BREAKING NEWS
Showing posts with label Catatan Perjalanan. Show all posts
Showing posts with label Catatan Perjalanan. Show all posts

Menikmati Konser Musik Alam di Curug Cipeuteuy

Curug Cipeuteuy, Majalengka


Pradirwan ~ Jika sesuatu yang berbunyi dan bernada disebut musik, maka alam menjadi konser musik yang paling menakjubkan. Desau angin sepoi-sepoi, gemericik air, suara burung, tonggeret, dan binatang lainnya menjadi hiburan langka bagi kami. Alasan inilah yang mendasari kami menuju salah satu tempat konser musik alami bernama Curug Cipeuteuy, Majalengka.
Curug Cipeuteuy menjadi salah satu objek wisata andalan di Majalengka 

Kawasan wisata yang berlokasi di blok Dukuh Pasir desa Bantar Agung kecamatan Sindangwangi ini menjadi salah satu wisata andalan di Majalengka. Pesona alamnya memikat.

Bayangkan saja, kami sudah dibuatnya terpesona dengan suasana alami di sana bahkan sebelum sampai di depan air terjun. Saat melakukan perjalanan menuju lokasi, hamparan berundag sawah hijau menguning terbentang luas. Belum lagi saat mulai memasuki kawasan curug, kami disambut pohon-pohon pinus yang tinggi, ditambah suara konser alami khas hutan yang menenangkan.


Curug ini memang hanya setinggi sekitar 5 meter, tapi air yang mengalir jernih kebiruan dan dijamin bikin seger. Tak heran banyak pengunjung yang berenang atau sekadar berendam di sini. Apalagi pihak pengelola sudah menyediakan kolam penampungan air untuk pengunjung berenang dan fasilitas pendukung lainnya.

Beberapa pengunjung berendam

Kerennya lagi, tempat ini merupakan habitat dari elang Jawa lho. Kapan lagi bisa bertemu hewan eksotis ini, bukan? Pengunjung juga bisa mencoba fasilitas hiking, belajar mengenal jenis-jenis pohon, sampai menikmati makanan enaknya Majalengka di sini. Tak jauh dari lokasi curug ini, ada blok Sinapeul, produsen durian khas Majalengka.
Durian Sinapeul yang dijajakan pedagang di sekitar SPBU di Jl. Raya Pasar Kramat - Rajagaluh, tak jauh dari akses masuk ke Curug Cipeuteuy, Majalengka.  

Akses menuju lokasi curug melalui jalan raya Sumber - Pasar Kramat, Cirebon menuju Rajagaluh, Majalengka. Ada rambu petunjuk jalan menuju lokasi. Kami sarankan lebih baik menggunakan sepeda motor.

Meski jalanan mulus beraspal, namun lebar jalan hanya muat untuk satu mobil. Jadi kalau berpapasan harus ekstra hati-hati. Tanjakan dan turunannya pun cukup ekstrim di beberapa titik. Bus pariwisata tidak bisa masuk ke lokasi, hanya sampai ke desa Sindangwangi. Tapi untuk menuju lokasi, bisa di antar dengan mobil bak terbuka, yang disediakan olah karang taruna.

Sebgaimana konser musik pada umumnya, tak ada yang gratis, termasuk untuk dapat menikmati alunan musik alam dipadu pemandangan yang luar biasa di Curug Cipeuteuy ini. Tidak mahal kok. Setiap pengunjung dikenakan tarif masuk untuk orang dewasa sebesar Rp15 ribu dan anak-anak Rp5 ribu saja ditambah retribusi parkir mobil sebesar Rp5 ribu serta untuk motor Rp2 ribu.

Terlepas dari itu semua, konser musik yang disajikan Curug Cipeuteuy jauh lebih merdu dan menyenangkan dibanding kebisingan lalu lintas jalanan Ibukota. Penat yang memenuhi kepala selama satu minggu penuh dapat segera terobati hanya dengan satu perjalanan sederhana. Kembali ke alam. (*hp)


Artikel ini pertama kali ditayangkan di ayobandung.com

Surga Bernama Curug Malela

Aliran sungai yang melewati bebatuan membentuk air terjun (curug) Malela. 

Pradirwan - Sebuah pesan pendek masuk melalui aplikasi WhatsApp (WA) saat aku hendak beranjak pulang dari tempat bekerja. Aku membacanya di parkiran Gedung Keuangan Negara, Bandung, sambil menyaksikan sekumpulan orang berlalu-lalang.

Di penghujung tahun 2018, lalu lintas di Jalan Asia Afrika nyaris tak bergerak. Tak seperti biasa, sejak pukul 2 siang, jalan satu arah menuju ke Alun-alun Kota Bandung dan Masjid Raya Bandung Propinsi Jawa Barat itu nampak semakin sesak dengan warga yang hendak merayakan pergantian tahun.

Imbasnya, kendaraan yang hendak menuju Jalan Dalem Kaum juga terhambat. Berkali-kali, suara klakson terdengar di perempatan Jalan Asia Afrika-Dalem Kaum, meminta pengendara di depannya segera bergerak maju atau sekadar memberikan akses.

Jalan itu menjadi saksi bisu digelarnya konferensi yang amat bersejarah, yang mempertemukan 29 negara se-Asia dan Afrika pada 18-24 April 1955. Konferensi Asia-Afrika pertama tersebut terjadi di Gedung Merdeka yang berada di jalan tersebut. Konferensi membahas isu kedamaian dan kerjasama dunia yang dihadiri oleh delegasi negara se-Asia-Afrika, mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia pada saat itu.

Ya, Kedamaian. Kata itu lantas terlintas di kepalaku. Ketenangan yang aku butuhkan setelah seharian ini menyaksikan hingar bingar kehidupan di Ibu kota Jawa Barat ini. Aku memang tak terlalu menyukai keriuhan. Bagiku, kota besar seperti Bandung, hanya untuk bekerja dan belajar. Kemacetan yang terjadi setiap hari, hanyalah risiko keseharian yang harus aku terima sebagai konsekuensiku mencari nafkah dan belajar tadi. Maka, ketika sebentuk ajakan melalui pesan WA itu aku terima, aku langsung mengiyakan. Pesan-pesan berikutnya sudah pasti dapat ditebak, percakapan teknis menuju ke lokasi.
Curug Malela, salah satu curug yang indah di Bandung Barat. 

Aku dan tujuh orang lainnya bersepakat berkumpul pukul 05.00 WIB di Cimahi. Matahari nampak malas untuk menampakkan wajahnya. Di salah satu sudut langit, bulan sabit masih enggan beranjak. Sesekali ia menampakkan pucat wajahnya dibalik awan. Aku beranjak menerobos udara dingin pagi hari. Mataku masih sedikit sulit berkompromi untuk membuka. Puncak pergantian tahun sudah berakhir beberapa jam lalu masih menyisakan kantuk di kedua mataku.

Malela, seperti curug (air terjun) lain pada umumnya berada jauh dari hingar bingar kehidupan perkotaan. Perjuangan kami ke curug Malela cukup melelahkan. Namun, begitu sampai di lokasi Curug Malela, semua terasa terbayarkan. Menemukan curug ini bagaikan menemukan lokasi harta karun yang begitu indah mempesona. Terletak diantara tebing tinggi dan hamparan pegunungan, Curug Malela bak surga tersembunyi yang sangat terisolir dari peradaban manusia.
Suasana alami sangat terasa, membuat kami leluasa mendokumentasikannya.


Curug Malela terletak di desa Cicadas, kecamatan Rongga kabupaten Bandung Barat. Perjalanan kami dari Cimahi menuju lokasi berjarak sekitar 65 KM. Kami melewati jalan Raya Batujajar-Gununghalu, Kab. Bandung Barat. Kondisi jalan cukup baik dan berkelak-kelok. Tak jarang kami menemui tikungan, tanjakkan, dan turunan tajam sehingga kecepatan maksimal hanya 30 KM/jam. Semakin mendekati lokasi, lebar jalan semakin menyempit. Meski relatif dekat, perjalanan memakan waktu sekitar 3 jam menggunakan mobil.
Area parkir Curug Malela. Hingga lokasi ini, jalan beraspal mulus itu. 

Gapura selamat datang di Curug Malela, akses utama menuju Curug Malela

Jalan berpenyangga besi dan sudah dipaving blok

Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 1,2 km dari tempat parkir wisata. Parkiran ini hanya bisa menampung sekitar 10-15 mobil saja. Sebuah gapura bertuliskan selamat datang di Curug Malela dalam bahasa Sunda, menjadi penanda akses masuk ke curug yang memiliki hulu sungai bagian Utara Gunung Kendeng itu. Gunung berapi yang telah mati itu terletak di sebelah barat Ciwidey, Kabupaten Bandung. Aliran sungainya mengalir melintasi sungai Cidadap-Gununghalu yang menjadi sumber air tak hanya curug Malela ini, namun ke-enam curug lainnya yaitu Curug Katumiri, Curug Manglid, Curug Ngebul, Curug Sumpel, Curug Palisir, dan Curug Pameungpeuk.

Dibelakang gapura, nampak jalan setapak menurun sepanjang kurang lebih 200 meteran dengan pembatas kanan-kiri dari besi. Usai melewati jalan yang terbuat dari paving block ini, kami menemui jalan terjal dari batu dan tanah liat. Meskipun begitu, menelusuri jalan setapak menuju lokasi curug ini tidaklah membosankan karena sejauh mata memandang terhampar perbukitan yang begitu asri nan hijau.
Memasuki jalan bebatuan dan tanah

Fasilitas toilet dan musholla

Salah satu warung
Jalanan tanah ini cukup curam

Jalanan tanah mendekati Curug Malela

Tak perlu takut kehausan, karena disepanjang jalur setapak itu sudah tersedia warung. Selain itu, fasilitas ibadah dan toilet juga sudah bisa digunakan, malah di bagian bawah dekat dengan lokasi curug, kini sedang dibangun tambahan fasilitas tersebut.
Fasilitas sedang dibangun

Suara gemericik aliran air melewati bebatuan besar dan kecil, membuatku hanyut dalam suasana syahdu. Setelah puas mengambil beberapa foto, pada sebuah warung di sisi sungai, aku terpaku menikmati keindahan curug yang mempunyai ketinggian sekitar 60 meter dengan lebar mencapai 70 meter itu.

Jika curug umumnya tinggi menjulang, berbeda dengan curug yang mempunyai 5 buah jalur air terjun yang indah dan megah ini. Apalagi jika debit air sedang banyak dan mengalir deras melintasi air terjun ini, akan terlihat indah sekali. Pemandangan ini mengingatkanku pada kemegahan air terjun Niagara di benua Amerika. Tak heran, curug Malela dijuluki ‘The Little Niagara’ atau Air Terjun Niagara Mini.

Hari sudah siang. Saatnya kami kembali menuju ke tempat parkir untuk mekan siang. Kami berjalan menyusuri jalan setapak tadi. Baru beberapa meter mendaki, nafasku sudah tersengal-sengal. Beberapa kali aku berhenti untuk beristirahat. Bagiku, rute ini cukup berat. Ternyata tak cuma aku, beberapa pengunjung yang tak kuat lagi mendaki, memutuskan untuk menyewa ojeg dengan ongkos sewa Rp25rb hingga ke tempat parkir.

Saat beristirahat itulah ingatanku tertuju kepada Tuhan. Sambil meneguk air mineral yang aku bawa, kembali pandanganku ke aliran sungai dari gunung Kendeng itu. “… surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya,” terjemahan firman Allah dalam Alquran itu melintas. Lantas aku membandingkan dengan surga dunia yang bernama curug Malela ini. Meski tak berbayar saat kami memasukinya, perjalanan kami meraihnya cukup berat.

Maka benarlah adanya, bahwa hidup adalah sebuah perjalanan menuju ‘surga’ kita masing-masing. Setiap ‘surga’ mempunyai harganya sendiri dan seringkali itu tak murah. Kadang harga surga itu senilai takwa, pengorbanan, kesusahan, ketabahan, kesabaran, dan/atau keikhlasan.

Maka, berjalanlah. Dari perjalanan itu, kita akan dapat mengambil pelajaran. Tabik. (HP)


Artikel ini telah ditayangkan di AyoBandung

Menelusuri Cerita di Balik Kemegahan Batu Lawang Cirebon

Batu Lawang, objek wisata alam yang terletak di Gunung Jaya Desa Cupang Kecamatan Gempol Kabupaten Cirebon ini, mulai menjadi salah satu objek wisata baru yang menjadi favorit para wisatawan. 

Pradirwan - Sejak warga desa yang berhimpun  dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), sebuah lembaga kerjasama dengan Perum Perhutani membenahi pada awal 2017 lalu, objek wisata alam yang terletak di Gunung Jaya Desa Cupang Kecamatan Gempol Kabupaten Cirebon ini, mulai menjadi salah satu objek wisata baru yang menjadi favorit para wisatawan. Pemandangan alam, perbukitan, dan tebing bebatuan Objek Wisata Batu Lawang menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan pada musim liburan kali ini.

Potensi alam bak surga tersembunyi berada di sana. Sebuah bukit batu dengan lukisan alam yang bernilai seni tinggi. Udara sejuk, tenang, dan nyaman dengan pemandangan Kabupaten Cirebon dari atas membuat para wisatawan enggan untuk beranjak. Di tempat tersebut, wisatawan bisa melepas kepenatan pikiran di sela kesibukan sehari-hari.

Baca juga : Kejawanan, Destinasi Wisata Pantai Kebanggaan Cirebon

Penamaan Batu Lawang yang berarti Batu Pintu (lawang berarti pintu dalam bahasa Jawa), terinspirasi dari dua tebing menjulang yang menyerupai dua pintu yang sedang terbuka. Ada juga yang menyebutkan bahwa, motif (bentuk) bebatuan tebing itu menyerupai pintu pada bangunan jaman dulu.

Untuk menuju lokasi Batu Lawang, terdapat  dua jalan, pertama dari arah Ciwaringin dekat Rumah Sakit Sumber Waras kemudian belok ke arah kiri. Jalur ini lebih singkat jika dari Palimanan-Cirebon, namun jalan yang dilalui belum diaspal, masih bebatuan terjal.

Jalur kedua dari arah Prapatan belok ke ki kiri arah Rajagaluh lurus sekitar 1 km, kemudian belok ke kiri melewati sebuah jembatan, belok ke kiri melewati area persawahan.  Jalur ini sudah diaspal, malah beberapa bagian nampak baru. Namun, hanya bisa dilewati mobil kecil. Tak perlu takut tersesat karena sudah disediakan rambu penunjuk arah untuk mencapai lokasi Batu Lawang ini. Jalur kedua inilah yang disarankan google maps saat saya menyambangi objek wisata tersembunyi ini, Selasa (25/12/2018).

Objek Wisata yang mempunyai fasilitas cukup lengkap ini terbilang sangat murah. Biaya masuknya hanya Rp7.000 per orang, ditambah biaya parkir Rp5.000 bagi yang membawa kendaraan, wisatawan bisa menikmati keindahan sepuasnya.

Meskipun aksesnya cukup jauh, ketika sampai di lokasi rasa lelah terbayar dengan pemandangan indah gugusan tebing Batu Lawang dengan ukiran alam sangat indah. Ada beberapa jenis tebing batu dengan lukisan berbeda. Ada yang eksotis bermotof jalur melingkar. Ada juga batu tak beraturan dalam satu bukit. Setiap sekat batu memiliki tonjolan yang berbeda.

Tebing-tebing itu sering digunakan sebagai sarana olahraga panjat tebing. Tebing Cupang menjadi tebing yang paling digemari pemanjat di wilayah III Cirebon. Tebing ini memiliki ketinggian 23–30 meter dan lebar sekitar 50 meter dengan jenis batuan andesit dan memiliki empat jalur pemanjatan yang dibuat pada tahun 1993-an oleh tim dari Bandung dan FPTI Cirebon.

Jalur yang disediakan pengelola untuk menikmati Batu Lawang

Di lahan seluas 2,5 hektare milik Perhutani ini, wisatawan dengan mudah berfoto dari berbagai sudut pandang. Untuk menikmati pemandangan alam dari atas, pengunjung cukup melewati jalur yang sudah disediakan. Beberapa bagian jalur itu berupa anak tangga yang terbuat dari adukan semen dan bebatuan yang tersusun. Pengunjung dengan mudah mengelilingi bebatuan andesit itu, hingga sampai ke puncak tebing Batu Lawang.

Pada beberapa bagian di atas tebing, pengelola juga menyiapkan tempat untuk berswafoto. Meski terbuat dari bambu rakitan, namun tempat berfoto itu aman untuk disinggahi. Meski keamanan terjaga, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, wisatawan diharapkan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dan mengikuti segala aturan yang berlaku, seperti batasan tiga orang di tempat foto dan dilarang mencorat-coret bebatuan.

Spot swafoto

Di balik kemegahannya, Batu Lawang dan sekitarnya menyimpan berbagai cerita. Konon, gunung Jaya menjadi salah satu lokasi yang dikeramatkan karena menyimpan berbagai kisah perjuangan para Wali Sanga dalam menyebarkan agama Islam, diantaranya Sunan Bonang. Petilasan (situs) Sunan Bonang berada dikaki gunung Jaya sebelah barat, tak jauh dari Batu Lawang. Aura disekeliling petilasan tersebut sangat kental dengan mistis.

Cerita bermula ketika Sunan Gunung Jati bersama Sunan Bonang berniat menyebarkan Agama Islam ke selatan. Dalam perjalanannya saat mencapai Gunung Jaya, rombongan beristirahat.

Tak dinyana, rombongan tersebut disusul oleh Nyi Mas Gandasari yang memohon pertolongan Sunan Gunung Jati untuk menyembuhkannya. Persoalan Nyi Mas Gandasari adalah karena setiap bersuami, suaminya langsung meninggal.  Oleh Sunan Gunung Jati, persoalan Nyi Mas Gandasari diserahkan kepada Sunan Bonang.

Sunan Bonang kemudian menyembuhkan Nyi Mas Gandasari dengan mengeluarkan seekor ular welang dari tubuh Nyi Mas Gandasari. Kesembuhan Nyi Mas Gandasari ini diperingati dengan sebuah “pernikahan batin” dengan cara menguburkan ular welang dari Nyi Mas Gandasari yang disebut Pangeran Welang dan tongkat Sunan Bonang. Sampai saat ini kita bisa menyaksikan 2 buah cungkup makam tersebut di dalam bangunan situs.

Nyi Mas Gandasari di kemudian hari menjadi murid Sunan Gunung Jati dan menjadi salah satu panglima perangnya. Kesaktian Nyi Mas Gandasari sudah sangat tersohor dan tak ada seorang laki laki pun yang mampu mengalahkannya. Dalam sebuah sayembara yang diselenggarakan untuk mendapatkan jodoh, Nyi Mas Gandasari dikalahkan oleh Syekh Magelung Sakti (Pangeran Soka). Keduanya kemudian dijodohkan oleh Sunan Gunung Jati dan menjadi suami isteri.

Keunikan lainnya dari Gunung Jaya adalah di puncaknya terdapat sumur kejayaan. Coba naiklah ke puncak Gunung Jaya setinggi sekitar 700 meter itu. Di puncak Gunung Jaya terdapat sebuah sumur kering. Keadaan sumur itu memang selalu kering. Karena itulah, konon, jika ada yang mendapat atau menemukan sumur itu dalam keadaan berair adalah pertanda semua keinginan bakal terkabul. Namun yang pasti pemandangan di puncak Gunung Jaya sangat cantik.

Artikel ini ditayangkan Ayobandung

Kejawanan, Destinasi Wisata Pantai Kebanggaan Cirebon

Pengunjung menikmati pantai Kejawanan Cirebon belum lama ini. 

Pradirwan - Siang itu, pada saat matahari bersinar dengan teriknya, rombongan keluarga yang dipimpin Uling (nama panggilan), aparat Desa Wangunharja, Kecamatan Jamblang Kab. Cirebon, mengunjungi Pantai Kejawanan, 23 Desember 2018. Pantai yang sejatinya merupakan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) itu kini menjadi salah satu destinasi wisata alternatif warga Cirebon dan sekitarnya.

“Waktu masih kecil saya pernah kesini. Dulu pantai ini sangat sepi,” ungkap Uling.

Sejak beberapa tahun terakhir, pantai yang berlokasi di Jl. Yos Sudarso, Lemah Wungkuk Kota Cirebon dan terletak dekat dengan pelabuhan Cirebon dan Ade Irma Suryani Cirebon Waterland ini semakin ramai dikunjungi oleh wisatawan.


Berwisata ke Pantai Kejawanan terbilang sangat terjangkau. Pengunjung yang datang berjalan kaki tidak dipungut biaya sepeser pun. Biaya masuk dikenakan hanya bagi yang membawa kendaraan, baik mobil maupun sepeda motor. Itu pun terbilang sangat murah meriah, hanya Rp1.000 saja per kendaraan ditambah tarif parkir Rp5.000. Dengan tarif semurah ini, para pengunjung sudah bisa menikmati pemandangan pantai Kejawanan ini.

Memasuki pantai, pengunjung akan disuguhi pemandangan deretan kapal penangkap ikan yang sedang bersandar di bagian teluknya. Untuk mendapatkan pemandangan terbaik, datanglah pagi-pagi sekali atau sore hari untuk mendapatkan sunrise atau sunset. Dari pantai Kejawanan ini, Gunung Ciremai menjadi salah satu spot menarik untuk background photo landscape, selain kumpulan kapal-kapal yang bersandar itu.

Setelah berjalan beberapa meter, di sebelah kanan, nampak bibir pantai dan beberapa warung yang berdiri persis disisi pantai. Seorang ibu pemilik warung mempersilakan rombongan masuk untuk beristirahat. Jika biasanya pengunjung dilarang membawa makanan dan minuman dari luar warung, tidak dengan warung-warung disini. Mereka mempersilakan semua pengunjung untuk singgah, meskipun membawa makanan dan minuman.

Kondisi Pantai Kejawanan yang landai dan dangkal ini menjadi daya tarik tersendiri. Anak-anak dapat bermain air hingga ke tengah pantai. Selain itu, terdapat perahu karet yang disewakan. Harga sewanya Rp20.000 untuk setiap perahu karet. Pengunjung juga bisa menggunakan perahu motor milik nelayan disana. Hanya dengan tarif Rp5000 per orang, pengunjung dapat berkeliling pantai Kejawanan.

Selain menikmati berbagai fasilitas yang tersedia, tak sedikit pengunjung yang memilih bersantai menikmati suasana Pantai Kejawanan sambil menikmati kuliner yang tersedia di Warung-warung di tepi pantai.

Artikel ini ditayangkan Ayobandung
 
Copyright © 2021 Pradirwan and OddThemes