Pradirwan ~ Musim pulang kampung nasional itu, mudik, telah lewat. Ia membuktikan kemajuan teknologi informasi nyatanya tak mampu menggantikan segala hal. Kita tetap melihat para perantau berbondong-bondong pulang ke kampung halaman, hanya untuk berkumpul dengan keluarga besar saat Idul Fitri tiba. Mereka telah bersiap jauh-jauh hari sebelumnya, berdesak-desakan agar tak kehabisan tiket, atau bermacet-macet sepanjang jalur pantura.
Di jalan-jalan lintas yang biasanya lowong, kemacetan tiba-tiba merangsek dari segala penjuru. Tidak hanya karena jumlah pengendara, kemacetan justru lebih sering karena segelintir oknum tak mau mematuhi aturan lalu lintas. Berhenti seenaknya, menyerobot jalur, dan banyak lagi. Merekalah yang bertanggung jawab atas banyak kecelakaan yang terjadi.
Baca juga: Kita Di Sini, Mei
Kalau dipikir-pikir, hidup di dunia ini tak ubahnya berkendara di jalan raya. Namanya berkendara, tentu ada kendaraan, jalan, dan tujuan. Tubuh kita menjadi kendaraan bagi jiwa, seisi dunia sebagai jalanan panjang, sementara tujuannya adalah apa pun yang kita bayangkan sebagai keberhasilan.
Layaknya berkendara, akan ada petugas yang membantu mengatur lalu lintas. Saat mudik, kita akan melihat banyak petugas kepolisian dan dinas perhubungan yang sedang piket. Selain mengatur lalu lintas, mereka juga berpatroli, menertibkan, kadang-kadang juga memberi sanksi bagi para pelanggar. Merekalah aparat hukum di jalan raya. Sementara untuk hukum semesta, ketentuan Tuhan, ada malaikat dan makhluk lain yang ditugasi menjadi aparatusnya.
Sepanjang jalan, mesti ada rambu-rambu yang harus ditaati bersama. Jika semua pengendara mematuhi rambu-rambu, tentu kita sampai ke tujuan dengan selamat. Rambu-rambu itu juga menjadi penanda, sebuah isyarat, bentuk kasih sayang Tuhan kepada kita. Rasa sayang yang begitu besar untuk memastikan kita selamat dan menjadi pemenang dalam kehidupan masing-masing.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” QS. Ali Imron : 190
Pun meski waktu perjalanan dan tujuannya sama, tetap akan ada perbedaan yang spesifik dalam meraih tujuan. Pengendara yang sama-sama menuju Cirebon, ada yang memilih mobil, motor, atau kereta api. Begitu juga waktu tempuh, kadar kelelahan, dan banyak lainnya. Lantas kenapa harus takut podium kemenangan akan direbut orang lain? Kenapa harus takut tidak kebagian tempat setelah sampai di Cirebon?
Mestinya kita tak perlu kebut-kebutan, berusaha menyalip, apalagi sampai menjatuhkan pengendara lain. Semua pasti akan sampai ke tujuan masing-masing. Sangat tidak mungkin Tuhan menciptakan manusia hanya untuk ngebek-ngebeki jagad, layaknya pengisi daftar penerima subsidi atau kartu miskin. Pasti ada tujuan yang lebih besar untuk penciptaan kita, bahwa setiap manusia diciptakan untuk berhasil dan menjadi hebat, menjadi pemimpin dan pemenang. Sekalipun diri sendiri sebagai skala minimal, setiap manusia pasti punya manfaat bagi orang lain.
Kalau semua diciptakan jadi pemenang, tak perlu dong kita semua bersaing? Tidak juga. Persaingan tetap perlu, setidaknya untuk mengenal versi terbaik dari diri kita. Yang tak boleh adalah bersaing untuk mendapatkan sesuatu yang bukan hak kita. Tak perlulah menyerobot jalan orang lain. Kita semua punya jalan masing-masing dan rejeki tidak akan tertukar.
Jadi, kapan kita mudik?
Bandung, 21/6/17
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh birokreasi http://birokreasi.com/2017/07/mudik/
baca artikel ini mendadak kangen kampung :'(
ReplyDeletemampir ke blog newbie juga ya suhu.. di kutampung.com
makasihh
mudik kak.. jangan merantau saja
Deletesiap meluncur