BREAKING NEWS

Sebuah cerita sebelum resmi pindah

Pradirwan - Sebuah catatan sederhana untuk atasan saya, bapak Casmana Disastra. 

Foto bersama sesaat sebelum buka puasa
Sudah beberapa bulan lalu, ketika suatu sore di perjalanan pulang kantor, atasan saya bercerita bahwa dia merindukan saat kebersamaan bersama keluarganya. Saya memang terbiasa berangkat dan pulang bersamanya, berboncengan menggunakan sepeda motor dengan rute tetap dari dan ke Kantor - perempatan Pasteur.


"Sudah hampir 4 tahun, setiap hari saya harus menyusuri tol Karawang Barat sampai dengan Pasteur ini, kapankah saya bisa bekerja dekat dengan rumah?", ujarnya mulai bercerita.

Keluh kesahnya semakin menjadi ketika jam kantor mulai bertambah dua jam, dari sebelumnya pukul 17.00 kini menjadi pukul 19.00.

"Saya berangkat kantor ketika matahari belum sempurna menampakkan sinarnya, dan pulang kembali ke rumah ketika matahari sudah berganti menjadi bulan", ungkapnya. Saya hanya berusaha menjadi pendengar yang baik. Menampung keluhannya.

"Tenang pak, Tuhan maha adil, insyaallah suatu saat bapak bisa berangkat ketika matahari sudah nampak, dan pulang juga matahari belum berganti bulan", saya mencoba memotivasi.

Memang harus saya akui, kecintaannya pada institusi ini dan tempatnya bekerja, levelnya jauh diatas saya. Saya yang berjarak sekira 15 km saja masih sering mengeluh, bahkan jarang sekali bersyukur. Padahal baru sekali ini tempat tinggal dan kantor tempat saya bekerja berjarak lumayan jauh.

Berkerja di institusi ini memang sudah tanda tangan kontrak, siap ditempatkan dimana saja diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, seiring dengan dinamika kehidupan, terkadang saya dan pegawai yang lain pernah terpikir seperti yang atasan saya keluhkan diatas. Bekerja dekat dengan rumah agar bisa dekat dengan keluarga. Apalagi sudah bertahun-tahun jauh dari homebase.

Kedekatan saya dengan atasan saya ini mengalir begitu saja. Perkenalan saya dengannya terbilang cukup unik. Begitulah yang saya rasakan.

Layaknya pegawai baru, biasanya ditempatkan oleh atasan dengan mengetahui dulu meja kerjanya, baru memperoleh penugasan. Namun sepertinya kali ini tidak untuk saya. Saya memperoleh penugasan pertama tanpa mengetahui meja kerja saya dimana.

Berbekal penugasan tersebut, hampir tiga minggu lamanya saya menempati sebuah ruangan khusus, terpisah dengan seksi saya. Hingga tugas itupun selesai saya tunaikan.

Lantas, saya mulai mencari dimana meja kerja saya, tak dapat saya temukan. Saya ciptakan sendiri meja kerja saya, dengan keadaan seadanya.

Waktu pun berlalu. Keadaan berubah. Satu per satu rekan saya mulai pindah, mutasi ke tempat yang baru. Kondisi ruangan juga mulai berubah. Sekarang saya menjadi yang paling senior di ruangan saya setelah atasan saya. Hubungan saya dan atasan saya mulai semakin dekat. Bahkan kami sudah saling menganggap sebagai keluarga sendiri. Hingga terkadang masalah pribadi pun biasa kami ceritakan dan carikan solusinya bersama.

Tak terasa kebersamaan kami menginjak Ramadhan tahun ke empat. Seperti halnya tahun sebelumnya, kami melakukan buka puasa bersama. Namun Ramadhan tahun ini berbeda, karena kali ini SK mutasi telah terbit. Atasan saya akhirnya mutasi juga ke kantor yang baru, dan bersyukur sekali karena pindahnya dekat dengan keluarganya. Impiannya untuk bekerja dekat rumah telah menjadi nyata.

Saya dan rekan-rekan juga senang dengan mutasi kali ini. Kami tahu, untuk pencapaian ini, begitu banyak pengorbanan yang telah diberikan. Butuh waktu lebih dari 15 tahun agar bisa dekat dengan rumah. Harus melewati sekian kantor terlebih dahulu untuk bisa seperti sekarang. Malah ada yang sampai menjelang pensiun baru bisa ditempatkan di homebase. Setidaknya itulah alasan kenapa atasan saya sangat bersyukur dan sumringah saat buka puasa beberapa hari yang lalu.

Di sela-sela kegembiraan itu, terlintas rasa kehilangan yang mendalam. Terlalu banyak cerita sebelum atasan saya resmi pindah.

Momen perpisahan
Besok tak kan lagi saya menunggu seseorang di bawah jembatan pasopati atau di depan hotel Vio Pasteur, yang terkadang mengeluh ketika travelnya datang terlambat, menyupirnya pelan, atau karena macetnya jalan sehingga menyebabkan absen terlambat. Atau sekedar menanyakan posisi saya ketika suatu saat saya yang harus terlambat datang, lantas segera menelpon, sms bahkan whatshapp. Atau terkadang saya yang menanyakan posisinya setelah lama menunggu tak kunjung tiba, lantas dengan kalem di jawab singkat, "ndak usah jemput".

Pun begitu ketika waktu pulang, buru-buru menuju perempatan Pasteur demi mengejar travel, atau ketika travel langganan tak menyediakan tiket untuknya, harus menggunakan omprengan sampai km 125, lantas harus naik bus dari sana, hanya agar dapat bertemu anak semata wayangnya.

Ketika suatu waktu harus menyelesaikan tugas hingga lewat jam 19.30, perjalanan pulang pun semakin sulit, maka menginap satu-satunya pilihan. Dan saya beruntung, beliau bersedia menginap di gubuk saya. Lantas anaknya menelpon untuk membahas PR yang didapatnya dari sekolah.

Ah... Banyak sekali kenangan itu..
Akankah mudah saya lupakan?
Entahlah...

Bandung, 26 Juni 2015

Note: artikel ini juga di terbitkan di birokreasi.com

Share this:

Post a Comment

 
Copyright © 2021 Pradirwan and OddThemes