Mimpi Buruh akan Rumah Murah dan Pembebasan PPN untuk Rumah Murah |
(Mimpi Buruh akan Rumah Murah dan Pembebasan PPN untuk Rumah
Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa
dan Pelajar, serta Perumahan lainnya)
Kemarin, 1 Mei 2014, diperingati sebagai Hari Buruh
Internasional atau May Day. Seperti tahun-tahun sebelumnya, peringatan hari buruh diisi oleh
sebagian buruh dengan demonstrasi di beberapa tempat terutama di kota besar
seperti Jakarta dan Surabaya. Dari media yang saya lihat dan saya baca, tahun ini
buruh Indonesia mengajukan 10 tuntutan. Ke-10
tuntutan tersebut adalah :
- peningkatan upah minimum 2015 sebesar 30 persen dan revisi KHL menjadi 84 item,
- menolak penangguhan upah minimum,
- jaminan pensiun wajib bagi buruh pada Juli 2015,
- jaminan kesehatan seluruh rakyat dengan cara mencabut Permenkes 69/2013 tentang tarif, serta ganti INA CBG's dengan Fee For Service, audit BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
- Menghapus sistem outsourcing, khususnya outsourcing di BUMN dan pengangkatan sebagai pekerja tetap semua pekerja outsourcing;
- mengesahkan RUU PRT dan Revisi UU Perlindungan TKI No 39/2004,
- mencabut UU Ormas ganti dengan RUU Perkumpulan,
- mengangkat pegawai dan guru honorer menjadi PNS, serta subsidi Rp 1 juta per orang per bulan dari APBN untuk guru honorer;
- menyediakan transportasi publik dan perumahan murah untuk buruh;
- serta wajib belajar 12 tahun dan beasiswa untuk anak buruh hingga perguruan tinggi.
Yang menarik buat saya adalah tuntutan penyediaan rumah
murah. Bagi buruh, memiliki dan tinggal di rumah layak huni dengan harga
terjangkau masih merupakan mimpi. Jangankan
memiliki rumah, menyewanya saja sudah menghabiskan sepertiga pendapatan mereka
bahkan mungkin lebih. Pasalnya, harga sewa (kontrakan) rumah saat ini sudah
mencapai kisaran Rp 600.000 hingga Rp 2 juta per bulan untuk wilayah Jakarta
pinggiran, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Namun apakah pemerintah tidak
melakukan sesuatu untuk mewujudkan mimpi buruh tentang rumah murah tersebut?
Sebenarnya, aturan tentang pembebasan PPN ini sudah ada namun aturannya masih harus diperbarui lagi. Pasalnya, harga dinaikkan dari Rp. 88 juta menjadi Rp. 105 juta (wilayah Sumatera, Jawa, dan Sulawesi—tidak termasuk Batam, Bintan, Karimun, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), tapi konsumen tetap kena PPN 10%. Kalau begini FLPP tidak bisa jalan. Belum lagi tantangan terkait NJOP PBB yang tahu 2014 ini beberapa Kab/Kota sudah menaikkan bahkan ada yang sampai 200%. Ini mengakibatkan harga penjualan rumah ikut melambung. NJOP selain menjadi dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang kini beralih menjadi pajak daerah juga bisa menjadi dasar pengenaan pajak lainnya (PPh dan BPHTB). Belum lagi kabar tentang akuisisi bank penyedia perumahan rakyat (BTN) yang akan di akuisisi oleh Bank Mandiri, dikhawatirkan beberapa pihak akan turut menjadi penghambat program rumah murah ini. Selama ini BTN sudah menangani hampir 99 persen fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) atau program kredit rumah murah dari pemerintah. Jika BTN diakuisisi Mandiri, bagaimana kemudian nasib pembiayaan rumah murah ke depan? Namun rencana ini belum terlaksana karena Presiden SBY mengimbau para menteri yang menangani rencana pengalihan saham pemerintah di BTN kepada Mandiri untuk menunda pembahasan tersebut. Menunda? Sampai Kapan? Entahlah...
PPN dibebaskan
Atas penyerahan Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Sangat
Sederhana (RSS) mendapatkan fasilitas berupa PPN dibebaskan. Dengan demikian,
pengembang sebagai penjual RS dan RSS tidak menambahkan unsur PPN terhadap
harga jual yang dilakukannya kepada pembeli RS dan RSS. Dengan kata lain,
pembeli RS dan RSS tidak perlu membayar PPN atas pembelian rumah jenis
tersebut.
Pembebasan PPN ini didasarkan pada Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003. Sementara batasan dari RS dan RSS ini diatur
dengan Keputusan atau Peraturan Menteri Keuangan.
Selama ini aturan tentang
pembebasan PPN tersebut yang berlaku adalah Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Nomor 125/PMK.011/2012, pemerintah
membebaskan pajak untuk rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun
sederhana, pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar, serta perumahan lainnya.
PMK sendiri berlaku sejak 3 Agustus 2012.
Syarat-syarat rumah bebas PPN, antara lain:
(1) Luas maksimal bangunan 36 m2
(2) Harga jual tidak melebihi:
- Rp95 juta (wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bali, Batam, Bintan, dan Karimun).
- Rp 88 juta (wilayah Sumatera, Jawa, dan Sulawesi—tidak termasuk Batam, Bintan, Karimun, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi)
- Rp95 juta (wilayah Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat)
- Rp145 juta (wilayah Papua, dan Papua Barat).
(3) Konsumen merupakan pembeli rumah pertama (first home
buyer) yang menggunakan tinggal di rumah tersebut dan tidak dipindahtangankan
dalam jangka waktu lima tahun sejak dimiliki.
PMK tersebut juga menyebutkan, rumah sederhana dan rumah
sangat sederhana yang dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah
rumah yang dibeli secara tunai, kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau
melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Tatacara pembebasan PPN
Tatacara pembebasan PPN untuk Barang Kena Pajak Tertentu,
termasuk Barang Kena Pajak berupa RS dan RSS diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 370/KMK.03/2003 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai Yang
Dibebaskan Atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau
Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu
Pembeli RS dan RSS yang mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan
tidak perlu memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) yang diterbitkan oleh Dirjen
Pajak. Jadi, pembebasan PPN dilakukan secara langsung tanpa perlu mensyaratkan
SKB.
Pengembang yang melakukan penyerahan RS dan RSS tetap
menerbitkan Faktur Pajak atas penyerahan RS dan RSS yang PPN nya dibebaskan.
Dalam Faktur Pajak dibubuhkan cap “PPN DIBEBASKAN SESUAI PP NOMOR 146 TAHUN
2000 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PP NOMOR 38 TAHUN 2003″.
Berita terbarunya adalah bertepatan dengan hari buruh
kemarin, Dirjen Pajak Fuad Rahmany mengatakan bahwa kajian pihaknya terkait
Rumah Murah telah dikirim kepada menteri keuangan. Dalam waktu dekat, dasar
hukum pembebasan PPN itu akan muncul dalam Peraturan Menteri Keuangan. Itu artinya
usulan Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) agar rumah murah di tiga zona
dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dikabulkan Direktorat Jenderal
Pajak Kementerian Keuangan. Bahkan, otoritas pajak meminta jumlah zona ditambah
hingga sembilan, agar rumah yang bebas PPN lebih merata, tidak hanya di
perkotaan.
Perubahan harga rumah murah itu adalah zona satu (Non-Jabodetabek dan Non-Papua) naik menjadi Rp
105 juta, dari sebelumnya Rp 88 juta (wilayah Sumatera, Jawa, dan
Sulawesi—tidak termasuk Batam, Bintan, Karimun, Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi). Sedangkan Jabodetabek masuk zona dua. Harga rumah murah
di sekitar Ibu Kota menjadi Rp 115 juta dari Rp 95 juta (wilayah Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bali, Batam, Bintan, Karimun, Kalimantan,
Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat). Khusus zona tiga (Papua) rumah murah sekarang dibanderol Rp
165 juta per unit, dari sebelumnya Rp 145 juta. Kebijakan itu berlaku per 1 Mei
2014.
Sebagai tambahan informasi, Kemenpera menggulirkan program Rumah Sederhana Murah. Program ini ditujukan kepada masyarakat yang kurang mampu atau disebut dengan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Targetnya tahun ini akan membangun 250.000 Rumah Sederhana Murah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah pada tahun 2014 ini. Jumlah ini meningkat 2 kali lipat dibandingkan dengan tahun 2013 lalu.
Apakah mimpi para buruh ini akan menjadi nyata? Entahlah...
Demikian sedikit catatanku, mudah-mudahan ada manfaatnya.
Post a Comment