Taman Lansia Bandung |
Kami menelusuri jalanan Taman Lansia yang baru dipugar sehingga tampak masih mulus itu sambil menikmati segarnya udara Bandung di bawah rimbunnya pepohonan. Tampak disamping kanan kiri jalan, kumpulan pemuda sambil membawa kamera, sedang asyik mengabadikan setiap sudut Taman Lansia. Tak ketinggalan, beberapa keluarga membawa serta buah hatinya bermain-main di area taman.
Santai sejenak di Taman Lansia Bandung |
Pose, Taman Lansia Bandung |
Pemandangan selanjutnya yang menjadi fokus kami adalah ketika kutemui seorang kakek yang menjual pisau. Usianya ku taksir mungkin lebih dari 80 tahun. Seketika hatiku iba melihatnya. Aku seperti melihat mendiang kakek buyutku yang telah bertahun-tahun lalu tiada.
Kakek pedagan pisau di Taman Lansia Bandung |
Aku langsung menyuruh istriku untuk membeli pisau tersebut meskipun pada awalnya kami tak berniat belanja pisau. Dalam benakku, sungguh kasihan melihat kakek ini. Kenapa tega membiarkan kakek yang sudah renta ini masih mencari nafkah? Aku mencoba mencari tahu, mempertanyakan dimana keluarganya, namun sayang sepertinya sang kakek enggan bercerita. Beliau hanya terus berusaha menawarkan dagangannya kepada istriku.
“yang ini empat ribu, kalau yang ada gergajinya (diatas pisau itu ada gerigi yang tajam) lima ribu, gergajinya di jamin bisa buat motong” ujarnya.
“pisau ini saja kek” jawab istriku sambil menyerahkan uang pembayarannya.
Kakek itu pun lalu membungkus pisau yang telah dipilih istriku itu dengan potongan kertas koran lantas diserahkannya pada istriku. Lalu, sang kakek membuka dua kancing atas kemejanya, tampaklah kaos putih polos yang telah lusuh itu dan ada resletingnya. Dibukanya resleting di kaos itu dan ternyata disitulah tempatnya menyimpan uang hasil penjualan pisaunya, bukan di saku, di dompet ataupun di tas pinggang kecil, seperti yang biasa aku lihat pada tukang sayur langganan istriku.
Perjalanan kami lanjutkan. Didepan kami tampak seorang tukang tahu gejrot sedang melayani seorang pembeli. Aku membayangkan rasa tahu gejrot itu lezat sekali. Aku “kabita” dan setelah mendekat aku langsung pesan, “dua porsi kang” sambil duduk di kursi silinder yang memang disediakan di taman tersebut.
Kang Ono, tukang tahu gejrot khas cirebon |
Sambil menunggu, iseng-iseng aku tanya-tanya (KEPO) ke tukang tahu gejrot itu. Aku suka bertanya pada orang yang kebetulan sama-sama satu daerah asal denganku, Cirebon. Sama-sama perantau lagi.
Sebut saja namanya Kang Ono. Usianya sekitar 35-45 tahun. Perawakannya sedang, tinggi sekitar 150-160 cm. Sudah menikah dan mempunyai 3 orang anak, yang bungsu kembar dan yang sulung saat ini usianya 7 tahun. Dia sudah ke Bandung sejak tahun 2002.
“asli mana kang?” tanyaku
“Cirebon, pak?” jawabnya
“Iya ya, tulisannya saja “tahu gejrot khas Cirebon”, yang jual masa bukan orang asli Cirebon?” aku bingung sendiri dengan jawaban tukang tahu gejrot itu. “Maksudku Cirebonnya dimana?”
“Dari Ciledug Pak?” jawabnya
“Ciledug?” Aku pernah dengar daerah ini, tapi dimana ya?
“Ya, pernah tahu Charlie ST12 ga?, dia dari Ciledug juga, hanya saja beda desa dengan saya, Charlie mah desa Pabedilan, saya mah dari desa Ciledug, satu kecamatan saja” dia menjelaskan sambil memberikan pesanan kami yang sudah jadi.
Sambil makan tahu gejrot, obrolan kami terus berlanjut. Kang Ono bercerita bahwa hampir seluruh warga Ciledug berjualan tahu gejrot. Mereka tersebar “wilayah kerjanya”, kebetulan saja kang Ono di wilayah Taman Lansia ini, walaupun dia tinggal di daerah sekitar Paskal Hyper Square, Bandung dan harus memikul dagangannya dengan jalan kaki.
Masing-masing tukang tahu gejrot mempunyai bos. Satu bos membawahi rata-rata 20 anak buah. Bos Kang Ono ini yang menyediakan tahu khusus buat tahu gejrot, sedangkan bumbunya yang terdiri dari cabe rawit (cengek), bawang merah, bawang putih, gula merah, garam, dan “air gejrot” dibuat sendiri oleh kang Ono. Tiap hari dia dijatah 50 porsi tahu gejrot, kecuali week end, jatahnya ditambah menjadi 80 porsi. Setelah selesai berjualan, dia langsung setor ke bosnya untuk jatah tahu yang dia dapat, hari ini setor 100 ribu, sedangkan buat beli bumbunya juga 100 ribu. “Cabenya yang sekarang mahal pak” keluhnya.
Waktu ku tanya, “kenapa disebut tahu gejrot?” Dia bilang karena bahan utamanya tahu yang disiram “air gejrot”. Suara air yang keluar dari botolnya itu bunyinya jrot-jrot-jrot, jawabnya sambil tersenyum. “Air gejrot” ini sebenarnya terbuat dari kecap, asam jawa, garam, dan gula. Simple banget.
Tahu gejrot kang Ono ini asli rasanya khas dari Cirebon. Beberapa tahu gejrot yang ada di Wilayah Bandung dan Cimahi sudah pernah aku coba, namun tahu gejrot kang Ono-lah juaranya karena rasanya masih asli tahu gejrot khas Cirebon. Kalau yang lainnya sih rasanya tahu Sumedang atau tahu Garut.
Bahkan aku juga baru tahu nih, ternyata mereka juga memproduksi tahunya sendiri dan tahu itu diantar langsung dari Cirebon ke Bandung tiap hari. Makanya, rasanya masih terjaga asli khas Cirebon.
Lama ngobrol, habis juga tahu gejrotku. Dagangan kang Ono juga habis 80 porsi padahal masih pukul 11 siang. Aku membayar Rp. 12.000,- untuk dua porsi ini. Kalau dihitung lumayan juga penghasilan tukang tahu gejrot ini. Kang Ono Cuma bilang, “Syukur, Alhamdulillah” sambil memberi senyum khasnya...
Lalu aku dan kang Ono pun berpisah, melanjutkan perjalanannya masing-masing...
Itulah sekelumit "Kisah pedagang pisau dan tukang tahu gejrot di Taman Lansia Bandung". Semoga ada hikmahnya...
Post a Comment