Pradirwan - Seorang anak desa, dari keluarga sederhana. Bapaknya adalah seorang PNS yang mengajar di SD Inpres di desanya. Sewaktu masih SD, dia mantap bercita-cita menjadi seorang guru seperti bapaknya. Di pikirannya waktu itu, menjadi guru SD dan PNS itu merupakan pencapaian luar biasa di desanya. Ada anggapan, dengan menjadi guru dan PNS, otomatis dia akan menjadi tokoh masyarakat yang disegani, menjadi PNS adalah dambaan bagi setiap anak dan orang tua. Pun demikian harapan bapaknya, agar kelak anak sulungnya pun menjadi PNS seperti dirinya.
Menginjak masa SMP, wawasannya mulai terbuka. Bertemu dengan banyak kawan baru, dari berbagai latar belakang dan berbagai desa, membuatnya merasa bimbang menentukan pilihan hidupnya. Pertanyaan tentang cita-cita mulai ragu untuk dijawabnya. Terlebih, dia mulai mengerti tentang bagaimana sulitnya hidup dengan hanya mengandalkan gaji bulanan PNS guru SD kala itu yang pas-pasan, bahkan cenderung tidak mencukupi biaya hidup keluarga yang harus ditanggung bapaknya. Tak jarang, ia melihat orang tuanya kebingungan hanya untuk membeli lauk-pauk, untuk makan hari itu. Cita-cita sewaktu SD, mulai berangsur-angsur sirna.
Tibalah saat SMA. Saat-saat labil dengan pencarian jati diri yang tak jelas. Saat itu, dia sedang senang membaca biografi para penemu ternama semisal Albert Einstein, Wright bersaudara, Gregor Mendel, dan lain-lain, sehingga dibenaknya mulai muncul hasrat untuk menjadi seorang peneliti. Seorang ahli genetika.
Pertanyaan utama yang menyadarkan kembali kenangannya di kala SMP muncul kembali ketika suatu hari gurunya menanyakan “Kamu mau jadi apa kelak?”. Saat itu mulai penjurusan untuk masuk IPA, IPS atau Bahasa. “menjadi peneliti” jawabnya singkat.
Ketika pertanyaan gurunya tersebut dia konsultasikan kepada bapaknya, bapaknya langsung mantap menjawab, “kamu harus jadi PNS” sambil menjelaskan bahwa menjadi PNS itu, walaupun pas-pasan, namun tenang karena sulit diberhentikan dan di masa tuanya mendapatkan pensiun. Namun entah mengapa batinnya menolak semua yang dijelaskan bapaknya. Ada perasaan ragu, bahwa apa yang diceritakannya tidaklah seindah dan semulus itu.
“Tapi aku ingin jadi peneliti?” teriaknya dalam hati. Keinginannya mungkin akan sulit terwujud, namun tekadnya menjadi peneliti walau harus dengan modal sendiri, -seperti halnya para penemu dalam buku biografi yang menginspirasinya-, tetap menggebu. Tapi bagaimana dengan keinginan bapaknya?
Lalu dengan sisa keberaniannya waktu itu, dia bertanya pada bapaknya, “beri aku contoh, bahwa menjadi PNS itu tenang?” tanyanya. “Contoh nyata adalah Pak De-mu, yang usahanya harus gulung tikar gara-gara krisis moneter, padahal dulu ia diterima di angkatan laut, namun karena melihat usahanya waktu itu sedang pesat, maka ia tinggalkan panggilan angkatan laut itu”. Bapaknya menjawab. Pak De-nya dulu mempunyai perusahaan, yang penghasilannya bisa 10 kali lipat dari gaji TNI AL atau pun guru PNS, kini dia hanya menggantungkan hidupnya dari warung kelontongan.
Anak SMA itu tak bisa mengelak lagi. Dia mengangguk patuh. Bayangan masa depan seakan mulai nampak, menjadi seorang PNS. Walau tidak ikhlas, dia akan mencoba mewujudkan keinginan bapaknya. Hal pertama yang dia lakukan adalah dengan masuk IPA. Selain karena keinginan menjadi peneliti masih ada, itu pula yang menjadi keinginan bapaknya. Hal kedua adalah lulus dengan rata-rata NEM diatas 6,00 agar bisa masuk STAN dan menjadi PNS di Depkeu (Kemenkeu). Target yang cukup lumayan berat waktu itu.
Dengan sedikit keragu-raguan, lantas dia bertanya, “seandainya aku gagal masuk STAN, apakah bapak masih akan membiayai kuliah S1 di IPB?”. “Jika memang jalan hidupmu harus demikian, maka bapak akan tetap mendukungmu” jawab bapaknya.
Mulai saat itu, dia fokuskan pada perubahan diri. Dia tak ingin melihat orang tuanya kecewa. Dia juga tak mau menyerah begitu saja memupuskan cita-citanya menjadi peneliti. Biarlah takdir yang menentukan jalan hidupnya. Dia mulai mengalihkan diri dari pergaulan yang penuh dengan suasana ceria dan senang-senang khas anak SMA menjadi pribadi yang lebih serius belajar dan menatap masa depan. Dalam 24 jam waktunya, kegiatan yang hanya menghabiskan waktu sia-sia di coret dari jadwalnya. Dia bangkit. Tak boleh lagi hidup hanya diisi dengan hal-hal biasa.
Hingga tibalah saat kelulusan itu. Terdengar kabar, beberapa kawannya masuk IPB melalui jalur PMDK. Keinginannya menjadi peneliti, semakin menguat. Pergilah dia ke Bandung untuk mendaftar kuliah. Pada UMPTN, IPB menjadi pilihan pertama. Agar orang tuanya tak kecewa, dia juga mendaftar USM STAN di Balai Diklat Keuangan VII Cimahi.
Sambil menunggu saat pengumuman USM STAN atau UMPTN tiba, dia berlibur ke rumah om dan tantenya di Banten. Saat yang ditunggupun tiba. Pengumuman USM STAN diumumkan lebih dulu. Dia berharap agar dia tidak lulus di USM STAN, agar cita-citanya dapat terwujud. Lalu pergilah ia ke Cimahi, melihat pengumuman USM STAN. Tak dinyana, nomor pendaftaran, nama, spesialisasi dan waktu kuliahnya terpampang di salah satu sudut papan pengumuman. Dia diterima masuk STAN. Itu artinya dia harus merelakan cita-citanya pupus di tangan takdir. Perasaanya bercampur antara sedih dan bahagia.
Tak lama menatap papan pengumuman itu, lantas dia berjalan gontai mencari wartel untuk mengabari orang tuanya. Setelah tersambung, pekikan bahagia dan tangis haru orang tuanya membahana di ujung telepon. Sementara itu, dia pun mengeluarkan air mata kesedihan. Takdir telah menuntunnya menjadi seorang CPNS.
Dia pun pulang ke kampung halamannya disambut peluk dan cium hangat dari kedua orang tuanya. Selang beberapa hari, pengumuman UMPTN pun tiba. Dia masih tertidur, ketika bapaknya membawakan sebuah koran berisi pengumuman itu. Setelah membangunkan dari tidurnya, bapaknya lalu berkata, “selamat, kamu juga diterima di IPB, nak, bapak bangga sama kamu”.
Dan, pada akhirnya, dia bahagia menjadi PNS, walau itu bukan cita-citanya. Bukan saja karena menjadi PNS di instansi pengumpul 70% lebih dana APBN, yang terpenting baginya, karena dia berhasil membuat orang tuanya bahagia dan bangga kepadanya...
Note: artikel ini juga diterbitkan di birokreasi.com
Post a Comment