produknya membutuhkan sebuah mesin pembajak sawah (traktor). Namun karena beras dibebaskan, pajak masukannya tak bisa dikreditkan. Akibatnya, pembelian mesin tersebut kemudian dibebankan sebagai biaya produksi. Dengan bertambahnya biaya produksi tersebut, harga barang akhir di tingkat konsumen juga akan relatif tinggi.
Konsep Pengenaan PPN
PPN merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa yang bersifat umum. Kata umum ini membedakan PPN dengan jenis pajak konsumsi lainnya yang bersifat spesifik, seperti cukai dan bea masuk.Di Indonesia, mekanisme pengenaan PPN dilakukan melalui pemungutan oleh pihak penjual barang dan/atau pemberi jasa. Pemungut PPN ini disebut sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Karena mekanisme tersebut, maka PPN digolongkan sebagai pajak tidak langsung.
Sebagai catatan, tidak semua pengusaha wajib dikukuhkan menjadi PKP. Ada batasan peredaran bruto usaha (omzet) apakah pengusaha wajib dikukuhkan sebagai PKP atau tidak. Hanya pengusaha yang telah beromzet lebih dari Rp4,8 miliar setahun saja yang wajib dikukuhkan sebagai PKP. Artinya, jika pengusaha beromzet di bawah Rp4,8 miliar setahun, pengusaha tersebut tidak wajib dikukuhkan PKP sehingga tidak memungut PPN atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukannya.
Pemungutan PPN oleh PKP kepada konsumen pada umumnya tidak memperhatikan kemampuan membayar (ability to pay) konsumen. Atas dasar ini, PPN disebut sebagai pajak objektif dan bersifat regresif.
Artinya, siapapun yang dapat membeli barang dan/atau jasa kena pajak, maka ia akan dikenakan PPN. Tak peduli konsumen merupakan pihak yang mampu atau tidak mampu akan membayar jumlah PPN yang sama. Tentu ini tidak adil.
Demikian pula, apabila barang dan/atau jasa tertentu tidak dikenakan PPN atau dikecualikan sebagai objek PPN maka pihak yang mampu dan tidak mampu sama-sama tidak membayar PPN, tentu ini juga tidak adil.
Jadi, dikenakan atau tidak dikenakan (dikecualikan) suatu barang dan/atau jasa sebagai objek PPN akan sama-sama menimbulkan isu ketidakadilan. Inilah karekteristik PPN yang perlu kita sadari.
Berbeda halnya dengan Pajak Penghasilan (PPh). PPh merupakan pajak subjektif yang berarti pajak akan dikenakan apabila subjeknya (penerima penghasilan) memperoleh penghasilan kena pajak. Jika penerima penghasilan tidak menerima penghasilan kena pajak, maka PPh tidak akan dikenakan kepada subjek tersebut.
Sistem PPN di Indonesia menganut destination principle. Artinya, PPN dikenakan berdasarkan tempat di mana BKP atau JKP dikonsumsi; bukan berdasarkan tempat di mana BKP dan JKP diproduksi. Dengan prinsip ini, PPN hanya dikenakan apabila BKP atau JKP tersebut dikonsumsi di dalam negeri. Oleh karena itu, ekspor BKP dan JKP dikenakan PPN dengan tarif 0%, sedangkan BKP dan JKP impor dikenakan tarif standar yang saat ini berlaku sebesar 10%.
Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan PPN. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
PPN di Indonesia secara efektif dikenakan atas konsumsi akhir BKP dan/atau JKP atau biasa disebut consumption-type. PPN dikenakan di sepanjang jalur produksi dan distribusi suatu barang/jasa hingga barang/jasa tersebut diperoleh oleh konsumen yang merupakan pembayar pajak yang sebenarnya.
Metode pemungutan PPN di Indonesia menggunakan mekanisme credit-invoice di setiap tahapan produksi dan distribusi (multistage).
Dengan mekanisme ini, jumlah PPN yang harus disetorkan oleh PKP kepada pemerintah merupakan selisih antara PPN yang dipungut dari pembeli BKP/JKP (disebut Pajak Keluaran) dengan PPN yang sudah dibayarkan kepada supplier BKP/JKP yang digunakan untuk memproduksi BKP/JKP (disebut Pajak Masukan). Dengan kata lain, PKP sebagai penjual, ia akan memungut Pajak Keluaran dari pembeli. Namun sebagai pembeli, ia juga membayar Pajak Masukan kepada PKP supplier.
Melalui mekanisme tersebut, pengenaan PPN tidak menimbulkan efek pajak berganda (cascading). Apabila dalam satu masa pajak, PPN Masukan lebih besar dari PPN Keluaran, maka PKP dapat meminta restitusi kelebihan pembayaran PPN kepada pemerintah.
Objek dan Bukan Objek PPN
Sebagai pajak objektif, pengenaan PPN seharusnya bersifat netral terhadap seluruh barang dan jasa yang dikonsumsi. Namun dalam UU PPN dan perubahannya yang berlaku saat ini terdapat pengecualian (fasilitas) pengenaan PPN (negative list).Pasal 4A UU PPN merinci jenis barang dan jasa yang dikenakan PPN. Ada 4 kategori barang dan 17 kategori jasa yang tidak dikenakan PPN. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, jasa pelayanan kesehatan medis, dan jasa pendidikan adalah contoh kelompok barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN tersebut (non-BKP/JKP).
Secara teoretis, dengan memasukkan barang/jasa yang semula non-BKP/JKP menjadi BKP/JKP akan membuat pajak masukan dapat dikreditkan. Alhasil, ada pengaruhnya pada harga pokok atau harga jual kepada konsumen yang bisa lebih murah.
Sebagai contoh, seorang pengusaha beras untuk mengolah produknya membutuhkan sebuah mesin pembajak sawah (traktor). Namun karena beras dibebaskan, pajak masukannya tak bisa dikreditkan. Akibatnya, pembelian mesin tersebut kemudian dibebankan sebagai biaya produksi. Dengan bertambahnya biaya produksi tersebut, harga barang akhir di tingkat konsumen juga akan relatif tinggi.
Selain non-BKP/PKP, pemberian fasilitas PPN dapat berupa PPN dibebaskan dan PPN tidak dipungut sebagaimana disebutkan pada pasal 16B UU PPN. Pemberian fasilitas PPN ini (dibebaskan dan tidak dipungut) terbatas pada hal-hal sebagai berikut:
- Kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam daerah pabean.
- Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu/penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu.
- Impor Barang Kena Pajak tertentu.
- Pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean yang diatur dengan peraturan pemerintah.
- Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
Banyaknya kelompok barang yang mendapat fasilitas pengecualian pengenaan PPN ini menyebabkan dampak ekonomi berupa distorsi ekonomi, tax incidence, dampak sosial, dan tentu saja berdampak terhadap penerimaan negara akibat tingginya belanja pajak (tax expenditure).
Sebagaimana yang tertuang dalam laporan belanja perpajakan yang dipublikasikan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF), belanja pajak yang timbul akibat pengecualian PPN berkontribusi besar terhadap belanja pajak secara umum.
Belanja pajak akibat pengecualian PPN mencapai Rp73,39 triliun sepanjang 2019. Pengecualian PPN berkontribusi sebesar 44% dari total belanja PPN/PPnBM yang mencapai Rp166,92 triliun.
Sebagaimana yang tertuang dalam laporan belanja perpajakan yang dipublikasikan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF), belanja pajak yang timbul akibat pengecualian PPN berkontribusi besar terhadap belanja pajak secara umum.
Belanja pajak akibat pengecualian PPN mencapai Rp73,39 triliun sepanjang 2019. Pengecualian PPN berkontribusi sebesar 44% dari total belanja PPN/PPnBM yang mencapai Rp166,92 triliun.
Laporan Belanja Perpajakan 2019 (sumber: BKF) |
Sementara terkait C-efisicency PPN Indonesia baru 0,6% atau 60% dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut. Artinya, ada 40% penyerahan BKP/JKP yang tidak berkontribusi dalam penerimaan PPN. Bandingkan dengan negara tetangga kita di Asean seperti Singapura, Thailand, dan Vietnam yang sudah mencapai 80%. Ratio PPN Indonesia (penerimaan PPN dibagi PDB) hanya sebesar 3,62. Angka ini pun lebih rendah dibandingkan Thailand yang telah mencapai 3,88.
Banyaknya pengecualian dan fasilitas PPN membuat kesenjangan antara yang mampu (kaya) dan yang tidak mampu (miskin). Tujuan pajak sebagai pendistribusian kekayaan sehingga tercipta kesetaraan dan keadilan akan sulit tercapai jika masih menggunakan kebijakan PPN yang saat ini berlaku.
PPN sebagai pajak tidak langsung juga seolah membiarkan kesenjangan antara orang yang mampu dan tidak mampu karena membiarkan keduanya menerapkan tarif yang sama. Muncullah regrisivitas: makin kaya seseorang akan semakin ringan beban pajaknya.
Skema Multitarif
Untuk mengerek penerimaan PPN serta agar tercipta sistem pemajakan yang berkeadilan, maka ada beberapa opsi yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, peningkatan tren pembatasan pengecualian dan fasilitas PPN. Banyak negara yang meninjau ulang dalam rangka prinsip netralitas PPN dan mencegah distorsi kebijakan dan kondisi ketidakadilan penerapan PPN. Langkah ini juga dapat memperluas basis PPN sehingga dapat mengurangi belanja perpajakan sekaligus menaikkan penerimaan. Perluasan basis PPN juga bisa dilakukan dengan menurunkan batasan PKP yang saat ini Rp4,8 miliar setahun.Kedua, menaikkan tarif standar umum PPN. Untuk diketahui, rata-rata tarif PPN global tahun 2020 dari 127 negara adalah sebesar 15.4%. Indonesia masih 10%. Jika melihat ketentuan yang berlaku saat ini, Indonesia masih memungkinkan menurunkan tarif minimal 5% atau bahkan menaikkannya hingga 15%. Penurunan tarif jelas akan berdampak kepada penurunan penerimaan. Maka langkah untuk menaikkan penerimaan adalah dengan menaikkan tarif. Namun langkah menaikkan tarif juga akan meningkatkan angka inflasi dan kesenjangan ekonomi.
Ketiga, menggunakan skema multitarif. Pengenaan PPN lebih rendah untuk barang-barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah. Jadi pengenaan PPN nantinya bisa disesuaikan dengan jenis/kategori BKP/JKP. Sebagai pembanding, Turki menerapkan PPN atas basic food dengan tarif 8% (tarif standar 18%), sementara tarif reduce rate Spanyol hanya 4% untuk basic food stuff (tarif standar 21%). Indonesia bisa saja menerapkan PPN untuk barang kebutuhan pokok sebesar 5% atau bahkan 0% misalnya, sementara barang-barang premium (barang mewah/sangat mewah) dikenakan tarif lebih tinggi dari tarif normal saat ini (10%).
Pengenaan multitarif ini juga dapat memberikan rasa keadilan. Prinsipnya semakin bervariasi tarifnya maka akan semakin adil. Namun ada efek samping multitarif yang harus diwaspadai. Semakin banyak kelompok BKP/JKP maka akan semakin menyulitkan PKP dalam menunaikan kewajiban PPN. Sistem ini juga akan menjadikan orang kaya akan berpindah membeli barang subtitusi yang lebih murah.
Oleh karena itu, untuk penerapan multitarif ini harus didukung dengan sistem administrasi perpajakan yang mumpuni. DJP harus segera membuat coretax system yang andal sehingga semua proses bisnis bisa terawasi oleh DJP sekaligus memudahkan wajib pajak.
Kondisi Covid-19 memaksa pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan rakyat dan menggerakkan roda perekonomian dengan meningkatkan pengeluaran negara melalui program PEN. Pada tahun 2020, belanja negara naik 12,2% dari realisasi 2019 yang didukung oleh kebijakan realokasi belanja Kementerian/Lembaga dan Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp579,8 triliun untuk mendukung program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Jumlah anggaran PEN ini dinaikkan menjadi Rp699,43 triliun pada 2021 atau naik 21% dari realisasi PEN 2020.
Dana pajak yang terkumpul akan dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk insentif pajak, program vaksinasi, bantuan operasional sekolah, bantuan langsung tunai, dan lain sebagainya.
Pajak sebagai wujud nyata gotong royong masyarakat membangun bangsa dan negara. Melalui pajak, kita bisa saling bergandeng tangan memberi manfaat bagi sesama. Mengutip filsuf Yunani kuno Epicurus (341-270SM), "Keadilan adalah kontrak kemanfaatan, yang dibuat untuk mencegah orang melukai atau dirugikan." Itulah yang sedang pemerintah lakukan. Semoga.(*)
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Artikel ini pertama kali diterbitkan di pajak.go.id dan telah dilakukan editing ulang oleh penulis (Pradirwan)
Post a Comment