BREAKING NEWS

Berburu Hikmah dari Kumpulan Kisah

Bedah buku Hari Pajak Vol. 2 Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini

Pradirwan - Setiap manusia punya kisah dan di balik setiap kisahnya terselip hikmah. Kesimpulan  ini saya yakini hingga sekarang.

Kesimpulan itu semakin menguat tatkala Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menggelar acara Bedah Buku volume kedua yang dipandu Dhimas Wisnu Mahendra di Gedung Mar'ie Muhammad, Kantor Pusat DJP, Jakarta (Kamis, 09/07).

Acara yang digelar secara daring melalui aplikasi konferensi video dan disiarkan langsung melalui kanal youtube @ditjenpajakri itu merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka memperingati Hari Pajak 2020.

"Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini" menceritakan kisah betapa mahalnya biaya yang muncul setelah kematian seorang anggota keluarga. Terlebih bagi keluarga Enyak yang kurang mampu.

Cerita bermula ketika Engkong, bapaknya Enyak, yang berusia seratus tahun lebih meninggal dunia. Enyak dan keempat saudara lainnya harus menanggung semua biaya yang timbul dari pengurusan jenazah, termasuk "biaya adat" di kampung tersebut. Tak jarang, biaya-biaya itu menjadi beban bagi yang masih hidup, terlebih bagi keluarga yang tidak mampu seperti keluarga Enyak.

Persoalan ini yang diangkat Kepala Seksi Pengelolaan Situs (www.pajak.go.id) Direktorat P2Humas DJP, Riza Almanfaluthi dalam salah satu artikelnya yang berjudul "Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini". Judul artikel ini pun dipilih menjadi judul buku kedua Riza.

Buku setebal hampir 200 halaman ini merupakan kumpulan kisah inspiratif penuh hikmah. Dengan gaya bertutur yang sederhana dan renyah, menjadikan buku ini lebih mudah dipahami.

Membaca buku bersampul putih ini membawa saya ke masa-masa sekolah menengah. Kala itu, persediaan buku bacaan yang murah (bahkan gratis) hanya tersedia di perpustakaan. Itulah satu-satunya opsi yang bisa saya pilih demi memuaskan hasrat membaca. Di perpustakaan inilah saya membaca buku "Chicken Soup for The Soul".

Jika pada era 90-an saya menggemari buku karya Jack Canfield dan Mark Victor Hansen itu, maka buku yang terbit pada bulan Februari 2020 lalu ini bagi saya seperti edisi "Chicken Soup for The Soul" selanjutnya.

Betapa tidak, setiap tulisan di dalam buku terbitan Maghza Pustaka ini dapat mengilhami orang lain. Buku ini sukses memberikan kebahagiaan bagi siapa pun yang membacanya. Saya sendiri menjadi termotivasi dan memiliki semangat dalam menjalani kehidupan lebih baik.

Sebut saja tulisan yang berjudul "Mel" dan "Pemburu Dollar" dengan latar belakang cerita nyata dari penulis yang telah mengalaminya sendiri. Tak banyak yang mengetahui, jika dulu Riza kecil pernah "mengasong" di dalam gerbong kereta api.

Mel dalam kisah Riza adalah uang yang dikumpulkan dari pedagang untuk membeli beberapa bungkus rokok agar ia dan pedagang lainnya diizinkan masinis berjualan di dalam gerbong. Dalam bahasa sehari-hari biasa disebut "uang tanda terima kasih" atau "uang rokok".

Berbekal beberapa bungkus rokok yang digantungkan di patahan ranting pohon, masinis akan menghentikan laju kereta api jarak jauh ratusan meter sebelum stasiun Jatibarang, Indramayu. Dengan cara ini, para pedagang bisa naik gerbong dan akan memiliki peluang menaikkan omzet berkali-kali lipat.

Apa yang dilakukan para pedagang itu sejatinya adalah suap. Satu hal yang membudaya dan dianggap lumrah bagi sebagian orang pada puluhan tahun silam. Budaya "tak sehat" yang pernah melanda negeri ini, termasuk di DJP.

Riza berhasil menyampaikan pesan bahwa kebiasaan memberi dan menerima mel itu setali tiga uang dengan perilaku korupsi. Virus ganas yang kita sepakati sebagai musuh bersama.

Ia meyakinkan pembaca melalui tulisannya itu, bahwa DJP telah berbenah, mereformasi diri menjadi sebuah institusi yang antikorupsi.

DJP telah membuktikan diri dengan menjadi pilot project di Kementerian Keuangan bahwa sebuah kultur yang bobrok sekalipun bisa diubah dengan membuat sistem yang baik untuk menghilangkan mel dari setiap level pelayanan yang diberikan. Tak heran, "Mel" menjadi juara pertama lomba penulisan artikel yang diselenggarakan DJP pada tahun 2012.

Ada juga tulisan yang terinspirasi dari bacaan atau cerita dari teman penulis. Kisah "Mengapa Sang Maestro Penari Pergi?", "Pak Pardi yang Katolik", dan "Karena Gengsi dan Kehormatan" menjadi tiga tulisan favorit saya.

Bukan berarti tulisan lain tidak menarik atau tidak bagus. Hanya saja, kisah dalam tiga judul itu rasa-rasanya dekat sekali dengan kehidupan pribadi saya. Saya seperti pernah mengalaminya.

Kalimat-kalimat penulis yang mengalir dan lugas berhasil mengubah sudut pandang saya--dan mungkin pembaca lainnya--dalam memandang persoalan hidup.

Ini juga yang menjadi motivasi saya untuk berbagi banyak hal melalui tulisan. Sesederhana apa pun. Karena apa yang biasa saja (tak bernilai) menurut kita, bisa jadi itu hal yang sangat berarti (bernilai) bagi orang lain.

Tema Hari Pajak 2020 adalah "Bangkit Bersama Pajak dengan Semangat Gotong Royong". Semangat berbagi hikmah melalui tulisan dalam buku yang sudah memasuki cetakan kelima ini seharusnya bisa menginspirasi. Bahwa membayar pajak adalah wujud lain dari berbagi. Pun bisa dimaknai bahwa membayar pajak adalah bentuk gotong royong masyarakat dalam membangun negeri.

Mengutip Pemimpin Redaksi Republika, Irfan Junaidi dalam pengantar buku ini, "Buku karya Riza Almanfaluthi ini adalah katalog dari begitu banyak hikmah dalam hidup manusia," begitulah seharusnya kita memaknai buku Riza Almanfaluthi, "Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini".

Tabik.


*Artikel ini saya tulis untuk www.pajak.go.id dan telah ditayangkan di situs DJP tersebut sejak tanggal 13 Juli 2020

Share this:

Post a Comment

 
Copyright © 2021 Pradirwan and OddThemes