Pradirwan - Kisah inspiratif tentang Umar ini saya dapatkan di salah satu beranda FB teman saya. Dia share status seseorang bernama Fikri Fakih. Saya tertarik untuk mencatatnya di blog Pradirwan ini agar saya gampang membacanya dikemudian hari. Kisah ini tentang peran orang tua terhadap anaknya. Agar ga penasaran, langsung saja begini ceritanya...
Minggu lalu saya kembali Jum’atan di Graha CIMB Niaga Jalan Sudirman setelah lama sekali nggak sholat Jum’at di situ. Sehabis meeting dengan salah satu calon investor di lantai 27, saya buru-buru turun ke masjid karena takut terlambat, dan bener saja sampai di masjid adzan sudah berkumandang.
Karena terlambat saya jadi tidak tau siapa nama Khotibnya saat itu. Sambil mendengarkan khotbah saya melihat Sang Khotib dari layar lebar yang di pasang di luar ruangan utama masjid. Khotibnya masih muda, tampan, berjenggot namun penampilannya bersih. Dari wajahnya saya melihat aura kecerdasan. Tutur katanya lembut namun tegas. Dari penampilannya yang menarik tersebut, saya jadi penasaran, apa kira-kira isi khotbahnya?
Ternyata betul dugaan saya!!! Isi ceramah dan cara menyampaikannya membuat jamaah larut dalam keharuan. Banyak yang mengucurkan air mata (termasuk saya). Bahkan ada yg sampai tersedu-sedan. Weleh-weleh. Sampai segitunya ya? Lalu apa sih isi ceramahnya? Koq kayaknya amazing bingitzz.
Dengan gaya yang menarik Sang Khotib menceritakan “true story”. Seorang anak berumur 10 tahun, namanya Umar. Dia anak pengusaha sukses yang kaya raya. Oleh ayahnya si Umar disekolahkan di SD Internasional paling bergengsi di Jakarta. Tentu bisa ditebak, bayarannya sangat mahal, tapi bagi si pengusaha, tentu bukan masalah. Wong uangnya berlimpah. Si ayah berfikir kalau anaknya harus mendapat bekal pendidikan terbaik di semua jenjang agar anaknya kelak menjadi orang yang sukses mengikuti jejaknya.
Suatu hari isterinya kasih tau kalau Sabtu depan si ayah diundang menghadiri acara “Father’s Day” di sekolah Umar. “Waduuuh saya sibuk ma...kamu aja deh yang datang..” begitu ucap si ayah kepada isterinya. Bagi dia acara beginian sangat nggak penting dibandingkan dengan urusan bisnis besarnya.
Tapi kali ini isterinya marah dan mengancam, sebab sudah kesekian kalinya si ayah nggak pernah mau datang ke acara anaknya. Dia malu karena anaknya selalu didampingi ibunya, sedang anak-anak yang lain selalu didampingi ayahnya.
Nah, karena diancam isterinya akhirnya si ayah mau hadir meski agak ogah-ogahan. Father’s day adalah acara yang dikemas khusus dimana anak-anak saling unjuk kemampuan di depan ayah-ayahnya. Karena ayah si Umar ogah-ogahan maka dia memilih duduk di kursi paling belakang. Sementara para ayah yang lain (terutama yang muda-muda) berebut duduk di depan agar bisa menyemangati anak-anaknya yang akan tampil di panggung.
Satu-persatu anak-anak menampilkan bakat dan kebolehannya masing-masing. Ada yang menyanyi, menari, membaca puisi, pantomim, ada pula yang pamerkan lukisannya, dan lain-lain. Semua mendapat applause yang gegap gempita dari ayah-ayah mereka. Tibalah giliran si Umar dipanggil gurunya untuk menampilkan kebolehannya..
“Miss, bolehkah saya panggil pak Arief..” tanya si Umar kepada gurunya.
Pak Arief adalah guru mengaji untuk kegiatan ekstrakurikuler di sekolah itu.
”Oh boleh..” begitu jawab gurunya, dan pak Arief pun dipanggil ke panggung.
“Pak Arief, bolehkah bapak membuka Kitab Suci Al Qur’an Surat 78 (An-Naba’)” begitu Umar minta kepada guru ngajinya. ”Tentu saja boleh nak..” jawab pak Arief.. “Tolong bapak perhatikan apakah bacaan saya ada yg salah..” lalu si Umar mulai melantunkan QS An-Naba’ tanpa membaca mushafnya (hapalan) dengan lantunan irama yg persis seperti bacaan “Syaikh Sudais” (Imam Besar Masjidil Haram)
Semua hadirin diam terpaku mendengarkan bacaansi Umar yang mendayu-dayu termasuk ayah si Umar yang duduk dibelakang.
”Stop, kamu telah selesai membaca ayat 1 s/d 5 dengan sempurna. Sekarang coba kamu baca ayat 9!” begitu kata pak Arief yang tiba-tiba memotong bacaan Umar. Lalu Umar pun membaca ayat 9. ”Stop, coba sekarang baca ayat 21, lalu ayat 33!” setelah usai Umar membacanya, lalu kata pak Arief “Sekarang kamu baca ayat 40 (ayat terakhir)!”. Si Umar pun membaca ayat ke 40 tersebut sampai selesai.
“Subhanallah…kamu hafal Surat An-Naba’ dengan sempurna nak…” begitu teriak pak Arief sambil mengucurkan air matanya. Para hadirin yang muslim pun tak kuasa menahan air matanya. Lalu pak Arief bertanya kepada Umar ”Kenapa kamu memilih menghafal Al-Qur’an dan membacakannya di acara ini nak, sementara teman-temanmu unjuk kebolehan yg lain?” begitu tanya pak Arief penasaran.
"Begini pak guru, waktu saya malas mengaji dalam mengikuti pelajaran bapak, bapak menegur saya sambil menyampaikan sabda Rasulullah SAW, ”Siapa yang membaca Al Qur’an, mempelajarinya, dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat. Cahayanya seperti cahaya matahari dan kedua orang tuanya dipakaiakan dua jubah (kemuliaan) yang tidak pernah didapatkan di dunia. Keduanya bertanya, “Mengapa kami dipakaikan jubah ini?” Dijawab,”Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al Qur’an.” (H.R. Al-Hakim).
“Pak guru, saya ingin mempersembahkan “Jubah Kemuliaan” kepada ibu dan ayah saya di hadapan Allah di akherat kelak sebagai seorang anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya”.
Semua orang terkesiap dan tidak bisa membendung air matanya mendengar ucapan anak berumur 10 tahun tersebut. Ditengah suasana hening tersebut, tiba2 terdengan teriakan “Allahu Akbar!!!” dari seseorang yang lari dari belakang menuju ke panggung.
Ternyata dia ayah si Umar, yang dengan tergopoh-gopoh langsung menubruk sang anak, bersimpuh sambil memeluk kaki anaknya. ”Ampuun nak, maafkan ayah yang selama ini tidak pernah memperhatikanmu, tidak pernah mendidikmu dengan ilmu agama, apalagi mengajarimu mengaji” ucap sang ayah sambil menangis di kaki anaknya.
"Ayah menginginkan agar kamu sukses di dunia nak, ternyata kamu malah memikirkan “kemuliaan ayah” di akherat kelak, ayah malu nak" ujar sang ayah sambil nangis tersedu-sedu. Subhanallah...
Sampai disini, saya melihat di layar Sang Khotib mengusap air matanya yang mulai jatuh. Semua jama’ah pun terpana dan juga mulai meneteskan airmatanya, termasuk saya. Diantara jama’ah pun bahkan ada yang tidak bisa menyembunyikan suara isak tangisnya, luar biasa haru.
Entah apa yang ada dibenak jama’ah yang menangis itu. Mungkin ada yang merasa berdosa karena menelantarkan anaknya. Mungkin merasa bersalah karena lalai mengajarkan agama kepada anaknya. Mungkin menyesal karena tidak mengajari anaknya mengaji, atau merasa berdosa karena malas membaca Al-Qur’an yang hanya tergeletak di rak bukunya, dan semua..dengan alasan sibuk urusan dunia…!!!
Saya sendiri menangis karena merasa lalai dengan urusan akherat dan lebih sibuk dengan urusan dunia. Padahal saya tau kalau kehidupan akherat jauh lebih baik dan kekal dari pada kehidupan dunia yang remeh-temeh, sendau gurau, dan sangat singkat ini. Seperti firman Allah SWT dalam Q.S. Al-An'Amayat 32: ”Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”
Astagfirullahal ghofururrohim. Hamba mohon ampunan kepada Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang…
Wallahu ‘alam bissawab.. Semoga bermanfaat..khususnya buat saya pribadi…
Salam,
NHA / Nur Hasan Ahmad
Demikian cerita tentang si Umar, semoga bermanfaat...
Terimakasih postingannya..
ReplyDeleteMenyentuh sekali... Mengingatkan bahwa saya sendiri seringkali masih terseret kesibukan akan urusan dunia dan melupakan akhirat..
Alhamdulillah... silakan disebarkan.... mudah-mudahan banyak memberi manfaat kepada yang lainnya... terima kasih telah memberikan komentarnya...
Deletesalam