BREAKING NEWS
Showing posts with label Fotografi. Show all posts
Showing posts with label Fotografi. Show all posts

Tiga Latar dalam Foto Jurnalistik

Kepala Kanwil DJP Jawa Barat I, Neilmaldrin Noor membacakan arahan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Upacara Peringatan Hari Oeang Republik Indonesia ke-73 di Gedung Keuangan Negara Bandung, Rabu (30/10). 

Pradirwan - Salah satu narasumber Workshop Jurnalistik Kanwil DJP Jawa Barat I beberapa waktu lalu, Novrian Arbi mengatakan, ada tiga latar yang harus diperhatikan saat mengambil foto, yaitu latar depan (foreground), latar tengah (middleground), dan latar belakang (background). "Ketiga latar ini berfungsi saling mendukung," ujar pria yang akrab dipanggil Ucok itu.

Secara naluriah, kita menyukai hal-hal yang menarik perhatian kita. Sebagai fotografer, tugas kita menempatkan subjek yang menarik perhatian dan merekam subjek tersebut ke dalam lingkungannya.

Untuk benar-benar memberikan kesan yang kuat, background yang menarik bisa dimasukkan dalam frame. Misalnya kita jalan-jalan di Alun-alun Bandung, maka Masjid Agung Jawa Barat, rumput sintetis, dan ikon-ikon lainnya bisa dijadikan background.

Nah, selain background, terdapat cara kreatif lainnya yang dapat mempercantik foto yaitu foreground.

Teknik ini memang kurang populer karena memang tak semua foto memerlukan foreground. Sebab tidak semua objek bisa jadi foreground.

Jujur saja, saya sendiri seringkali bingung menentukan subjek mana yang menarik perhatian ketika dihadapkan pada kondisi yang ramai, atau khidmat seperti saat upacara Hari Oeang ke-73, kemarin (Rabu, 30/10).

Kepala Kanwil DJP Jawa Barat I, Neilmaldrin Noor menjadi Pembina Upacara Peringatan Hari Oeang Republik Indonesia ke-73 di Gedung Keuangan Negara Bandung, Rabu (30/10).

Saya menggunakan latar depan untuk alasan estetika. Artinya, subjek utama akan terasa hambar karena background tidak kuat atau di sekeliling subjek tidak ada hal unik untuk 'dimainkan'. Dengan membuat foreground, komposisi foto menjadi semakin 'berisi' dan dinamis.

Setelah menemukan subjek utama dan background, foreground dapat dibuat dengan teknik boleh atau tetap fokus. Pilihan ini tergantung kebutuhan fotografer sesuai pesan/cerita yang akan disampaikan. Jadi, fotograferlah yang menentukan, bukan kameranya, karena fotografer sang pembuat cerita.

Pradirwan
31/10/2019

Tips Berburu Milky Way untuk Pemula

Milky way di atas rumah


Pradirwan - Aku suka langit. Bagiku, langit merupa kanvas besar ciptaan Tuhan yang setiap saat memberikan kejutan yang berbeda. Tak hanya waktu matahari terbit atau terbenam, saat siang hari, bahkan malam hari langit membuatku kagum. Awan, matahari, bulan, petir, pelangi, dan gugusan bintang menjadi penghias langit, sekaligus sebagai petunjuk bagi manusia.

Bersyukurlah kita tinggal di Bumi yang indah ini. Sedikit flashback ke pelajaran astronomi, Bumi yang kita tempati ini berada di galaksi bimasakti (milky way). Konsekuensinya, kita tak mungkin memotret keselurahan galaksi, hanya sebagian kecil sisi dari bimasakti. Kecil, tapi luar biasa.

Baca juga : Berburu Milky Way ke Ciwidey

Caranya gampang kok, serius! 4 hal yang kita butuhkan untuk memotret bintang dan milky way ini baru aku coba dan berhasil. Apa saja?

1. Langit malam cerah
Sebetulnya memotret bintang tak perlu di gunung atau di pantai. Namun, agar bintang terlihat jelas, kita tak boleh di tempat yang banyak polusi cahaya.

Makanya memang lebih mudah memotret bintang/milky way di pegunungan atau pantai daripada di area kota.

Ini sebetulnya bagian tersulit, sih. Hehe, paling nggak, ada alasan baru buat naik gunung dan mengeksplor tempat baru, kan?

Tapi klo blm ada kesempatan, coba explore sekeliling tempat tinggalmu, barangkali ada tempat yang cukup gelap. Foto yang aku posting ini diambil di halaman rumah tadi pagi sebelum sahur. Terlalu banyak cahaya memang, sehingga milky way tak nampak jelas.

Polusi cahaya juga bisa diakibatkan oleh bulan. Makanya, memotret milky way paling bagus saat bulan mati (+/- 4 hari), jangan mendekati atau pas bulan purnama. Selain itu, cuaca tidak sedang banyak awan. Klo bisa, cerah secerah-cerahnya.

Langit berawan, milky way semakin samar


2. Cek posisi milky way


Jika hanya ingin memotret bintang, mungkin bisa kapan saja. Tapi ingat, bumi kita berputar. Ada kalanya milkyway tidak terlihat dari tempat kita berdiri.

Banyak software untuk mengecek kondisi bintang seperti stellarium, sky guide, dan banyak sekali di app store. Searching sendiri aja ya. Aku pakai stellarium. Ini karena ikut-ikutan saja sih. Klo mau ikutan juga, gpp kok 😁



3. Set Fokus ke Infinity, perkirakan komposisi


Taruh dulu kameranya di tripod ya. Setelah itu fokuskan lensa ke posisi tak hingga.

Kalau di lensanya sudah ada distance scale, silakan diset ke posisi infinity, biasanya berbentuk simbol angka delapan tengkurap (∞). Mode ini juga biasanya dipakai untuk motret landscape.

Kalau nggak ada scale nya seperti lensa kit 18-55, fokus saja ke benda terjauh yang bisa difokuskan. Dan dikira-kira. Untuk komposisi, trial & error aja. Karena emang gelap, sih.

Memotret bintang dan milky way memang harus pakai perasaan 🤣🤣🤣


4. Set kamera ke diafragma & ISO tertinggi, dan coba 30 detik


Aku memakai lensa 15-45 mm f/3.5. Jadi aku test kamera pertama kali di ISO 2500, f/3.5, dan 30 detik.

Kenapa 30 detik? Konon katanya, 30 detik itu adalah waktu maksimum agar bintang tetap seperti titik, bukan sebuah garis.

Kalau lebih dari 30 detik, maka bintang akan ‘berjalan’ dan nampak seperti apa yang kita sebut sebagai light painting. Kecuali, memang efek seperti itu yang ingin didapatkan sih.

So, tertarik memotret milky way? Atau masih ada yang kurang jelas? Silakan tinggalkan komentar di bawah ya.

Memahami Leading Line

Jalan masuk Cukul Sunrise Point ini menggunakan konsep leading line. 

Pradirwan - Leading Line merupakan sebuah konsep fotografi yang merujuk pada keberadaan garis-garis imajiner dalam sebuah foto. Disebut imajiner karena pada dasarnya garis-garis tersebut memang tidak ada dan tidak dibuat secara khusus, atau dengan kata lain garis itu "tersedia" secara alami.

Dalam foto tersebut, keberadaan garis nyatanya memang tidak ada. Tetapi bagi mata kita, jalan tanah berbatu itu nampak seperti garis.

Di alam, banyak sekali contoh lain dari garis imajiner yang disebut leading line ini, diantaranya jalan, pagar, tembok, bahkan aliran sungai jika dilihat dari atas.

Sebenarnya apa sih fungsinya memahami leading line ini?


Percaya atau tidak, mata kita menyukai garis dan bentuk simetris. Ketersediaan leading line bisa membimbing mata seseorang  melihat foto kita untuk menjelajah lebih jauh dengan kecenderungan untuk terus mengeksplorasi foto mengikuti garis-garis imajiner yang ada. Adanya leading line membantu penikmat foto untuk segera melihat dan menemukan subjek utama (point of interest).

Dalam menemukan leading line, sebelum memotret, perhatikanlah sekeliling lokasi pemotretan (observasi). Tujuannya selain mencari background dan memisahkan objek utama dari keramaian, juga dalam rangka mencari keberadaan leading line ini. Temukan dan lakukan sinkronisasi dengan ide, tema, dan objek yang akan kita foto.

Tips lainnya, bergerak dan berpindah posisi untuk mengubah sudut pandang pemotretan.

Dengan bantuan garis-garis imajiner ini, membuat foto kita nampak lebih baik lagi.

Selamat mencoba. Semoga bermanfaat.

Bercerita Lewat Fotografi, Bisakah?

Sepak Bola (Pradirwan)
"Satu gambar seribu kata."

Pradirwan - Ungkapan ini sering saya dengar untuk menggambarkan kekuatan sebuah gambar.

Awalnya saya tidak percaya kebenaran ungkapan itu. Semakin saya mempelajari fotografi, semakin saya mengerti alasan-alasan kenapa sebuah produk/jasa dipasarkan dengan tampilan yang menarik.

Seringkali, kesan pertama datang dari tampilan produk dan jasa. Semakin menarik dan atraktif, pembeli akan tergoda membawa produk atau jasa kita ke rumah mereka.

Mungkin itu pula yang melatarbelakangi doktrin yang beredar di jamaah Slametyah pimpinan pak Slamet Rianto, "Jika Anda tidak ganteng, maka Anda harus tampil rapih." Bagaimanapun, kekuatan visual berpengaruh bagi calon pembeli atau klien kita.

Ternyata, haI ini sudah dibuktikan oleh pemilik Brodo, Yukka Harlanda. Menurutnya, foto merupakan salah satu bentuk komunikasi persuasif agar pembeli tertarik. Selain itu, foto juga bisa membentuk citra merek alias brand image dan menguatkan ikatan antara konsumen dengan produk.

Ungkapan lain yang mendukung kekuatan visual datang dari gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Ia menekankan aspek cerita dari sebuah momen yang diabadikan dalam sebuah foto. "Bagi saya foto itu adalah cerita," kata Kang Emil pekan lalu. Kang Emil percaya, bahwa sebuah momen tidak pernah berulang. Sebagai contoh, foto diatas saya ambil beberapa waktu lalu. Momen itu berlangsung singkat. Saya memotret terus-menerus sepanjang pertandingan, tak ada satu pun foto saya yang sama persis dengan foto yang saya upload itu.

Lalu, bagaimana sih mendapatkan foto yang bercerita?


Dari berbagai sumber saya menyimpulkan bahwa dalam sebuah foto, kita harus bisa memutuskan elemen mana yang akan menjadi subyek utama. Subyek utama adalah hal yang PERTAMA dilihat orang saat melihat foto kita alias Point of Interest (PoI).

Setelah itu, kita lalu memutuskan elemen pendukung mana yang akan dimasukkan ke dalam frame. Ingat, elemen pendukung adalah hal-hal yang dapat menguatkan keberadaan subyek utama. Jika elemen itu akan mengalihkan perhatian orang yang melihat dari subyek utama, maka sebaiknya elemen itu ‘dibuang’ atau tidak dimasukkan ke dalam frame. Cara paling sering yang saya lakukan adalah atur focal length (zoom), pakai lensa tele, atau mendekati objek. Kalau momennya singkat, motret seadanya lalu cropping deh. Daripada ga dapet momen? 😀

Pendekatan lain yang selalu saya gunakan adalah Entire, Detail, Frame, Angle, Time atau disingkat EDFAT. Metode ini diperkenalkan Walter Cronkite School of Journalism and Telecommunication Arizona State University sebagai salah metode pemotretan untuk melatih cara pandang melihat sesuatu dengan detil yang tajam. Tahapan-tahapan yang dilakukan pada setiap unsur dari metode ini adalah sesuatu proses dalam mengincar suatu bentuk visual atas peristiwa bernilai berita.

Jadi, inti dari postingan ini adalah betapa saya sadar sekarang jika mengambil gambar bukan hanya mengambil gambar. Redaktur Foto Kompas, bang Arbain Rambey pernah berkata, "Jangan berangkat memotret dalam keadaan blank. Kamu tidak akan mendapatkan apa-apa". Jadi, penting untuk merencanakan terlebih dahulu sebelum mengeksekusi. Berpikirlah dahulu sebelum memencet tombol kamera. Apa yang mau kita potret? Apa yang ingin kita sampaikan? Itu sudah ada dalam pikiran kita.

Nampak ribet ya? Awalnya saya juga berpikir begitu. Namun, setelah dipraktekkan, ternyata menyenangkan kok. Sekarang, saya terbiasa mengonsep dulu apa yang saya butuhkan sebelum eksekusi. Makanya, penting banget mengetahui rundown acara, lokasi, dan segala detailnya ketika kita memotret dokumentasi.

Dulu, saya pikir harus memasukkan semua elemen ke dalam foto. Meminjam istilah pak Dhe Muchamad Ardani, saya termasuk 'fotografer rakus'. Saya merasa tidak ingin semua elemen itu terbuang mubazir. Prinsip saya waktu itu, apa yang saya lihat di lokasi, harus sama dengan informasi visual yang diterima yang melihat foto saya. Tapi, ternyata tidak begitu.

Sama seperti penulis yang tidak boleh menulis semua deskripsi dengan jelas dan harus menyisakan imajinasi pembaca, foto pun demikian. Harus ada sedikit ruang untuk publik menginterpretasi, sehingga mereka tidak merasa digurui, sanggup berpikir dan berimajinasi, lalu merasa ada hal lebih yang mereka dapatkan setelah melihatnya. Bukan karena fotonya. Foto hanyalah pemicu, tapi imajinasi dan hasil berpikir merekalah yang memberikan hal lebih itu. Itulah foto yang bercerita, menurut saya.

Bagaimana menurut Anda?

Bandung, 31 Januari 2019
 
Copyright © 2021 Pradirwan and OddThemes