Menjadi Abirama Lewat Tari Buntala Murka (Foto: Paruhum A.S. Hutauruk/Intax) |
Pradirwan - Jarum jam sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi (17/12). Delapan penari dari Sanggar Tari Sakatalu Dancer Cimahi memasuki Aula Barat Gedung Sate, Jl. Diponegoro No. 22 Bandung.
Dengan percaya diri mereka menunjukkan kemampuannya menari “Buntala Murka” di hadapan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Wakil Gubernur Uu Ruzhanul Ulum, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo, Anggota Komisi XI DPR RI, dan sejumlah pejabat lainnya. Tampak hadir juga beragam wajah familiar di antaranya Aa Gym (Abdullah Gymnastiar), Umuch Muchtar, dan Fathur.
Dari pengeras suara, pemandu acara Aditya Wibisono menjelaskan tarian yang dibawakan ‘anak asuh’ Ares Rudhiansyah itu.
Tarian tersebut menggambarkan keserakahan manusia yang tidak bersyukur atas anugerah Tuhan dan menimbulkan kerusakan alam serta bencana yang menorehkan luka dan nestapa. “Pada saat itulah disadari bahwa ternyata bencana tersebut adalah karena ulah manusia itu sendiri,” ungkap Kepala Seksi Pengawasan KPP Pratama Bandung Bojonagara itu.
Bangsa Indonesia tentu saja tak ingin kerusakan itu terjadi. Alih-alih menjadikan sumber daya alam sebagai sumber penerimaan negara, Pemerintah menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan terbesar dalam APBN. Hal ini karena sifat sumber daya alam itu sendiri yang akan habis jika diekpsloitasi terus menerus. Tentu saja hal ini berbeda dengan pajak. Melalui pajak, masyarakat dapat bergotong-royong membangun negerinya.
Saat ini masih ada yang beranggapan pungutan pajak merupakan kewajiban warga negara semata. Perspektif seperti ini sudah tidak relevan dan perlu disempurnakan karena sejatinya pajak ialah representasi hak politik, tanggung jawab, dan kepedulian sosial warga negara.
Pajak merupakan implementasi nilai luhur bangsa Indonesia, yakni kegotongroyongan masyarakat di satu sisi sekaligus instrumen negara dalam menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di sisi lain.
Terlihat jelas bentuk kegotong-royongan antarwarga. Secara politik kebangsaan, kesadaran membayar pajak dimaknai sebagai bentuk komitmen semua elemen bangsa dalam memberikan dukungan politik ekonomi guna memastikan negara berdaulat secara politik, budaya, dan ekonomi. Dari aspek spiritual, pendistribusian pajak dalam bentuk pemerataan hasil-hasil pembangunan juga mencerminkan kepedulian sosial dari masyarakat mampu ke yang kurang mampu dalam mewujudkan persatuan Indonesia.
Dalam teori ekonomi, pajak sebagai peralihan sumber daya ekonomi dari sektor privat ke sektor publik. Artinya, pajak berfungsi sebagai alat distribusi pendapatan dari sumber daya ekonomi yang kuat ke kelompok masyarakat ekonomi lemah. Maka itu, negara diminta menyediakan regulasi yang dapat melahirkan ketertiban dalam pungutan pajak.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah dan DPR telah mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 29 Oktober 2021.
Pengesahan UU HPP ini telah membawa dampak yang cukup besar terhadap aturan pajak yang telah berlaku di Indonesia. Di antaranya beberapa ketentuan pada KUP, PPh, dan PPN, serta terdapat pengenaan pajak baru yakni Pajak Karbon.
Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu memberikan informasi dan pemahaman terkait perubahan ketentuan perpajakan tersebut sekaligus terkait Program Pengungkapan Sukarela dan Pajak Karbon kepada para wajib pajak prominen di seluruh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP).
Niatan ini disambut baik Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum mengatakan bahwa komunikasi memang sangat penting. Apalagi komunikasi di antara pejabat dan juga komunikasi antara pemimpin dan rakyatnya.
“Sehebat apapun kebijakan pemerintah kalau tidak terkomunikasikan dengan rakyatnya, bisa berdampak negatif, kadang-kadang bisa jadi fitnah,” ungkap Wagub Jabar dalam sambutannya di acara Sosialisasi UU HPP di Gedung Sate, Jawa Barat (Jumat, 17/12).
Uu menilai, kegiatan ini sangat penting untuk membangun informasi, komunikasi, dan silaturahmi. “Apalagi sekarang hari ini Jumat. Jumat barokah. Kami yakin bernilai ibadah karena kegiatan ini bukan untuk pribadi tetapi untuk rakyat, untuk bangsa, untuk ummat, yang merupakan tanggung jawab kita semua sebagai aparat, yakin akan mendapatkan pahala atas kegiatan hari ini. Mudah-mudahan itu yang kita harapkan,” ungkapnya.
Terkait UU HPP, Uu Ruzhanul Ulum mengatakan undang-undang tersebut memiliki keberpihakan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Oleh sebab itu, UMKM Jawa Barat siap menerima dan melaksanakan kebijakan UU HPP. “Ada 7 juta UMKM di Jawa Barat yang siap menerima dan melaksanakan keputusan pemerintah tentang kebijakan pajak ini,” ujarnya.
Pria yang akrab disapa Pak Uu ini juga menuturkan, beberapa bulan terakhir geliat UMKM di Jawa Barat mulai tumbuh kembali. “UMKM adalah penyangga ekonomi yang tangguh, ekonomi yang kuat bagaikan karang di laut, terhempas badai tetap kokoh berdiri, karena memang akarnya kuat. Begitu pun UMKM di Jawa Barat, krisis demi krisis kita lalui, tetap UMKM tangguh,” tandasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa dalam reformasi pajak, pemerintah mendesain kebijakan pajak yang adil, netral, fleksibel, dan berasas gotong royong.
Melalui UU HPP, kewajiban pajak yang harus dibayarkan semakin disesuaikan dengan kemampuan bayar (ability to pay) masing-masing Wajib Pajak.
Bahkan, untuk UMKM Orang Pribadi sekarang disediakan fasilitas batasan peredaran bruto yang tidak dikenai pajak sampai dengan Rp500 juta.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan menambahkan bahwa salah satu tujuan reformasi pajak adalah penyehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). "APBN yang sehat diharapkan bisa mengatasi dan menjadi solusi bagi permasalahan masyarakat miskin maupun yang tidak," kata Fathan.
Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo dalam laporannya menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak terutama Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Komisi XI DPR-RI, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), serta para wajib pajak prominen di wilayah kerja Kanwil DJP Jawa Barat I, II, dan III atas terselenggaranya acara tersebut.
"UU HPP adalah tonggak reformasi pajak yang bertujuan untuk menciptakan pajak yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel. Oleh sebab itu, dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan," ungkap Suryo.
Acara yang dikemas dalam bentuk diskusi panel ini menghadirkan narasumber Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Drs. Fathan dengan moderator Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo. (HP)
Penulis: Herry Prapto
Editor: Ganesya Ekasari Candra Purnama
Artikel ini dibuat untuk dan telah dimuat di Majalah Internal DJP Intax edisi 1/2022.
Post a Comment