Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) |
Sepengetahuanku, yang namanya korupsi akan terus ada sepanjang kehidupan manusia. Upaya untuk memberantasnya, lantas mencatatkan sejarah panjang seiring dengan sejarah kehidupan itu sendiri. Pemberantasan korupsi di Indonesia menorehkan catatan yang sedikit suram. Setidaknya Indonesia pernah memiliki delapan komisi dan lembaga antikorupsi pendahulu Komisi Pemberantasan Korupsi yang ternyata dibubarkan. Delapan komisi dan lembaga antikorupsi yang menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut adalah:
- Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran), dibentuk dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya. Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
- Operasi Budhi. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi. Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
- Tim Pemberantasan Korupsi. Tim ini dibentuk tahun 1967 melalui Keppres No.228/197 tanggal 2 Desember 1967 yang bertugas membantu pemerintah memberantas korupsi (pencegahan dan penindakan) yang diketuai Jaksa Agung.Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat (Komisi Empat).
- Komisi Empat (Januari-Mei 1970). Dibentuk melalui Keppres No. 12/1970 tanggal 31 Januari 1970 yang bertugas menghubungi pejabat atau instansi, swasta sipili atau militer, memeriksa dokumen administrasi pemerintah dan swasta, meminta bantuan aparatur pusat dan daerah. beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain. Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Selain Komisi Empat, Keppres yang sama juga membentuk Komite Anti Korupsi yang masa kerjanya hanya 2 bulan dengan tugas mengadakan kegiatan diskusi dengan pemimpin partai politik dan bertemu presiden.
- Operasi Penertiban (1977-1981). Dibentuk melalui Inpres No. 9/1977 dengan tugas pembersihan pungutan liar, penertiban uang siluman, penertiban aparat pemda dan departemen. Adalah Laksamana Sudomo yang diangkat sebagai Pangkopkamtib. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
- Tim Pemberantas Korupsi (1982). Tim Pemberantas Korupsi ini dihidupkan kembali tanpa dikeluarkannya Keppres baru.
- Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (1999). Dibentuk melalui Keppres No. 27/1999 dengan tugas melakukan pemeriksaan kekayaan pejabat negara. Lembaga ini kemudian menjadi subbagian pencegahan dalam Komisi Pemberantasan Korupsi.
- Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2000-2001). Dibentuk melalui PP 19/2000 dengan tugas mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang sulit ditangani Kejaksaan Agung. Berdasarkan putusan hak uji materiil (judicial review) Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999.
(Dikutip dari buku "Menyalakan Lilin Di Tengah
Kegelapan" (Jakarta: KPK, 2004), Halaman 5)
Gagasan pembentukan KPK sebenarnya diawali oleh TAP MPR No. 11 Tahun 1998 tentang Pemerintahan yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Menindaklanjuti amanat itu, DPR dan pemerintah kemudian membuat UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Ketika pembahasan UU itulah, muncul gagasan dari beberapa orang Fraksi PPP seperti Zein Badjeber, Ali Marwan Hanan dkk. Mereka mengusulkan untuk menambah bab tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.”Yang saya ingat usulan itu bukan ketikan komputer, tetapi manual,” kenang Ketua KPK Taufiequrachman Ruki. Mereka ingin agar ini dijadikan bab tersendiri, merupakan bagian dari RUU tersebut.Tapi usulan itu ditolak Fraksi ABRI. “Argumentasi saya, adalah tidak logis menambah bab dalam RUU. Kalau penambahan satu pasal atau ayat biasa. Kedua, dilihat dari usulannya, penambahan bab ini belum dikaji secara yuridis maupun semantik,” tutur Ruki yang ketika itu adalah juru bicara Fraksi ABRI. Menurut Ruki, untuk membangun sebuah lembaga atau komisi yang diberikewenangan sebesar itu, tidak bisa dirancang dengan pemikiran sesaat. Harus dilakukan pengkajian yang betul dengan segala aspeknya. Karena itu, Fraksi ABRI terpaksa menolak penambahan satu bab ini. Tapi soal pembentukan KPK,mereka setuju.Karena itu, kemudian disepakati amanat pembentukan KPK akan dimuat dalam aturan peralihan UU No. 31 tahun 1999. Akhirnya, aturan peralihan UU No. 31 tahun 1999 mengamanatkan agar paling lambat 2 tahun setelah UU itu disahkan, KPK sudah dibentuk.Catatan tambahan di luar buku "Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan".Menurut kesaksian Zain Badjeber, konsep dari Fraksi PPP menginginkan agar seluruh penanganan perkara korupsi dialihkan ke KPK, namun fraksi lain tidak setuju. "Agar barang itu (KPK) cepat jadi, akhirnya PPP mengalah, sehingga kepolisian dan kejaksaan juga berwenang menangani korupsi", katanya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri resmi dibentuk pada Desember 2003 berdasarkan UU No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa KPK dibentuk karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Visi
Mewujudkan Lembaga yang Mampu Mewujudkan Indonesia yang
Bebas dari Korupsi
Misi
Pendobrak dan Pendorong Indonesia yang Bebas dari Korupsi
Menjadi Pemimpin dan Penggerak Perubahan untuk Mewujudkan
Indonesia yang Bebas dari Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
- Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
- Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
- Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang :
- Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
- Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
- Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
- Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Dasar hukum KPK
- UU RI nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Kepres RI No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- PP RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN
- UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- UU RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Peraturan Pemerintah
- PP RI No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- PP RI No. 109 Tahun 109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
No
|
Nama
|
Mulai Jabatan
|
Akhir Jabatan
|
1
|
Taufiequrachman Ruki
|
2003
|
2007
|
2
|
Antasari Azhar
|
2007
|
2009
|
3
|
Tumpak Hatorangan Panggabean (Pelaksana Tugas)
|
2009
|
2010
|
4
|
Busyro Muqoddas
|
2010
|
2011
|
5
|
Abraham Samad
|
2011
|
2015
|
Itulah sedikit penggalan cerita dibalik latar belakang dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semoga bermanfaat.
sumber:
http://id.wikipedia.org; http://jurnalitas.blogspot.com; http://www.katailmu.com
Post a Comment