Kepala Bidang Data dan Pengawasan Potensi Perpajakan Arif Priyanto saat memberikan sambutan dalam acara Edukasi dan Dialog Perpajakan, Kamis (19/7). |
Acara yang berlangsung sekitar tiga jam itu dibuka Kepala Bidang Data dan Pengawasan Potensi Perpajakan Arif Priyanto.
Dalam sambutannya Arif mengemukakan tentang fungsi pajak. Menurutnya, selain berfungsi sebagai sumber penerimaan negara (budgeter), pajak juga berfungsi sebagai pengatur (regurelend).
Dia mengatakan, pajak dalam fungsi penerimaan menjadi penopang biaya pembangunan negara. “Sekitar 70% itu berasal dari pajak yang kita bayarkan. Pada 2018, Ditjen Pajak ditargetkan mencapai penerimaan Rp1.424 triliun. Hingga hari ini (19/7), sudah mencapai sekitar 45% dari target tersebut,” ungkap Arif.
Dia menjelaskan, pajak berfungsi sebagai mengatur kebijakan pemerintah. Misalnya dengan terbitnya PP No 46 tahun 2013 yang sekarang diganti dengan PP 23/2018. Tujuannya adalah agar semakin banyak masyarakat yang menjadi kontributor atau pembayar pajak.
“Sebagaimana kita ketahui, jumlah UMKM kita sangat banyak, namun yang menjadi pembayar pajak masih sedikit. Oleh karena itulah diberikan insentif dengan menggunakan tarif final serta diberikan penurunan tarif yang semula satu persen menjadi setengah persen,” paparnya.
Arif mengemukakan untuk perhitungan pajak untuk usahawan seharusnya menggunakan standar akuntansi. “Pajak sebenarnya dikenakan atas laba bersih usaha. Dengan menggunakan akuntansi dan membuat laporan keuangan, akan jelas diketahui berapa modal, berapa biaya, dan berapa labanya. Namun, tidak semua pengusaha menggunakan akuntansi tersebut. Oleh karenanya, digunakanlah pencatatan omzet yang menjadi dasar untuk penghitungan pajak UMKM ini, tujuannya agar masyarakat lebih mudah menghitung pajaknya, cukup dikalikan dengan tarif setengah persen,” tuturnya.
Ketua AIKMA kota Bandung Nia Kurniasih mengatakan pihaknya mengapresiasi langkah Kanwil DJP Jawa Barat I yang memberikan kesempatan untuk memperoleh berbagai informasi perpajakan.
Nia menuturkan, beberapa informasi perpajakan yang diterima anggota AIKMA di antaranya terkait Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
“Selama ini kami menganggap bahwa semua orang wajib punya NPWP. Ternyata setelah diberikan penjelasan, kami baru mengetahui bahwa yang wajib punya NPWP itu bagi orang pribadi atau badan yang sudah punya penghasilan. Bisa saja statusnya masih mahasiswa, namun jika sudah punya penghasilan dari usaha, maka dia wajib ber-NPWP dan bayar pajak. Itulah salah satu informasi yang kami dapatkan pada akhirnya. Intinya ketika mengetahui sesuatu dan sesuatu itu tidak sulit, dan justru itu membantu dan bermanfaat, maka kita bisa turut andil dalam memberikan manfaat itu, salah satunya teman-teman AIKMA ini yang bisa menjadi pahlawan dalam pembangunan melalui pembayaran pajak,” jelasnya.
Acara dilanjutkan dengan paparan dan dialog PP 23 dengan menghadirkan narasumber penyuluh perpajakan Teguh Rahayu. "Melalui kegiatan ini, para peserta diharapkan dapat lebih memahami PP 23 yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2018 dan memanfaatkan fasilitas ini," tukas Teguh. (HP/*)
Dia mengatakan, pajak dalam fungsi penerimaan menjadi penopang biaya pembangunan negara. “Sekitar 70% itu berasal dari pajak yang kita bayarkan. Pada 2018, Ditjen Pajak ditargetkan mencapai penerimaan Rp1.424 triliun. Hingga hari ini (19/7), sudah mencapai sekitar 45% dari target tersebut,” ungkap Arif.
Dia menjelaskan, pajak berfungsi sebagai mengatur kebijakan pemerintah. Misalnya dengan terbitnya PP No 46 tahun 2013 yang sekarang diganti dengan PP 23/2018. Tujuannya adalah agar semakin banyak masyarakat yang menjadi kontributor atau pembayar pajak.
“Sebagaimana kita ketahui, jumlah UMKM kita sangat banyak, namun yang menjadi pembayar pajak masih sedikit. Oleh karena itulah diberikan insentif dengan menggunakan tarif final serta diberikan penurunan tarif yang semula satu persen menjadi setengah persen,” paparnya.
Arif mengemukakan untuk perhitungan pajak untuk usahawan seharusnya menggunakan standar akuntansi. “Pajak sebenarnya dikenakan atas laba bersih usaha. Dengan menggunakan akuntansi dan membuat laporan keuangan, akan jelas diketahui berapa modal, berapa biaya, dan berapa labanya. Namun, tidak semua pengusaha menggunakan akuntansi tersebut. Oleh karenanya, digunakanlah pencatatan omzet yang menjadi dasar untuk penghitungan pajak UMKM ini, tujuannya agar masyarakat lebih mudah menghitung pajaknya, cukup dikalikan dengan tarif setengah persen,” tuturnya.
Ketua AIKMA kota Bandung Nia Kurniasih mengatakan pihaknya mengapresiasi langkah Kanwil DJP Jawa Barat I yang memberikan kesempatan untuk memperoleh berbagai informasi perpajakan.
Nia menuturkan, beberapa informasi perpajakan yang diterima anggota AIKMA di antaranya terkait Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
“Selama ini kami menganggap bahwa semua orang wajib punya NPWP. Ternyata setelah diberikan penjelasan, kami baru mengetahui bahwa yang wajib punya NPWP itu bagi orang pribadi atau badan yang sudah punya penghasilan. Bisa saja statusnya masih mahasiswa, namun jika sudah punya penghasilan dari usaha, maka dia wajib ber-NPWP dan bayar pajak. Itulah salah satu informasi yang kami dapatkan pada akhirnya. Intinya ketika mengetahui sesuatu dan sesuatu itu tidak sulit, dan justru itu membantu dan bermanfaat, maka kita bisa turut andil dalam memberikan manfaat itu, salah satunya teman-teman AIKMA ini yang bisa menjadi pahlawan dalam pembangunan melalui pembayaran pajak,” jelasnya.
Acara dilanjutkan dengan paparan dan dialog PP 23 dengan menghadirkan narasumber penyuluh perpajakan Teguh Rahayu. "Melalui kegiatan ini, para peserta diharapkan dapat lebih memahami PP 23 yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2018 dan memanfaatkan fasilitas ini," tukas Teguh. (HP/*)
Sumber: pajak.go.id
Post a Comment