BREAKING NEWS

Harta Banyak = Pajak Besar?

Harta banyak berarti pajaknya besar? (ilustrasi)

Minggu lalu adalah minggu yang berat buat saya. Mendengar kabar bapak saya yang masuk ICU membuat saya terpaksa mengajukan cuti. Untunglah bapak bisa pulang dari rumah sakit setelah 5 hari dirawat di rumah sakit dan diijinkan untuk rawat jalan karena kondisinya membaik. Setelah berada dirumah akhirnya saya berkesempatan untuk bersilaturahmi dengan tetanggaku. Di rumah bapak banyak yang menjenguk, karena bapak harus banyak istirahat, maka saya menemani para tamu yang semuanya adalah tetanggaku. Kami mengobrol diteras rumah, sementara bapak istirahat didalam kamar. Saat mengobrol itu tiba-tiba pak Guru bertanya tentang pajak.

“Saya sudah punya NPWP, saya dapat surat himbauan untuk lapor SPT tahunan.” Pak Guru dengan santai duduk di depan saya dan memulai obrolan tentang pajak. Saya mendengarkan dengan serius.

“Ya nih, mumpung kamu pulang, jadi saya bisa curhat. Emang wajib ya lapor SPT Tahunan? tiap bulan gaji saya sudah dipotong pajak sama Bendahara, trus Bendahara juga sudah melaporkan pajak yang dipotong itu ke kantor pajak, bahkan di akhir tahun laporan itu sudah menyebutkan rincian nama beserta jumlah penghasilan dan pajak yang dipotong dari masing-masing karyawan. Harusnya ga perlu lagi lapor SPT, pajaknya kan sudah beres?”

“Jadi gini lho Pak Guru, pada dasarnya kewajiban di pajak itu ada dua, bayar pajak dan lapor.” Saya berusaha menjelaskan.

Kewajiban yang pertama, bayar, bisa dilakukan dengan dua cara :

  1. Bayar sendiri, umumnya ini dilakukan oleh wajib pajak yang punya usaha sendiri
  2. Dibayarkan oleh pihak lain, contohnya pajak karyawan pembayarannya dipotong melalui perusahaan atau Bendahara kayak pak Guru ini.

Kewajiban yang kedua adalah lapor, menurut undang-undang pajak, laporan ini pada dasarnya mencakup tiga hal:

  1. Pembayaran pajak, baik yang dibayar sendiri atau yang dipotong pihak lain
  2. penghasilan
  3. Harta dan utang

“Yang dilaporkan sama Bendahara itu kan cuma gaji dari kantor Dinas dan pajaknya, ga nyebutin penghasilan kita yang dari luar alias sampingan, juga ga nyebutin harta sama utang kita.” 

“sebentar, kalo penghasilan dari luar disebut aku masih bisa paham, tapi kok sampai ke harta dan utang segala, buat apa?” Tanya Pak Guru lagi.

“Gini Pak Guru, waktu habis gajian, apa yang pak Guru lakukan?” Saya balik nanya.

“Beli kebutuhan dapur.”

“Trus bayar listrik, SPP anak, beli pulsa, dan macem-macemnya.” Kata saya meneruskan.

Intinya saat menerima penghasilan, yang pertama kali dilakukan adalah melakukan konsumsi. Setelah konsumsi selesai dilakukan, ada dua hal yang mungkin terjadi:

  • Gajinya masih tersisa, akhirnya berwujud harta
  • Gajinya kurang, terpaksa utang

“Artinya jumlah harta dan utang bisa dijadikan salah satu ukuran, apakah penghasilan yang dilaporkan ke kantor pajak itu sudah benar atau belum, wajar atau tidak.”

“Memangnya penghasilan yang di laporan pajak itu harus bener dan wajar ya?”

Ya memang harus begitu!

Klo menurutmu kalo hartaku dilaporkan semua bahaya atau ga?”

Bahaya?

“Maksudnya apa nanti bikin pajakku jadi lebih gede?”

Walah, ini mungkin juga contoh lain dari salah kaprah yang ada di masyarakat dalam masalah pajak. Beberapa orang berpikir kalo jumlah harta yang dilaporkan dalam SPT Tahunan besar maka jumlah pajak yang harus dibayar akan bertambah besar.

“Apa urusannya jumlah harta sama pajak penghasilan ?” Tanya saya.

“Ya saya ga ngerti, makanya aku nanya.” Ujar pak Guru.

Sebenernya ga heran juga kalo banyak orang berpikir seperti Pak Guru. Jaman dulu, sebelum PPh dikenal masyarakat seperti saat ini, masyarakat lebih dulu akrab dengan jenis pajak yang terkait dengan nilai harta, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan dan Pajak Kendaraan Bermotor, yang semakin tinggi nilai bendanya maka semakin tinggi juga nilai pajaknya.

“Pajak Penghasilan itu ga terkait langsung sama jumlah harta, dari namanya aja pajak penghasilan, ngitungnya ya berdasarkan jumlah penghasilan, bukan jumlah harta.” Kata saya.

Misalnya penghasilannya gede sedangkan jumlah harta kecil, pajak penghasilannya ya gede. Tapi kalo penghasilannya kecil, walaupun jumlah hartanya gede, pajak penghasilannya ya tetep kecil.

“Jadi ga masalah kalo ditulis semua ya?” Tanya Pak Guru lagi.

“Ga masalah.”

“Tapi kalo ga ditulis semua juga ga masalah kan?” Tanya pak Guru lagi sambil minum kopi yang disediain istriku.

“Nah, kalo itu baru masalah.” Jawab saya.

Kok bisa?

Pak Guru mungkin jarang memperhatikan bahwa ada pernyataan yang tertera saat  tandatangan pada formulir SPT Tahunan :

Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, saya menyatakan bahwa apa yang telah saya beritahukan di atas beserta lampiran-lampirannya adalah benar, lengkap dan jelas.

Benar, lengkap, dan jelas, artinya ga ada yang ditutup-tutupi dalam laporan itu.

“Kalo misalnya suatu saat diperiksa sama orang pajak trus ada harta yang ternyata ga dilaporkan, bisa-bisa dianggap belum melaporkan penghasilan yang telah dipake untuk membeli harta itu.” Tutur saya.

“Tapi kan ga semua atas namaku, motor-motor itu beberapa masih atas nama pemilik lama kok. Jadi ga perlu diaporkan?” Pak Guru masih nawar.

"Ya sudah, kalo memang ga mau ngaku itu hartanya Pak Guru, sini motornya kasih satu buat saya."

"Ya sini bayar, 10 juta aja ya" sambil permisi pulang.

Dan obrolan kami pun berlanjut ke topik yang lain, dengan tetanggaku yang lainnya...

baca juga :

Formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi 1770 S Tahun 2013 (Excel)

Kini Lapor Pajak menjadi lebih cepat, lebih murah, lebih mudah, dan kapan saja dengan e-Filing

 Formulir SPT tahunan PPh 1770SS berubah mulai tahun pajak 2013


Sumber: pajakpasuruan.wordpress.com

Share this:

Post a Comment

 
Copyright © 2021 Pradirwan and OddThemes