BREAKING NEWS

Membedah Buku Mazda

Bedah Buku Membangun Rumah di Bawah Tanah

"Jika kau bukan anak raja maka menulislah!" (Imam Ghazali)

Pradirwan - Siapa sih yang tak ingin namanya tercantum dalam sampul sebuah buku sebagai penulis? Dalam hati setiap penulis, pastilah ada keinginan untuk membuat buku, wujud tertinggi dari sebuah tulisan. Setidaknya satu buku seumur hidupnya. 

Tak terkecuali Ahmad Dahlan. Baru-baru ini, lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai auditor di Kantor Pajak itu menerbitkan buku berjudul "Membangun Rumah di Bawah Tanah (MRdBT)". 

Pada acara bedah buku yang digelar Sabtu malam (19/09/2020), pria yang akrab disapa Mazda itu bercerita tentang keputusannya membuat buku. "Pertengahan Agustus 2020 lalu, motivasi membuat buku yang semula tereduksi itu tiba-tiba menguat kembali," ungkapnya. 

Konon, motivasi itu muncul berawal dari sebuah keinginan untuk memberikan kado pernikahan perak untuk istrinya. 

Terbersitlah ide untuk mengumpulkan tulisan-tulisan yang pernah dia buat, merangkainya, mengikatnya, lalu ia jadikan sebuah draft buku. Draft ini kemudian disebarkannya ke beberapa rekan penulis. 

Gayung bersambut. Rekan-rekannya menyatakan bahwa draft tersebut layak menjadi sebuah buku. Lalu seorang rekan memberinya nomor kontak penerbit. Proses selanjutnya sudah bisa ditebak, buku itupun terbit dan sampai kepada pembacanya.

Tangkapan Layar saat mengikuti bedah buku Mazda

Buku yang sudah masuk cetakan kedua ini dikupas tuntas oleh tiga pembicara, semalam. Mereka adalah Gathot Subroto (Fuji Film X-Fotografer), Edmalia Rohmani (Pecinta Literasi), dan Nurul Huda Haem (Pengurus Ponpes Motivasi Indonesia-Bekasi). 

Acara yang berlangsung sejak pukul 19.30 WIB ini dimoderatori oleh Slamet Rianto dan disiarkan langsung melalui aplikasi zoom meeting.

Berbagai ulasan menarik tentang buku itu pun muncul. Gathot mengulas tentang sampul dan lay out buku itu. Fotografer yang fotonya pernah digunakan akun medsos @Jokowi itu membuka bahasannya dengan dua cara penerbitan buku. 

Gathot Subroto @Gathoe

Jika dulu seorang penulis harus mengirimkan naskah kepada penerbit mayor, masuk ke dalam daftar antrian untuk di-review, dan proses-proses lain yang harus diikuti, maka sekarang para penulis indie bisa mencoba peruntungannya sendiri. "Penulis bisa membuat buku dengan lebih personal melalui penerbit minor (self publishing)," kata Gathot.

Dengan memanfaatkan jejaring pertemanan di media sosial dan komunitas di Whatsapp grup, seorang penulis bisa memasarkan bukunya. "Kita bisa mengalkulasi berapa biaya yang dibutuhkan untuk ongkos mencetak buku tersebut dari jumlah pertemanan kita itu," katanya. 

Meski ada pepatah mengatakan, “Don’t judge a book by its cover”, namun kenyataannya riset membuktikan bahwa keberhasilan penjualan buku di pasaran sangat bergantung terhadap kualitas dan keindahan cover-nya.

"Penggemar buku seringkali hanya melihat sekilas judul dan sampul buku dari berbagai banyak pilihan buku lainnya. Mereka sangat memperhatikan aspek desain cover buku agar 'stand out' di antara buku-buku lainnya," tutur Gathot. 

Semua aspek yang tercermin dalam buku itu harus bisa direpresentasikan desainer dan author melalui cover-nya. "Semua warna, typography, desain lay out, dan ukuran buku itu harus saling menunjang," ungkapnya. 

Ia berpesan, agar untuk buku selanjutnya "memanfaatkan jasa" teman-temannya yang memang ahli di bidang desain dan editing. 

Menanggapi hal tersebut, Mazda menyampaikan bahwa dia menerima masukan tersebut. "Saya berpikir untuk tidak merepotkan teman-teman saja. Pihak penerbit saya anggap profesional. Mereka pun sudah beberapa kali menyampaikan konsep baik tulisan maupun lay out untuk saya setujui sebelum dicetak," katanya. 

Ulasan berikutnya disampaikan Edmalia. Pecinta sastra itu mengatakan bahwa buku perdana Ahmad Dahlan itu sangat ringan sehingga pesannya mudah ditangkap.

Edmalia Rohmani

"Inti komunikasi (baik secara lisan ataupun tulisan) adalah menggerakkan hati orang. Tulisan dianggap sukses ketika bisa menggerakkan hati orang, dan itu tercermin dalam tulisan di buku ini," kata pegawai pajak yang akrab disapa Lia itu.

Point of View (POV) atau sudut pandang penulisan tak luput dari pembahasan Lia.  "Secara sederhana, POV adalah bagaimana penulis menempatkan dirinya dalam cerita dan menyampaikan cerita itu kepada pembaca. POV ditentukan saat mulai menulis. Digunakan konsisten dari awal hingga akhir cerita," jelasnya. 

Dalam proses penciptaan karya, ada tiga POV yang bisa digunakan, yaitu POV orang pertama (POV1), POV orang kedua (POV2), dan POV orang ketiga (POV3). 

Dalam POV1, penulis menjadi diri penulis sendiri (aku) dalam cerita, mengikuti pikiran dan aksi si penulis. Penulis tidak bisa menggambarkan apa yang tidak dilihat si penulis. Penulis juga tidak bisa mengetahui perasaan yang tidak dirasakan oleh penulis.

Saat memosisikan diri sebagai penulis, tugas utamanya hanya menulis hingga selesai apa-apa yang menjadi ide atau pikiran yang ingin dituangkan. Tidak perlu memikirkan hasilnya akan baik atau tidak, menarik atau tidak diksi yang digunakan, semua itu urusan belakangan.

Sementara dalam POV2 dan POV3, penulis memosisikan dirinya sebagai orang lain, baik sebagai pembaca (POV2) maupun sebagai editor (POV3). 

Saat kegiatan menulis selesai, penulis kemudian memosisikan dirinya sebagai pembaca. Hasil tulisan yang telah selesai itu kemudian dibaca ulang dari awal sampai akhir. Hal ini bertujuan agar dapat mengenali tulisan yang mungkin kurang baik atau diksi yang digunakan kurang menarik. Sehingga dapat melakukan koreksi dan pengeditan.

Langkah selanjutnya, penulis memosisikan dirinya sebagai editor. Poin terakhir ini sangat penting diterapkan demi tercapainya tulisan yang lebih baik. Jika sudah mampu memosisikan sebagai editor, maka dengan mudahnya dapat mengubah kata yang kurang baik, ada yang salah ketik, penggunaan tanda baca yang tidak tepat, atau mungkin ada alur yang kurang pas pada tulisannya. 

"Buku ini penulis memilih POV1. Menceritakan kejadian sehari-hari yang dialami penulis," ungkapnya. 

Untuk itu, penting juga mengetahui platform apa yang akan digunakan penulis dalam menyampaikan gagasannya. Hal ini terkait dengan penggunaan kaidah berbahasa yang baik. 

Lia lantas mengutip pendapat Gorys Keraf, “Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik."

Kejujuran yang dimaksud adalah ketepatan pemilihan kata. Ini berkaitan dengan menggunakan kata secara tepat, yang berarti menggunakan kata sesuai dengan makna yang ingin dicapai. Sementara itu, kesesuaian pemilihan kata berkaitan dengan suasana dan lingkungan berbahasa. 

"Buku ini sudah menggunakan gaya bahasa yang sopan dan menarik. Namun untuk sebuah buku, menurut saya lebih baik menggunakan kaidah penulisan buku yang berlaku. Gaya bahasa yang digunakan masih terpengaruh gaya bahasa membuat artikel blog atau medsos yang personal," kata Lia. 

Namun Lia tak menampik bahwa penggunaan diksi dalam buku setebal 160 halaman itu sangat ciamik. "Bahkan sekelas Masla (Slamet Rianto) pun harus membuka kamus untuk mengetahui maknanya," ujarnya berseloroh. 

Menurut Mazda, dirinya mengidolakan Dahlan Iskan. Tulisan-tulisannya memang terpengaruh gaya bahasa dalam DI's Way. "Gaya bahasa ini memang saya pertahankan untuk menjaga kekhasan," katanya. 

Sementara itu, pengasuh sekaligus pimpinan pondok pesantren Motivasi Indonesia-Bekasi, Nurul Huda Haem mengatakan, setidaknya ada lima hal yang ia dapatkan dari kumpulan cerita dalam buku "Membangun Rumah di Bawah Tanah" ini.

Pertama, tidak ada satu peristiwa yang terjadi melainkan ada hikmah yang menyertainya. Maknai peristiwanya. "Buku ini menyajikan berbagai kisah sederhana namun penuh hikmah," tuturnya. 

pengasuh sekaligus pimpinan pondok pesantren Motivasi Indonesia-Bekasi, Nurul Huda Haem

Kedua, jadilah orang kaya. Menurut ustaz yang akrab disapa Ayah Enha itu, selama ini manusia dituntut menguasai ilmu ekonomi tanpa diimbangi dengan kesalehan finansial. "Dengan uang kita bisa memiliki harta. Kita lupa belajar bagaimana agar uang itu bukan lagi sebagai sebab, tetapi sebagai akibat," jelasnya. 

Uang yang kita peroleh hendaknya didapatkan dari sumber yang halal, dengan cara yang baik, dan dipergunakan untuk hal-hal yang baik. 

Seorang yang memiliki kesalehan finansial akan cermat memilih sumber uang yang dia dapatkan dan saat menggunakannya. Sebab, uang yang dia dapatkan bukan hanya akan dimintai pertanggungjawabannya di dunia, namun juga di akhirat kelak.

Ketiga, menyiarkan kebaikan (sedekah) itu tak dilarang. Sebagaimana tercantum dalam surat Albaqarah ayat 271, Allah SWT berfirman, "Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu."

Keempat, jangan menghardik anak yatim. Dalam Islam, anak yatim mendapatkan perhatian Alquran sejak periode Mekah. 

Hal ini tercermin dalam Alquran surat Almaun ayat 1-3. Allah SWT berfirman, "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin." 

Anak yatim (anak yang ditinggalkan oleh bapaknya saat usia kecil hingga akhil baligh) tidak hanya membutuhkan bantuan untuk masalah fisik, seperti pakaian, makanan, minuman, dan tempat tinggal. Mereka juga membutuhkan curahan kasih sayang dan pendidikan. 

Beberapa yayasan dan panti sosial yang memelihara anak yatim ini ada di sekitar kita. "Jangan santuni kami, berdayakan kami. Inilah motto yang digunakan di pesantren kami (Motivasi Indonesia)," kata Ayah Enha.

Kelima, temukan Detik Kesadaran Diri (DKD)-mu. Kesadaran diri ini merupakan salah satu respon atas segala pengambilan keputusan yang diambil dalam kehidupan ini. 

DKD adalah sebuah momentum di mana seseorang dengan penuh kearifan mengakui kekhilafannya dan melakukan perubahan. Ia sepenuhnya menyadari bahwa pengawasan Allah bukan sekadar pada keberadaannya, bahkan pada setiap huruf yang ia tuliskan, pada setiap kata yang ia lisankan, pada setiap hembusan nafas, pada setiap angin yang mendesir, pada setiap daun yang berguguran, pada setiap detik kejadian. 

"Buku MRdBT ini menyiratkan bahwa penulisnya mulai 'tersadar' saat mendengarkan khotbah salat  Jumat. Mazda menggunakan kemampuannya dalam menulis dengan berbagi tulisan untuk membuat kita termotivasi melakukan kebaikan," pungkasnya. 

Sebagai penutup, Slamet Rianto berujar, bahwa ternyata berbuat baik itu butuh ilmu. 


Tabik


Pradirwan, 

Bandung, 20 September 2020

***


Judul buku: Membangun Rumah di Bawah Tanah

Penulis: Ahmad Dahlan

ISBN: 978-602-5824-78-4

Ukuran: 14x20 cm

Jumlah halaman: 160 halaman

Penerbit: Maghza Pustaka, Pati

Cetakan pertama: Agustus 2020


***

Untuk pemesanan buku (PO) silakan mengisi tautan berikut https://tinyurl.com/MRdBT2 atau menghubungi akun facebook Ahmad Dahlan Jadi Dua

Pesan Cinta tentang Jayapura

Opick Setiawan bersama buku perdananya, Jejak Lalu.

Pradirwan - Kecintaan terhadap tanah kelahiran mungkin sudah mahfum adanya. Namun tak banyak orang yang mampu berbagi dengan menceritakannya dalam sebuah buku. Opick Setiawan adalah salah satunya. Penggalan kisah cintanya terhadap Jayapura, ia abadikan dalam buku yang bertajuk "Jejak Lalu"

***

"Mas Her, punten. Kalau berkenan, bolehkah saya minta tolong Mas Herry 'editin' naskah saya kalau sudah selesai? Mas Herry kan jago sebagai editor handal.🙏"

Itulah pesan teks yang saya terima, Jumat (17 Juli 2020) lalu, hampir tengah malam. Sang pengirim, Opick Setiawan, rupanya sudah membuat naskah dan berniat untuk menerbitkannya menjadi sebuah buku. Buku yang akan mengabadikan kisah cintanya kepada Jayapura, kota kelahirannya. 

Saya mengiyakan. Selain sebagai sarana saya belajar, mengedit naskah buku ini akan menjadi pengalaman pertama saya. Memang pengalaman saya mengedit ini masih sangat kurang. Baru segelintir teman saja yang meminta bantuan saya mengeditkan tulisan-tulisannya. Julukan 'editor handal' yang Opick sematkan terasa tak layak saya sandang saat ini. 

"Siap, Mas. Nuhun pisan. Belum rampung sih. Sedikit lagi selesai. Saya tidak pede kalau mau 'naikin' ke penerbit tetapi belum diedit," sambungnya. 

Opick menganggap begitu pentingnya peran editor. Sebagai manusia biasa, kita tidak akan pernah bisa sempurna. Jika diibaratkan, editor itu seperti amplas kayu yang membuat karya kita lebih sempurna.

Dalam pembuatan buku foto atau pameran misalnya, seorang fotografer butuh peran kurator. Begitu pula di bidang perfilman, seorang sutradara butuh editor film. 

Apalagi bagi seorang penulis. Setiap tulisan yang dipublikasikan ke media, baik cetak atau online, selalu ada peran editor. Ada redaktur atau pemimpin redaksi yang memeriksa setiap tulisan yang diterima, lalu mengeditnya sehingga menjadi layak tayang.

"Menurut mas Her, lebih baik judulnya "Jejak Lalu" atau "Jejak Kaki" yang lebih bagus? Atau ada ide lain?" tanya Opick.

"Jejak Lalu," jawab saya singkat. 

Beberapa jam kemudian, naskah buku itupun dikirim.

***

Layaknya kisah cinta, Jejak Lalu berisi kekaguman, kenangan, juga rindu seseorang kepada yang dia kasihi. Sebagaimana yang Opick tulis dalam status media sosialnya:

"Kepada hati yang sering dihantam rindu akan tanah lahir nan jauh, semoga kita bisa terelak dari rasa yang hanya bisa tersimpan, kenangan yang sebatas dilamunkan, dan kisah yang terpenjara hening. Menyelami masa lalu yang hanya bisa dinikmati sendiri.⁣"

Kesan mendalam inilah yang menguatkan saya mengedit naskah buku 148 halaman itu dalam tempo sesingkat-singkatnya. Di samping karena gaya bahasanya yang 'nyastra', satu hal yang saya suka, buku ini sudah 'siap panen'. Tak banyak yang saya ubah. Hanya beberapa salah ketik (typo), tanda baca, dan sedikit variasi diksi agar lebih 'nendang'. Konsep buku itupun selesai seminggu kemudian. 

Beberapa hari berikutnya, pre order buku ini pun muncul di linimasa. Saya bersyukur melihat antusias followers Opick dalam menyambut kehadiran buku perdananya ini. Dalam satu bulan, sudah ratusan buku yang dia kirimkan. Beberapa testimoni pembacapun bermunculan. 

Sebut saja salah satunya dari Edmalia Rohmani. Kendati tak punya kedekatan atau kenal secara langsung, penulis artikel pajak dan pegiat sastra Kemenkeu itu menyebutkan, membaca karya Opick Setiawan ini seperti membawanya terlempar ke Jayapura, sebuah kota nan elok nun di timur Indonesia. 

"Buku ini layaknya mesin waktu yang memerangkap kenangan sang penulis, yang sengaja membungkusnya dengan untaian kata puitis sebelum rela melepasnya ke mesin cetak, untuk dititipkan pada benak pembaca," tulis kontributor Intax (majalah internal DJP) itu di akun pribadinya, @edmaliarohmani.

Menurut wanita yang akrab disapa Lia itu, "Jejak Lalu" berhasil membawanya terhanyut membayangkan suasana Bukit Teletubbies, Pantai Base-G, Bukit Pemancar Polimak, atau sekadar tergelak-gelak mendengar mop yang membudaya. 

Ia menduga, pun saya sepakat dengannya, bahwa bagi Opick, "Jayapura tidak pernah benar-benar berhasil ditinggalkan meski berlembar-lembar kisahnya diikat dengan tinta."

Pria yang lahir di daerah Angkasa, Jayapura, 36 tahun lalu itu pun mengakuinya. Jayapura baginya memang menyimpan segala bahagia. Perasaan itu tak pernah lekang meski sejak 2014 lalu Opick telah menetap di Bandung, Jawa Barat.

"Sejak meninggalkan kota ini bertahun-tahun silam dan 'hijrah' ke kota Bandung, saya meyakini perasaan ini pun tidak akan berhenti sampai di sini. Hingga benar adanya, hati ini selalu tertinggal untuk merindu," ungkapnya. 

Tak melulu rasa senang yang tertanam dalam ingatannya. Ujian hidup dan kegagalan semasa di Jayapura pun tak luput ia ungkapkan. 

"Hidup memang terkadang membingungkan. Ada kalanya dia membuat kita selayak raja. Berada di atas awan, tercapai segala harap dan ingin. Namun terkadang juga dia membuat kita jatuh tersungkur. Sedalam-dalamnya, serendah-rendahnya, pada nestapa. Hari ini kita disanjung, esok bisa jadi kita dijatuhkan. Iya, hidup memang sangat mudah menampar kita, hingga kita terseok, tertatih, lalu akhirnya menyerah dan berubah arah. Ironi yang tidak dibuat-buat. Mengingatkan bahwa kita sebagai manusia hanya semata yang lemah."

Dari berbagai kisah tak mengenakkan itu, ia mengambil pelajaran. Opick berhasil menganggapnya biasa-biasa saja. 

"Kegelisahan ini entah akan selalu ada. Manusiawi bila hidup terasa melelahkan. Dan tidak mengapa untuk merasa tidak baik-baik saja. Sebijaknya kita harus bertanya pada hati dan diri. Sudah sepatutnya kita banyak merenung. Bisa jadi sujud kita tidak sebanyak pinta kita. Atau pula syukur kita tidak sebanyak sabar kita."

Dengan berbagai nasihat dan kesan mendalam itulah, rekan sejawat saya di bidang P2humas Kanwil DJP Jawa Barat I itu ingin menyampaikan kepada para pembacanya, inilah pesan cintanya tentang Jayapura. 

Jadi, sudah siapkah kita menempuh perjalanan menuju Jejak Lalu


Tabik.

Pradirwan
Bandung, 12 September 2020

***
Jejak Lalu, Opick Setiawan (2020)


Judul buku: Jejak Lalu
Penulis: Opick Setiawan
ISBN: 978-623-6565-75-9
Ukuran: 14x20 cm
Jumlah halaman: 148 halaman
Penerbit: Haura Publishing, Sukabumi
Cetakan pertama: Agustus 2020

***

Untuk pemesanan buku (PO) silakan mengisi tautan berikut https://tinyurl.com/JejakLalu atau menghubungi via WA ke nomor 081910107065


Jabar I Gandeng Tax Center Sebarkan Info Pajak

Kepala Kanwil DJP Jawa Barat I Neilmaldrin Noor memberi sambutan via telekonferensi

Pradirwan
- Kanwil DJP Jawa Barat I menggelar Forum Tax Center 2020 melalui telekonferensi di Gedung Keuangan Negara Bandung (Kamis, 27/8). Kepala Kanwi DJP Jawa Barat I Neilmaldrin Noor dalam sambutannya mengatakan, Forum Tax Center merupakan sarana komunikasi antara Tax Center terkait dengan DJP untuk mendukung peningkatan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak.

“Forum Tax Center ini tentu selain silaturahmi juga sebagai upaya sinergi antara Kanwil DJP Jawa Barat I dengan seluruh Tax Center di wilayah kerja kami. Di tengah situasi  pandemi Covid-19  dan pelemahan ekonomi global maupun nasional, tentu kita tidak boleh lelah untuk terus bersama-sama mengajak semua unsur masyarakat  berkontribusi pada negeri ini,” ungkap Neil.

Pemerintah telah menetapkan anggaran penanganan pandemi virus corona (Covid-19) dan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp695,2 triliun. Kebutuhan dana yang besar ini tentu harus didukung dengan penerimaan negara yang optimal. “Oleh karena itu forum ini adalah momentum yang tepat untuk bekerja sama dan bergotong royong demi negeri ini,” ujarnya.

Pada kesempatan ini, Neil juga mengatakan bahwa ke depan DJP berharap agar sinergi dan kerja sama tentang penelitian potensi perpajakan berbasis wilayah bisa dimulai. "Sebagaimana diketahui, untuk meningkatkan efektivitas kinerja pengawasan serta penggalian potensi pajak, DJP melakukan perubahan tugas dan fungsi KPP Pratama. Arah perubahan yang menjadi bagian dari strategi pendekatan berbasis kewilayahan ini berlaku mulai 1 Maret 2020 lalu," jelas Neil.

Lebih lanjut Neil berharap, meskipun saat ini sedang dilanda pandemi, Tax Center tetap aktif menjadi mitra DJP dalam menyampaikan info perpajakan kepada masyarakat. "Terlebih saat ini banyak kebijakan baru terkait stimulus fiskal. Kami telah menyediakan berbagai kanal layanan informasi. Yang terbaru, kami meluncurkan Podcast 'Ngajak' atau Ngawangkong Pajak di Youtube kami untuk lebih memudahkan masyarakat memahami pajak," terang Neil.

Neil mengaku terbantu dengan adanya Tax Center yang ikut menyebarluaskan informasi perpajakan kepada masyarakat. “Kami mengucapkan terima kasih atas dukungan Tax Center selama ini. Mudah-mudahan kerja sama ini bisa terus kita tingkatkan,” ungkapnya.

Kepala Bidang P2Humas Kanwil DJP Jawa Barat I Reny Ravaldini

Kepala Bidang P2Humas Kanwil DJP Jawa Barat I Reny Ravaldini mengatakan Forum Tax Center tahun 2020 kali ini mengambil tema "Sinergi di Tengah Pandemi, Bersama Tingkatkan Kepatuhan Wajib Pajak". Dengan semangat kebersamaan di tengah pandemi Covid-19, Reny berharap seluruh Tax Center agar merenungkan kembali tujuan awal pendirian Tax Center di masing-masing Perguruan Tinggi.

“Untuk lebih menggugah semangat dan kepedulian Tax Center, tahun ini kami juga mengadakan penulisan artikel perpajakan dengan tema "Peran Tax Center dalam Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak”. Terima kasih kepada seluruh perwakilan Tax Center yang telah mengirimkan karyanya,” ungkapnya.

Kanwil DJP Jawa Barat I saat ini telah bekerja sama dengan 16 Tax Center. Sebanyak 12 di antaranya berada di Kota Bandung dan 4 Tax Center lainnya berada di luar Bandung. Dalam forum ini pula Kepala Seksi Kerja Sama dan Humas Kanwil DJP Jawa Barat I Sintayawati Wisnigraha menyampaikan evaluasi program kerja Tax Center dan mengumumkan pemenang lomba penulisan artikel.

Kepala Seksi Kerja Sama dan Humas Kanwil DJP Jawa Barat I Sintayawati Wisnigraha

Artikel dengan judul “Tax Center Sebagai Sarana Pendukung dalam Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak” karya Riauli Susilawaty Hutapea dari Tax Center Politeknik Negeri Bandung berhasil menjuarai lomba ini.

Selanjutnya, artikel berjudul “Peran Tax Center dan Implementasinya dalam Perpajakan” karya Dedy Suryadi dari STIEB Perdana Mandiri Purwakarta sebagai juara kedua dan artikel “Tax Center: Gerbang Kesadaran dan Kepatuhan Wajib Pajak” karya Lina Said dari Tax Center STIE Ekuitas Bandung menjadi juara ketiga. (HP)

sumber: pajak.go.id

Menulis, Mengingat, Melupakan

 

Pradirwan sesi berbagi menulis kpp cibeunying

"Momen apa yang paling membahagiakan Anda dalam seminggu ini?"

Jawabannya tentu saja akan beragam. Bisa momen pernikahan, kelulusan, peluncuran buku, pertemuan dengan kawan lama, dan lain-lain. Semua jawaban itu tergantung dari tingkatan kesan yang diingat oleh otak masing-masing. 

Konon, otak manusia didesain untuk melupakan hal-hal yang dianggap tidak relevan dengan masa kini. Sepanjang sejarahnya, manusia akan mengingat hal yang benar-benar penting dan akan melupakan sisanya. 

Ini karena ingatan manusia terus-menerus direkonstruksi. Ingatan tidak disimpan dalam kondisi murni, tetapi diubah seiring berjalannya waktu untuk membantu mengatasi kondisi disonansi kognitif.

Misalnya, saat pegawai menerima SK mutasi, ada perasaan tidak nyaman yang terjadi. Namun, ketika sudah mengalami, mengenal kantor baru, dan beradaptasi, pegawai tersebut akan mengabaikan konflik batin yang terjadi di masa lalu itu. Bahkan dia bersyukur telah memperoleh SK mutasi itu. 

Melupakan juga membantu manusia untuk fokus pada masalah yang terjadi saat ini dan merencanakan masa depan. Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang terlalu terikat pada masa lalu, akan merasa sulit untuk hidup dan menjalani di masa kini. 

Kita tidak akan mungkin menyimpan setiap kejadian keseharian. Melupakan, akan menciptakan ruang untuk sesuatu yang baru dan memungkinkan orang melampaui apa yang sudah mereka ketahui.

Karena manusia selalu banyak lupa, kita belajar bagaimana menjaga hal-hal yang benar-benar penting. 

Pradirwan sesi berbagi menulis kpp cibeunying

Lalu bagaimana caranya agar tidak lupa? Kita bisa memulainya dengan menulis, menyimpan foto, atau merekam video setiap momen yang kita anggap penting atau mencerahkan. 

Hal-hal itulah yang saya lakukan. Sejak 5 tahunan lalu, saya mulai belajar menulis. Merekam momen penting untuk saya arsipkan dalam blog, atau mengunggahnya menjadi status media sosial. 

Kebiasaan ini berlangsung hingga sekarang. Kebiasaan yang membuat saya belajar berbagai hal dan menghubungkan dengan banyak orang. 

Maka, ketika saya diminta untuk berbagi pengalaman oleh KPP Pratama Bandung Cibeunying, Selasa (18/8), saya senang. Ini adalah kesempatan langka yang tak bisa saya sia-siakan.

Pradirwan sesi berbagi menulis kpp cibeunying

Dalam kesempatan tersebut, saya menyampaikan cara berkomunikasi lewat tulisan. Komunikasi yang efektif bisa dicapai lewat sebuah tulisan. Bagaimana caranya? Penulis Barbara Tuchman mengatakan, “Tidak ada yang lebih memuaskan daripada menulis kalimat yang baik."

Selama ini saya belajar membuat tulisan yang baik, yaitu tulisan yang mudah dipahami, mengalir, enak dibaca, dan tentu saja dapat dipertanggungjawabkan isi dan kebenarannya. Bahkan, tulisan yang baik seringkali mampu membawa emosi para pembacanya, sehingga mereka benar-benar menghayati saat membaca tulisan tersebut.

Dari semua tulisan, saya mendapati tiga permasalahan: ide/topik, amunisi, dan latihan.

1. Ide/topik tulisan bisa apa saja, tetapi penulis yang baik selalu menemukan sudut pandang yang spesial. Tulisan yang baik ketika penulisnya bisa menyajikan dengan sudut pandang yang berbeda, belum terpikirkan oleh pembaca, atau ada gagasan baru yang ia sampaikan. 

2. Penulis yang baik membutuhkan "amunisi" untuk menulis.

Amunisi menulis ini bisa diperoleh melalui tiga hal:

a. Banyak membaca buku. 

Tulisan baik seringkali dihasilkan dari referensi-referensi buku/bahan bacaan yang baik. Dari sumber bacaan itu, kita perlu untuk menganalisis kelebihan-kelebihan tulisan tersebut. Kita perlu tahu di mana titik kekuatannya dan di mana titik kelemahannya. 

"Satu paragraf yang kamu tulis setara dengan satu buku yang harus kamu baca."

Kutipan ini semakin menegaskan betapa pentingnya banyak membaca referensi (buku). Tanpa membaca, tidak akan bisa menjadi penulis.

Dengan membiasakan membaca buku terbaik, kita bisa terdorong untuk menghasilkan tulisan yang terbaik juga.

b. Banyak melakukan perjalanan. 

Bila terus dalam rutinitas, rasa jemu kerap terasa. Saat itulah perlu waktu jeda istirahat. Aktivitas traveling dianggap perlu, karena dapat menikmati suasana baru meski sejenak.

Traveling kerap membuka peluang seseorang menemukan hal baru dalam sebuah perjalanan. Kadang, hal-hal baru dan mengesankan yang tak terduga bisa dirasakan saat dalam perjalanan. 

Berbagai pengalaman saat melakukan perjalanan itu bisa menjadi amunisi untuk menulis. 

c. Bertemu dengan orang-orang bijak. 

Mendapatkan amunisi menulis tak hanya dari pengalaman penulisnya sendiri. Bisa juga dari pengalaman orang lain. Caranya, ajak mereka bercerita tentang pengalaman hidupnya. 

Misalnya, jika ada tukang bakso yang sudah puluhan tahun berjualan bakso. Cerita pengalaman berjualan bakso yang dia sampaikan akan menjadi amunisi di kepala. 

3. Kalimat pertama adalah mudah, gaya bahasa adalah kebiasaan, menyelesaikan lebih gampang lagi. 

Banyak yang bilang membuat kalimat pertama itu sulit. Padahal, kalimat pertama itu mudah. Tulis saja yang terlintas di kepala. Keluarkan semuanya. Setelah selesai, baru lakukan penyuntingan. Kalimat-kalimat yang tidak dibutuhkan bisa dibuang. 

Konon manusia modern itu menulis minimal 1000 kata per hari dalam berbagai platform (mulai whatsapp, status dan komentar di media sosial, dan lain-lain). Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya kita sudah terbiasa dengan menulis. 

Biasakan menulis dengan baik 1000 kata per hari. Semakin sering menulis, akan menjadi kebiasaan. Gaya tulisan pun akan terbentuk dengan sendirinya. 

Jika sudah mentok, tulis saja kata "tamat". 

Saya masih belajar agar setiap tulisan-tulisan saya dapat menjadi lebih baik setiap harinya.

Saya percaya, tidak ada yang disebut ahli kecuali ia rajin belajar dan terus berlatih. 

Mari, mulailah menulis sejak saat ini!


Pradirwan

Bandung, 20 Agustus 2020

 
Copyright © 2021 Pradirwan and OddThemes