BREAKING NEWS

Tradisi adzan pitu di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon

Tradisi adzan pitu di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon (image: news.liputan6.com)
Adzan sebagai tanda tibanya waktu sholat lazimnya dilantunkan oleh satu orang muadzin. Namun di Masjid Agung Sang Cipta Rasa keraton Kasepuhan Cirebon, adzan dilantunkan oleh 7 orang sekaligus. Itulah mengapa disebut adzan pitu (pitu = tujuh).

Sejarah tradisi adzan pitu di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon

Tidak banyak sumber yang menjelaskan tentang tradisi adzan pitu yang unik ini, namun dari beberapa sumber yang ada secara keseluruhan munculnya tradisi adzan pitu tidak terlepas dari peran Sunan Gunung Jati yang ketika itu menjadi pemuka agama sekaligus raja di Kerajaan Cirebon yang pada waktu itu bernama Keraton Pakungwati, dan kisahnya tidak akan terlepas dari asal mula Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

Masjid Agung Sang Cipta Rasa adalah masjid yang terletak tidak begitu jauh dari Komplek Keraton Kasepuhan Cirebon. Masjid yang dibangun pada sekitar tahun 1480 M itu sampai sekarang masih tetap digunakan oleh masyarakat Cirebon sebagai tempat beribadah sekaligus tempat berlangsungnya beberapa ritual keagamaan lainnya.

Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Cirebon (image: retakankata.com)

Wali Songo berperan besar terhadap pembangunan masjid ini. Sunan Gunung Jati yang bertindak sebagai ketua pembangunan masjid ini menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsiteknya. Nama masjid ini sendiri diambil dari kata “sang” yang artinya keagungan, “cipta” yang artinya dibangun, dan “rasa” yang artinya digunakan. 

Selain keunikan di bidang arsitekturnya yang khas bercorak hindu, terdapat keunikan lainnya yaitu tradisi adzan pitu. Tradisi unik ini mungkin hanya ada di Indonesia, bahkan mungkin satu-satunya di dunia.

Adzan pitu merupakan tradisi yang dilakukan sejak sekitar 500 tahun silam. Bila dulu adzan pitu dilantunkan setiap waktu sholat tiba, kini adzan pitu hanya dilakukan pada saat sholat Jumat saja, pada adzan yang pertama.

Kembali ke sejarah awal pembangunan masjid Agung Sang Cipta Rasa. Pembangunan masjid ini melibatkan 500 pekerja dari Demak, Majapahit, dan Cirebon sendiri. Selain itu, yang cukup menarik, didatangkan Raden Sepat (Masyarakat sekitar menyebut : Raden Sepet).

Raden Sepat merupakan arsitek Majapahit yang menjadi tahanan perang Demak-Majapahit. Raden Sepat didatangkan dari Demak. Tindakan ini dilakukan oleh Demak sebagai imbalan kepada Cirebon karena telah membantu mengirim pasukan dalam penyerangan ke Majapahit.

Raden Sepat berperan dalam membawa tukang-tukang dari Majapahit. Bahkan, menurut cerita dalam babad dikatakan bahwa serambi utama masjid itu berasal dari kota Majapahit. Raden Sepat merancang ruang utama masjid berbentuk bujur sangkar dengan luas 400 meter persegi. Tempat imam menghadap barat dengan tingkat kemiringan 30 derajat arah barat laut.

Keunikan lain dari masjid ini adalah tidak mempunyai kubah. Tidak adanya kubah di Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini diawali oleh cerita kumandang adzan pitu (adzan tujuh). Menurut informasi dari buku Babad Cirebon, adzan tujuh atau dikenal dengan sebutan adzan pitu berawal sejak masa awal perkembangan Islam di Cirebon.

Konon di Masjid Agung Sang Cipta Rasa dahulu ada musibah yang menyebabkan tiga orang muadzin tewas berturut-turut secara misterius. Ketika masjid ini didirikan, memang masyarakatnya sebagian besar belum memeluk agama Islam. Mereka menolak pembangunan masjid ini. Penolakan itu diwujudkan melalui kekuatan sihir yang menyebabkan kematian misterius tiga muadzin masjid ini. 

Konon saat itu, sihir itu melalui perwujudan makhluk siluman bernama Menjangan Wulung yang bertengger di kubah masjid, dan menyerang setiap orang yang melantunkan adzan maupun hendak sholat. Setiap muadzin yang melantunkan adzan selalu meninggal terkena serangan Menjangan Wulung. Menjangan Wulung tidak senang dengan penyebaran agama Islam, dan ingin menghambatnya. Kondisi ini membuat resah umat Islam.
 

Akhirnya para wali meminta petunjuk Allah atas masalah yang terjadi. 

Para wali menganggap ada satu kekuatan khusus yang menolak Islam berkembang di daerah Cirebon. Setelah Sunan Gunungjati bermusyawarah dengan para tetua dan memohon petunjuk dari Allah, Sunan Kalijaga mendapat petunjuk untuk segera mengumandangkan adzan yang diserukan oleh tujuh orang muadzin sekaligus sebelum sholat, lalu dititahkan oleh Sunan Gunungjati, kemudian disebut tradisi adzan pitu.

Adzan pitu merupakan titah Sunan Gunungjati untuk mengalahkan pendekar jahat berilmu hitam bernama Menjangan Wulung. Makhluk yang bernama Menjangan Wulung ini tidak dijelaskan bentuknya seperti apa, namun ia digambarkan sebagai makhluk jahat yang menebar wabah penyakit dan kematian.

Ada satu sumber yang mengatakan bahwa awalnya Sunan Gunung Jati memohon kepada Allah SWT untuk meminta jalan keluar dari kesulitan tersebut. Hingga akhirnya diperintahkan lah salah seorang untuk mengumandangkan adzan di masjid itu, tetapi tidak berhasil. Usaha tersebut terus dilakukan dengan ditambahnya orang yang adzan. Dua orang, tiga orang, empat orang, namun tetap saja tidak berhasil. Akhirnya ketika adzan yang dikumandangkan itu dilakukan oleh 7 orang, maka Menjangan Wulung berhasil disingkirkan.

Tujuh orang yang melantunkan adzan ini merupakan pengurus masjid yang telah dipilih penghulu masjid. Meski tak ada persyaratan khusus, namun sebagian besar muadzin merupakan keturunan dari muadzin adzan pitu sebelumnya. Mereka mengaku, mendapat ketenangan dan lebih khusuk beribadah sejak menjadi muadzin adzan pitu.

Pada saat akan melaksanakan shalat Subuh, itulah pertama kali adzan pitu (tujuh) dikumandangkan. Bersamaan dengan itu, dentuman besar terdengar dari kubah masjid. Kubah masjid mendadak jebol dan hilang. 

Bersamaan dengan itu seketika binasalah kekuatan gaib yang disebarkan oleh makhluk halus bernama Menjangan Wulung. Ternyata selama ini Menjangan Wulung bertengger di atas kubah tersebut. Setelah Menjangan Wulung dapat dikalahkan, pemiliknya masuk Islam.

Menurut cerita, karena ledakan dahsyat tersebut, kubah masjid itu terlempar ke Banten. Itu sebabnya mengapa hingga saat ini Masjid Agung Sang Cipta Rasa tidak mempunyai kubah sedangkan Masjid Agung Banten memiliki dua kubah.

Versi lainnya adalah menurut kepala kaum (pengurus harian Dewan Kemakmuran Mesjid) Sang Cipta Rasa, H. Azhari, tradisi adzan pitu bermula saat Mesjid Sang Cipta Rasa yang masih beratapkan rumbia terbakar hebat. Berbagai upaya dilakukan untuk memadamkan api, namun selalu gagal. Sampai akhirnya istri Sunan Gunungjati Nyi Mas Pakungwati menyarankan agar dikumandangkan adzan. Namun api belum juga padam. Azan kembali dikumandangkan oleh dua orang sampai berturut-turut tiga orang sampai enam orang, namun api belum juga padam. Konon api baru padam setelah adzan dikumandangkan oleh tujuh orang muadzin. Sejak saat itulah, tradisi adzan pitu dilestarikan hingga saat ini.

Menurut Azhari, api yang membakar mesjid konon merupakan ulah Menjangan Wulung -mahluk gaib yang berwatak jahat semacam leak di Bali-. Dalam versi lainnya yang serupa tapi tidak sama menyebutkan, terbakarnya mesjid bukan dalam arti secara fisik tetapi secara filosofis.


Seorang sumber juga mengatakan, sesepuh masjid (tidak disebutkan namanya), adzan pitu sebelumnya bertujuan untuk menolak bala dan mengusir racun yang dibawa kesatria jahat yang menjelma menjadi Menjangan Wulung. Kesatria tersebut tidak senang kepada Pangeran Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati yang menyebarkan Islam di daerah Cirebon. Akibat racun tersebut banyak warga yang meninggal dunia pada waktu itu. Saat itu untuk melawan pengaruh racun jahat tersebut ditunjuklah sembilan orang muazin untuk mengumandangkan adzan secara bersama-sama. Begitu adzan selesai, beduk masjid meledak dan terbakar.

Kebakaran itu juga mengakibatkan dua orang dari sembilan muadzin meninggal. Sejak itulah untuk setiap salat Jumat ditunjuk tujuh orang muadzin.

Sampai sekarang tradisi adzan pitu masih dilaksanakan. Kalau dahulu adzan pitu itu dikumandangkan ketika shalat Subuh, saat ini adzan pitu dikumandangkan pada saat shalat Jumat, oleh tujuh orang dengan berpakaian serba putih. 

Keunikan lainnya adalah ternyata yang berhadapan langsung dengan Mic (pengeras suara) itu hanya satu orang saja. Keenam muadzin lainnya mengumandangkan adzan tanpa pengeras suara. Mungkin hal itu hanya masalah teknis saja, mengingat dulu waktu munculnya tradisi adzan ini, belum ada alat pengeras suara. Jadi waktu itu semua muadzin mengumandangkan adzan secara langsung dengan suara alami mereka. Seiring majunya teknologi, maka masjid ini pun ikut menyesuaikan dengan menggunakan alat pengeras suara agar bisa lebih terdengar jelas oleh masyarakat. Sama seperti masjid-masjid lainnya.

Mengapa tradisi ini masih terus dijalankan dan dipertahankan? suatu waktu pernah tradisi ini coba dihilangkan dengan kembali menggunakan satu orang untuk adzan. Akan tetapi, tidak berapa lama, muadzin tersebut akhirnya meninggal dunia. Kemudian ketika dicoba lagi dengan satu muadzin, hal itu berulang kembali. Oleh karena itu, masyarakat kembali menggunakan tujuh orang untuk adzan di masjid itu.

Oh iya, di masjid ini, khutbah sholat Jumat menggunakan bahasa Arab, memang sejak awal menggunakan bahasa Arab. Tradisi ini tetap dipertahankan sampai sekarang. Ketika ditanyakan alasannya, agar para jamaah yang tidak mengerti bahasa Arab, menjadi belajar bahasa Arab, sama halnya untuk bahasa Inggris, ketika kita tidak mengerti bahasa Inggris, maka kita harus belajar bahasa Inggris.

BANGUNAN MASJID YANG UNIK 

Masjid Sang Cipta Rasa ini juga dikenal sebagai ‘masjid kasepuhan’, karena berada di lingkungan Keraton Kasepuhan. Meskipun masjid ini telah dipugar beberapa kali, namun sebagian besar bangunannya masih asli.
 
Selain adzan pitu, masjid yang didirikan Sunan Gunungjati tahun 1478 ini memiliki sejumlah keunikan lain. Diantaranya adalah tempat wudhu dengan mata air yang tak pernah kering. Sejumlah warga bahkan mengambil air yang disebut Banyu Cis ini untuk dijadikan obat berbagai penyakit manusia dan kesuburan sawah.

Di dalam masjid terdapat tiang yang disebut saka tatal. Tiang ini dibuat oleh Sunan Gunungjati dari sisa-sisa kayu yang disatukan. Lewat tiang ini, Sunan Gunungjati memberi pesan bahwa persatuan yang kokoh, bisa menopang beban seberat apapun.

Pintu masjid dibuat rendah, hanya seukuran badan manusia. Sehingga siapapun yang masuk atau keluar masjid, harus merunduk. Maknanya adalah, saat beribadah di hadapan Tuhan, manusia tidak boleh sombong.

Di dalam masjid terdapat dua pagar, yakni di bagian kanan depan dan kiri belakang. Dua ruangan khusus ini hanya boleh diisi oleh keluarga Sultan Kasepuhan dan Sultan Kanoman, dua kesultanan yang masih bertahan di Cirebon.

Demikian cerita tentang Tradisi adzan pitu di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon. Semoga bermanfaat dan menambah kecintaan kita pada budaya bangsa Indonesia yang tak ternilai ini. Silakan share ke teman-teman pembaca sekalian.

Sumber:
http://retakankata.com/2012/03/30/tradisi-adzan-pitu-tradisi-adzan-tujuh/
http://catatanspadilman.blogspot.com/2010/01/tradisi-adzan-pitu.html
http://news.liputan6.com/read/66014/iazan-pitui-di-masjid-kasepuhan-cirebon
http://www.pikiran-rakyat.com/node/96384
http://www.indosiar.com/fokus/tradisi-azan-pitu-masjid-cirebon_55458.html

Share this:

Post a Comment

 
Copyright © 2021 Pradirwan and OddThemes