Gedung Sate, Bandung |
Depan Gedung Sate |
Entah mengapa, kami memutuskan untuk ke Gedung Sate. Gedung bersejarah yang menjadi ikon kota Bandung dan Jawa Barat. Gedung yang berada di Jl. Diponegoro no. 22, Kelurahan Cihaurgeulis, Kecamatan Coblong Kota Bandung ini, memang sering kami lewati, terlebih aku. Lokasi Gedung Sate ini masih masuk wilayah kerja kantorku, hingga dapat dipastikan aku sering melewatinya jika ada kegiatan Dinas Luar.
Memoriku kembali ke masa silam, ketika pertama kali aku melihat Gedung Sate. Usiaku waktu itu sekitar 5 tahun. Aku diajak nenek ikut ke Bandung, untuk mengurus Taspen nenek yang ada sedikit masalah administrasi. Gedung BKN yang tak jauh dari Gedung Sate, memberi kesempatan untuk sekedar melihat gedung kebanggan Jawa Barat itu. Sayangnya, usiaku saat itu masih terlalu dini untuk mengetahui sejarahnya. Hanya ada perasaan bangga saja karena aku bisa menceritakan pengalamanku melihat Gedung Sate kepada teman-teman sepermainanku di kampung.
di Lapangan Gasibu, Bandung |
Kali ke dua aku melihatnya adalah ketika aku hendak mendaftarkan diri untuk UMPTN dan USM STAN di Bandung tahun 2002. Aku ikut rombongan kakak seniorku ke Bandung. Turun dari bus di terminal Cicaheum, kami naik angkot Cicaheum – Ciroyom dan melewati Lapangan Gasibu dan Gedung Sate. Aku mencoba menghafalkan rute angkot dan setiap tanda yang aku lewati. Lapangan Gasibu dan Gedung Sate ini adalah salah satu tanda yang aku hafalkan.
Lapangan Gasibu menghadap Tangkuban Parahu |
Tahun itu, aku kost di daerah Sukajadi. Hampir 4 minggu lamanya aku tinggal disana. Setiap minggu, aku dan rekanku joging dari Sukajadi ke Lapangan Gasibu. Lambat laun, aku mulai akrab dengan suasana jalanan dan tempat-tempat yang aku singgahi, terutama lapangan gasibu yang setiap pekan ada “pasar dadakan” dan Gedung Sate. Kekagumanku semakin menjadi ketika ku tahu sejarah Gedung Sate dan serba-serbi yang melingkupinya termasuk kisah misteri terkait Gedung Sate ini.
Sejak dulu, Bandung memang mempunyai sejuta pesona. Sejak abad 19, Bandung selalu menarik bagi bagi orang-orang Eropa. Alasannya karena iklim yang ada di Bandung, sangat cocok dengan ikim di Eropa. Udara yang masih segar sangat baik bagi kesehatan.
Selain itu, letak geografis kota Bandung yang jauh dari lautan, juga dikelilingi oleh pegunungan yang menjadikannya terlindung. Pegunungan tersebut ibarat bangunan benteng yang alami.
Disebabkan iklim dan letak kota yang sangat mendukung, Bandung menjadi pilihan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk memindahkan ibu kotanya dari Batavia. Hal itu ditunjukkan dengan pembuatan bangunan Departement van Oorlog (D.V.O) atau departemen peperangan, Istana Komandan Militer, dan Gedung Departemen Pekerjaan Umum. Sebagai pendukung penyedia perlengkapan, beberapa pabrik seperti Bengkel Pyroteknik, Bengkel Konstruksi Artileri, pabrik mesiu, dan pabrik senjata ditempatkan di Bandung dan sekitarnya. Selain menyediakan gedung – gedung dan pabrik – pabrik, Bandung menyiapkan kompleks perumahan untuk pensiunan KNIL atau Bronbeek di daerah Sukajadi.
Gedung Sate didirikan pada tahun 1920 yang merupakan hasil perencanaan dari sebuah tim yang dipimpin oleh J. Gerber, Eh. De Roo, dan G. Hendriks serta Gemeente van Bandoeng yang diketuai V.L. Slors. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Nona Johanna Catherina Coops (puteri sulung B. Coops, Walikota Bandung) dan Nona Petronella Roelofsen yang mewakili Gubernur Jendral Batavia.
Langgam arsitekturnya menyerupai bangunan Italia di zaman Renaissance, yang anggun, megah dan monumental. Penataan bangunan simetris, elemen lengkungan yang berulang-ulang (repetisi) menciptakan ritme yang menyenangkan, indah dan unik.
Tangkuban Perahu dari 2 sudut yang berbeda di Lapangan Gasibu |
Dengan bentuk bangunan persegi panjang, membentang dari Selatan ke Utara, Gedung Sate bersumbu lurus ke tengah-tengah Gunung Tangkuban Perahu.
Rencananya, lokasi ini akan dijadikan pusat pemerintahan Hindia Belanda. Komplek Pusat Instansi Pemerintahan Hindia Belanda akan diisi oleh bangunan – bangunan :
1. Departemen Pekerjaan Umum
2. Kantor Pusat PTT
3. Departemen Kehakiman
4. Departemen Pendidikan dan Pengajaran
5. Departemen Keuangan
6. Departemen Dalam Negeri
7. Departemen Perdagangan
8. Mahkamah Agung
9. Dewan Rakyat
10. Kantor Pemerintah Pusat
11. Sekretariat Negara
12. Balairung Negara
13. Laboratorium Pusat Geologi dan Pertambangan.
Dalam rancangan ini, kita bisa melihat penataan denah ruang yang simetris. Selain itu, poros selatan – utara akan diisi oleh Boulevard yang lebar mengesankan. Boulevard ini akan diisi kolam – kolam di ujung utara dan selatan. Kolam di ujung utara akan berada di Monumen Perjuangan Rakyat Jabar. Kolam di ujung selatan akan berada di Lapangan Gasibu sekarang.
Semula, gedung indah ini disebut Gedung Hebe diserap dari singkatan BG atau Gounverments Bedrijven oleh penduduk masa itu, namun kemudian lebih dikenal dengan nama Gedung Sate karena di puncak menara gedung terdapat tusuk sate dengan enam buah ornamen berbentuk jambu air.
Enam ornamen itu konon melambangkan modal awal pembangunan pusat pemerintahan sebesar 6 juta gulden. Dengan modal awal itu, dapat terselesaikan bangunan utama Gedung Sate, Kantor Pusat Pos Telegraf dan Telepon (PTT), Laboratorium dan Museum Geologi serta Dinas Tenaga Air dan Listrik.
Namun akibat resesi ekonomi dunia pada tahun 1930 yang juga melanda pemerintah Belanda di Indonesia, bangunan pusat pemerintahan tersebut tidak dapat terselesaikan seluruhnya.
Sejarah perjuangan di masa kemerdekaan Indonesia juga terekam jelas di Gedung Sate ini. Jika kita memasuki halaman depan Gedung Sate, terdapat sebuah tugu yang terbuat dari batu alam untuk mengenang perjuangan pahlawan kita waktu itu.
Pada batu tersebut terdapat tulisan yang berbunyi “Dalam mempertahankan Gedung Sate terhadap serangan pasukan Gurkha tanggal 3 Desember 1945, tujuh pemuda gugur dan dikubur oleh pihak musuh di halaman ini. Bulan Agustus 1952 diketemukan jenazah Suhodo, Didi, dan Muchtarudin, yang dimakamkan kembali di Taman Makam Pahlawan Cikutra. Jenazah Rana, Subengat, Surjono, dan Susilo tetap berada di sini.” Rupanya, ada jenazah yang masih terkubur di halaman gedung tersebut. Meskipun tidak banyak orang yang mengetahuinya, kisah yang terkandung pada tugu batu tersebut tidak akan pernah hilang dari sejarah.
Kisah itu berawal setelah pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno. Saat itu, Keadaan Republik Indonesia begitu labil. Meskipun setelahnya kabinet pemerintahan telah dibentuk, insiden-insiden kecil yang menjurus kepada pertempuran melawan tentara asing kerap kali terjadi. Terutama, setelah datangnya tentara sekutu di Republik Indonesia untuk menggantikan Jepang dan pada tanggal 4 Oktober 1945, Kota Bandung mulai dimasuki oleh tentara sekutu. Sejak saat itu, para patriot yang berada di kota Bandung harus berhadapan dengan tentara Jepang dan tentara Sekutu.
Saat itu, Gedung Sate dijadikan kantor pusat Departemen Perhubungan dan Pekerjaan Umum. Tepatnya pada tanggal 20 Oktober 1945, Ir. Pangeran Noor (Menteri Muda Perhubungan dan Pekerjaan Umum saat itu) meminta para pegawai Departemen Perhubungan dan Pekerjaan Umum mengangkat sumpah setia kepada Republik Indonesia sebagai bentuk perlawanan terhadap tentara asing di Bandung. Tentunya, Gedung Sate menjadi prioritas untuk di pertahankan bagi mereka yang telah mengangkat sumpah setianya.
Pada tanggal 24 November 1945, Kota Bandung mulai di guncang pertempuran dan Gedung Sate mulai dikepung oleh anggota tentara sekutu yakni tentara Gurkha (tentara dari Inggris) dan NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Suatu kelompok yang bernama Gerakan Pemuda Pekerjaan Umum mencoba untuk mempertahankan Gedung Sate dibantu oleh 40 orang dari pasukan Badan Perjuangan. Sayangnya, Gedung tersebut hanya dipertahankan oleh 21 orang dari anggota Gerakan Pemuda Pekerjaan Umum setelah bantuan dari pasukan Badan Perjuangan ditarik kembali pada tanggal 29 November 1945.
Tanggal 3 Desember 1945, setelah diadakan pembagian tugas oleh ke-21 anggota Gerakan Pemuda PU tersebut, pada pukul 11:00 Siang WIB, Tentara Gurkha dan tentara NICA menyerbu dan mengepung Gedung Sate dari berbagai penjuru dengan persenjataan yang berat dan modern. Meskipun begitu, ke-21 anggota Gerakan Pemuda PU ini tak mau menyerah. Mereka melakukan perlawanan secara mati-matian dengan segala kekuatan untuk mempertahankan Gedung Sate. Terjadilah pertempuran yang tidak seimbang antara Gerakan Pemuda PU melawan tentara Gurkha dan NICA.
Merasa tidak seimbang, Gerakan Pemuda PU membutuhkan bantuan pasukan. Karena hubungan telepon telah terputus, maka seorang pemuda bernama Didi Hardianto Kamarga diutus sebagai kurir untuk meminta pasukan bantuan. Sayangnya, sebelum tugas terlaksana, Didi Hardianto Kamarga gugur terlebih dahulu. Hingga pada akhirnya, mereka harus menghadapi pertempuran yang tidak seimbang ini.
Dengan semangat yang berapi-api sebagai negara yang baru saja merdeka. Dengan persenjataan dan kekuatan seadanya, mereka berjuang mati-matian untuk menjaga Gedung Kantor yang menjadi salah satu lembaga kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia. Ikrar sumpah setia mereka kepada Republik Indonesia telah dipenuhi dengan mempertaruhkan nyawanya untuk menjaga dan mempertahankan Gedung Sate.
Pada pukul 14:00 WIB, Pertempuran yang tidak seimbang tersebut berakhir dan Gedung Sate akhirnya jatuh ke tangan musuh. Dalam pertempuran tersebut, baru diketahui dari 21 orang pemuda 7 diantaranya hilang. Satu orang luka berat dan beberapa orang lainnya luka ringan. Pada awalnya, tidak diketahui kemana 7 orang hilang tersebut.
Pada bulan Agustus 1952, barulah dilakukan pencarian 7 orang pemuda yang hilang tersebut oleh suatu tim yang sebagian besar adalah mereka yang sebelumnya ikut mempertahankan Gedung Sate. Hasilnya, hanya ditemukan tiga kerangka yang diketahui sebagai jenazah Didi Hardianto Kamarga, Suhodo dan Muchtarudin yang kemudian dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Keempat jenazah lainnya yang tidak ditemukan adalah Rio Susilo, Subengat, Rana dan Surjono.
Sebagai tanda penghargaan bagi mereka yang jenazahnya tidak ditemukan ini, dibuatlah dua tanda peringatan. Satu dipasang didalam Gedung Sate dan lainnya berupa tugu batu yang terbuat dari batu alam dengan tujuh nama mereka, yang telah gugur untuk mempertahankan Gedung Sate, tertulis disana.
Tanggal 3 Desember 1951, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga saat itu, Ir. Ukar Bratakusumah, menyatakan bahwa ketujuh pemuda pahlawan tersebut dihormati sebagai “PEMUDA YANG BERJASA”. Tanda penghargaan tersebut disampaikan kepada para keluarga mereka yang ditinggalkan.
Sepuluh tahun kemudian, tertanggal 2 Desember 1961, Menteri Pertama Ir. H. Djuanda memberikan “Pernyataan Penghargaan” tertulis kepada para pemuda yang gugur. Ditetapkanlah pada setiap tanggal 3 Desember sebagai Hari Bhakti Pekerjaan Umum. Di kalangan Departemen Pekerjaan Umum, peristiwa tanggal 3 Desember 1945 tersebut dikenal sebagai “Jiwa Korsa Departemen Pekerjaan Umum”
Betapa tua bangunan itu. Namun, usianya yang sudah semakin menua itu malah menunjukkan bahwa “tua-tua keladi, semakin tua semakin jadi”. Kemegahannya tak berkurang sedikitpun.
para pedagang di lapangan Gasibu yang telah di pindahkan |
Lapangan gasibu kini kelihatan semakin bersih dan rapih. Apalagi sekarang disediakan satpam yang khusus menjaga area Gedung Sate dan Lapangan Gasibu. Pokoknya, jika anda berkesempatan berkunjung ke Bandung di hari Minggu, jangan lupa mampir di Gedung Sate dan Lapangan Gasibu. Mantap deh...
Demikian kisah Gedung Sate, dulu dan kini... semoga bermanfaat...
Sumber:
Sejarah Gedung Sate : Perpustakaan Kementerian Pekerjaan Umum
Gedung Sate : Disparbud Provinsi Jawa Barat
Kisah dibalik Gedung Sate, Bandung :Batas Ilmu
Gedung Sate : Masa Lalu, Masa Kini, Masa Depan (bagian satu): Catatan Vecco
Post a Comment