BREAKING NEWS
Showing posts with label Catatan Menulis. Show all posts
Showing posts with label Catatan Menulis. Show all posts

Menulislah Untuk Orang Lain

Pradirwan saat mengisi sesi berbagi tentang menulis. (Photo: Gigeh Hari Prastowo) 

"Aku belajar dan membaca agar umur orang lain berguna bagiku, dan aku menulis agar orang lain mengambil manfaat atas umurku." ~ Felix Siauw.

Pradirwan ~ Entah sejak kapan kebiasaan menulis itu aku mulai. Awalnya mungkin sekadar iseng-iseng saja. Menuliskan segala sesuatu yang terlintas di kepala, menyalurkan ide-ide yang beterbangan, tidak bertujuan untuk mencari uang, hanya mencatat hal-hal yang aku sukai, atau yang sedang aku pelajari, atau sekadar meninggalkan jejak.

Strategi Visual Marketing Online

Sharing session visual marketing online kepada sekitar 100-an pelaku UMKM dalam acara yang digelar Kanwil DJP Jawa Barat I di Auditorium GKN Bandung, (Senin, 16/09/2019)


Pradirwan - Perkembangan teknologi saat ini demikian pesat. Perubahan pola perilaku manusia saat ini terpengaruh oleh perkembangan teknologi yang semakin canggih itu. Sebut saja kemunculan media sosial. Dengan dukungan berbagai piranti canggih yang dilengkapi beragam fiturnya yang mumpuni serta harga ekonomis, menjadikan media sosial semakin diminati.

Survei yang dilakukan Jakpat menyebutkan, secara umum Facebook dan Instagram masih menjadi platform media sosial yang paling banyak digunakan pada semester I-2019 di Indonesia. Hasil ini masih sama dengan semester I tahun lalu. Meski begitu, Youtube bisa menghasilkan banyak pengguna dan menempati posisi kedua setelah Facebook.

Survei itu mencatat, Facebook memiliki 86% pengguna, Youtube 83% pengguna, dan Instagram 75% pengguna. Kehadiran para Youtuber mempengaruhi secara signifikan generasi milenial dan menjadikannya salah satu platform yang paling banyak diakses para pengguna Indonesia.

Berdasarkan rentang usia, usia muda (16-29 tahun) lebih memilih Instagram sebagai platform yang paling informatif dan menghibur bersama Youtube. Sementara itu, untuk usia menengah (30-39 tahun), Facebook menjadi platform terinformatif, sedangkan Youtube menjadi platform terfavorit yang mereka pilih atas konten-kontennya yang menghibur.

Saat ini, media sosial digunakan untuk berbagai kepentingan. Sifat media sosial yang dapat menjangkau luas orang-orang dari seluruh belahan dunia, bisa komunikasi 2 arah, penyebaran informasi dapat berlangsung secara cepat, segmentasi dapat disesuaikan, popular, bisa menghimpun data, ekonomis, dan terukur membuatnya banyak digunakan untuk menunjang bisnis.

Hanya dalam hitungan detik, sebuah konten terkait produk yang dibagikan bisa diakses secara bebas oleh semua orang yang menggunakan media sosial tersebut.

Ya, strategi pemasaran kini berubah. Kini visual marketing tak hanya mengandalkan media publikasi konvensional. Orang-orang menggunakan media sosial untuk mendongkrak omzet mereka.

Seorang pengusaha, penulis, dan pembicara publik asal Amerika Serikat, Seth Godin mengatakan, perhatian dan kepercayaan adalah dua elemen paling berharga dari ekonomi kita ke depan. Pertanyaannya, bagaimana agar konten yang dibagikan itu mendapat perhatian dan pemasar mendapat kepercayaan?

Jadilah yang menarik perhatian

Content is a king. 'Bermainlah' dengan konten dan caption yang menarik di media sosial. Buatlah konten visual (foto, grafis, video) yang memikat, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk visual, dan informasi visual jauh lebih ‘lengket’ daripada konten jenis lain.

Kekuatan visual akan membuat pemasaran menjadi lebih kuat, lebih berkesan, dan dapat mengubah hal-hal tak berwujud menjadi sesuatu yang konkret, serta membantu pelanggan membayangkan pesan dan mem-branding produk kita di alam pikiran mereka.

Sudah banyak akun media sosial yang dibuat untuk memasarkan produk. Namun di antara akun-akun itu, hanya sedikit yang berhasil meningkatkan penjualan produknya. Apa yang kita lihat berulang kali menunjukkan bahwa seseorang atau organisasi yang berhasil adalah mereka yang menjadikan setiap kontennya adalah raja. Mereka menaruh perhatian serius pada setiap konten yang dibagikannya.

Selain membuat visual yang menarik, caption juga memegang peranan penting. Fred S.Parrish dalam bukunya “Photojournalism: An Introduction” menjabarkan bahwa caption membantu mengarahkan perspektif sebuah foto dan menjelaskan detail informasi yang tidak ada dalam gambar, membingungkan, atau tidak jelas.

Ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan hanya melalui konten visual dan platform media sosial menyediakan ruang untuk melengkapi kekurangan itu. Ruang itu disebut caption yang bisa dimanfaatkan untuk menuliskan deskripsi, daya tarik, bahkan kelebihan produk.

Setiap informasi yang detail akan membuat konsumen menyadari keunggulan produk kita dibandingkan kompetitor. Misalnya saat berjualan produk elektronik, kita bisa menuliskan di caption bahwa produk tersebut memiliki usia baterai lebih lama dibanding produk lain. Hal seperti ini tentu saja tidak bisa dilihat melalui foto, bukan?

Bangun Kepercayaan dan Jadilah yang Diinginkan Banyak Orang 

Mereka yang tidak bisa menarik perhatian, akan dilewatkan begitu saja. Alternatifnya, gunakan platform media sosial yang memasarkan dengan sisi manusia kita sebagai makhluk sosial. Selalu ramah dan rendah hatilah saat berinteraksi dengan pelanggan. Bertindaklah dengan cara membantu pelanggan mencapai impian, tujuan, dan keinginan mereka.

Kita tahu, sulit untuk menebarkan kepercayaan dalam media sosial. Terlebih kepada orang-orang yang baru dikenal. Tetapi ketika kita dapat membuatnya percaya dan membuat akun media sosial kita menjadi seperti yang mereka inginkan, mereka akan berkata, “Akun ini berbeda.”

Setiap pelanggan tentu akan menuntut kita membuat sesuatu yang istimewa. Ketika satu orang pelanggan sudah percaya, maka dia akan berbagi pengalamannya dan merekomendasikan akun kita, sehingga pelanggan baru akan mudah menemukan produk kita. Bukankah tidak ada yang dapat memengaruhi orang lebih baik dari rekomendasi seorang teman terpercaya?*



*quote dari pendiri Facebook, Mark Zuckerberg.



artikel ini ditayangkan pertama kali di inilah koran

Humas Pajak Sambut Era Industri 4.0

Humas Pajak 4.0
Pradirwan - Zaman telah berubah. Kita telah berada di era Industri 4.0. Sebuah era yang mengubah tidak saja tatanan proses bisnis yang ada, tetapi juga peran profesi di dalamnya. Teknologi telah mengganti sebagian peranan manusia. Peran manusia akan berkurang, bahkan konon akan digantikan Artificial Intelligence dan robot termasuk profesi hubungan masyarakat atau public relations (PR).

Jurnalis itu Sejarawan

Saya saat menjadi nara sumber kegiatan Koordinasi Publikasi dan Tim Media Sosial Kanwil DJP Jawa Barat II di KPP Pratama Subang, (Selasa, 5/3). Kegiatan ini melibatkan insan-insan kreatif yang berada di balik media sosial seluruh unit DJP yang berada di Kanwil DJP Jawa Barat II, baik taxmin (admin medsos unit DJP), kontributor berita, pembuat infografis, fotografer, maupun videografer. (dok. KPP Pratama Karawang Selatan)

“Jurnalis itu seperti sejarawan. Dia menulis sejarah peristiwa hari ini.”
~Amarzan Loebis

Pradirwan - Saya memutuskan menulis sejak 2013. Awalnya melihat teman yang punya blog. Dalam pekerjaan, saya menerima banyak pertanyaan berulang dan harus saya jawab berulang pula. Agar lebih efisien, saya gunakan tulisan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan menuliskannya dalam blog. Belakangan, tulisan-tulisan saya menjadi tulisan jurnalistik.

Blog inilah yang menjadi catatan saya. Blog yang menjadi saksi sejarah saya belajar banyak hal, termasuk menulis dan memotret.

Sejarah didefinisikan sebagai peristiwa yang dilakukan manusia pada masa lampau di tempat tertentu, dan pada waktu tertentu. 


Sebagai peristiwa masa lampau, sejarah sering dipahami dalam dua hal, yaitu sejarah sebagai realitas peristiwa (history as actuality), dan sejarah sebagai kisah peristiwa (history as written).

Sejarah sebagai realitas peristiwa bersifat unik, terjadi hanya satu kali, dan mustahil terulang. Ini yang seringkali saya sebutkan sebagai momen. Tak akan pernah ada momen yang sama persis, maka itu seringkali saya manfaatkan setiap momen tersebut untuk diabadikan dengan membuatnya sebagai suatu karya (foto/tulisan/video).

Sejarah sebagai kisah peristiwa masa lampau adalah realitas peristiwa masa lampau yang menjadi tugas sejarawan untuk menelitinya, melalui jejak yang ditinggalkan, lalu kemudian direkonstruksi menjadi kisah. Beberapa sumber yang menjadi rujukan di antaranya setiap catatan, saksi, atau bukti-bukti sejarah lainnya.

“Ada empat proses dalam jurnalisme: reporting, interviewing, writing, editing.”

Tugas jurnalis menuliskan setiap peristiwa yang mempunyai news values. Redaktur senior Tempo Amarzan Loebis mengatakan, “Jurnalis itu seperti sejarawan. Dia menulis sejarah peristiwa hari ini.” Konsekuensinya, jurnalis harus teliti dan akurat. Apa pun yang dia tulis akan menjadi rujukan fakta di kemudian hari.

Jurnalis menulis sejarah hari ini, besok bisa jadi ada fakta, konteks peristiwa, atau data pembanding dari sumber-sumber lain yang ditemukan. Bisa jadi apa yang dia tulis kemarin, sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan beberapa waktu setelahnya. Tidak ada kebenaran yang mutlak. Maka itu, seorang jurnalis harus rendah hati dan berpikiran terbuka.

Untuk dapat menulis berita, dibutuhkan bahan tulisan. Penggalian bahan ini bisa diperoleh dari peliputan peristiwa (reportase), wawancara, dan riset. Jurnalis yang baik akan menggali fakta, bukan mendengar analisis narasumber atau bahkan adu argumen dengannya ketika wawancara. Analisis narasumber hanya diperlukan wartawan untuk konteks dan perspektif dalam menulis sebuah peristiwa. Karena itu wartawan yang baik pandai membuat pertanyaan yang ia kembangkan dari jawaban narasumber.

Pemilihan narasumber juga tak kalah penting. Wartawan Tempo, Bagja Hidayat menjelaskan, dalam jurnalistik ada lima jenis narasumber yang bisa diwawancarai berdasarkan validitas informasi sebuah peristiwa: 1) pelaku, 2) mereka yang melihat, 3) dia yang paling tahu, 4) mereka yang berwenang, 5) pakar.

Urutan ini tak boleh tertukar. Jenis-jenis narasumber ini yang akan menentukan nilai sebuah berita. Jika narasumber sebuah peristiwa hanya “ia yang berwenang”, seperti polisi, apalagi juru bicara polisi, gradasi informasinya tak lebih kuat dibanding jika narasumbernya mereka yang melihat langsung peristiwa itu, apatah lagi mereka yang terlibat.

Dua modal jurnalis yang wajib dimiliki, sikap skeptis dan curious. Dua senjata ini juga memungkinkan sebuah wawancara bisa lengkap, bahkan mengungkap. Jika hilang dua sifat ini, jurnalisme menjadi cacat. Kekaguman terhadap narasumber menghilangkan sikap kritis. Sebaliknya, kebencian juga bisa menjerumuskan wartawan pada kenyinyiran yang menjengkelkan. Jika tak kritis dan skeptis, karena kagum atau benci kepada narasumber itu, hal-hal mendasar dalam wawancara bisa terabaikan. Misalnya, wartawan lupa bertanya harga sepatu setelah narasumbernya menyebut merek.

Kesimpulannya, tulisan bagus ditopang bahan yang lengkap. Soalnya, bahan lengkap saja belum tentu menghasilkan tulisan bagus, apatah lagi bahannya tak lengkap. Bahan lengkap ditentukan saat wawancara. Wawancara yang baik jika wartawannya kritis dan skeptis. Aib bagi seorang wartawan adalah tak bisa bertanya di hadapan narasumber akhirnya tak bisa mendapatkan bahan yang lengkap.

Penulis Mesir, Nagouib Mahfoudz, mengatakan bahwa orang pintar terlihat dari pertanyaannya, sementara orang bijak terlihat dari jawabannya. Narasumber akan menghargai pewawancara jika ia mendapat pertanyaan-pertanyaan yang sederhana tapi menohok. Karena itu narasumber ini akan terdorong untuk menjelaskan lebih rinci. Sebaliknya, pertanyaan bodoh memancing narasumber mendominasi bahkan menyembunyikan informasi. Karena itu sebaik-baiknya pertanyaan adalah yang memancing jawaban. Dan wartawan kreatif menciptakan pertanyaan dari jawaban tersebut.



Sumber :
Jurnalistik Dasar, Resep dari Dapur Tempo (Tempo Institute, 2017) 

Wawancara Mengawetkan Sejarah, Bagja Hidayat (Wartawan Tempo, Catatan Iseng, 2018)

Artikel ini ditayangkan di AyoBandung.com

10 Years Challenge dan Keabadian

Seorang peserta sosialisasi mengabadikan moment dengan telepon pintarnya (Rabu, 16/01/2019) 


Pradirwan - Fenomena Tantangan Sepuluh Tahun atau 10 Years Challenge sedang mewabah warganet dalam beberapa hari terakhir. Ada yang sekadar berbagi foto-foto pribadi dari 10 tahun sebelumnya, tapi, lagi-lagi, ada juga yang menggunakannya untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Orang-orang itu sibuk mencari foto dari sepuluh tahun lalu, atau yang diambil pada 2009, untuk kemudian diunggah ke berbagai platform media sosial dan dibandingkan dengan foto terbaru yang diambil di tahun 2019. Itulah esensi tantangan ini, karena mencari arsip foto sepuluh tahun lalu bagi sebagian orang tidaklah mudah.

Perusahaan periklanan media sosial, Spredfast mencatat, sebagaimana dikutip dari BBC.com (16/1/2019), tagar #10YearsChallenge mulai digunakan di Indonesia sejak 14 Januari 2019 dan masih meningkat terus penggunaannya sampai tulisan ini dibuat.

Terlepas dari apakah dampak yang ditimbulkan positif atau negatif sebagaimana yang disampaikan Kate O'Neill dalam tulisannya yang ditayangkan di situs wired.com, ada hal menarik perhatian saya, yaitu tentang foto dan keabadiannya.

Seorang seniman kelahiran Pennsylvania, Andy Warhol pernah mengatakan, “Hal terbaik mengenai sebuah gambar adalah gambar itu tidak pernah berubah, bahkan ketika orang-orang yang ada di dalamnya sudah berubah."

Untuk mendapatkan foto, cara satu-satunya adalah dengan memotret (fotografi). Maka tak heran muncul ungkapan bahwa memotret merupakan salah satu sarana untuk mengabadikan sebuah moment. Ya, memotret ialah laku hidup demi sebuah kekekalan.

Lalu kemudian muncul pertanyaan lainnya, apakah benar moment yang kita tangkap melaui fotografi dapat abadi?

Apakah bisa kita mengabadikan sesuatu sedangkan eksistensi kita diragukan keabadiaannya?

Jelas sesuatu yang rumit untuk saling dikaitkan, karena pada dasarnya kita sendiri akan hilang bersama eksistensi kita.

Lantas, bagaimana caranya agar kita bisa abadi meskipun kita sudah tak bisa eksis lagi?

Kisah sastrawan terbaik yang pernah Indonesia miliki, Pramoedya Ananta Toer, mungkin bisa dijadikan referensi. Lelaki kelahiran Blora, 6 Februari 1925 ini menjadi legenda dunia kepenulisan Indonesia berkat tulisan-tulisannya.

Dalam bukunya yang berjudul "Anak Semua Bangsa", Pram menyampaikan sebuah gagasan yang sangat cemerlang, bahwa "Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian".

Saat saya membuat tulisan ini, kutipan Pram di atas setidaknya disukai oleh 916 orang di situs Goodreads. Tertinggi dibandingkan kutipan lainnya dari karya-karyanya.

Banyak orang pintar, rajin membaca, namun jarang menulis. Mereka punya banyak ilmu dan pengalaman, namun tidak pernah membagikannya lewat tulisan. Bagi saya keputusan mereka itu sangat disayangkan, karena apa yang mereka miliki hanya akan bermanfaat buat dirinya sendiri. Akan berbeda jika mereka menuliskan apa-apa yang dikuasainya. Tentu dampaknya akan lebih luas. Mereka bisa membawa pengaruh juga manfaat kepada orang lain dan akan terus berguna buat generasi selanjutnya.

Lebih lanjut, saya ingin menyampaikan kutipan Pram lainnya, "Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suara mu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari."

Perhatikanlah kutipan-kutipan Pram diatas. Sudah dapatkan benang merahnya? Ya, berkarya (dalam hal ini menulis). Apa yang kita 'suarakan' melalui karya tersebut akan abadi. Meskipun eksistensi kita telah lenyap, masyarakat masih dapat merasakan kehadiran kita melalui karya-karya yang telah kita wariskan. Bahkan, suatu saat dapat mempelajari atau merenungkan atas apa yang telah kita torehkan.

Dampak lebih dahsyat dapat diperoleh jika sebuah karya tulisan dibarengi dengan karya foto. Penggambaran tulisan akan lebih nyata jika bisa memadupadankan dengan karya fotografi.

Itulah kenapa, fotografi jurnalistik menjadi bagian penting. Melihat sejarah Indonesia, fotografi jurnalistik berkembang beriringan dengan perjuangan untuk meraih kemerdekaan.

Bisa kita saksikan, gambar-gambar sejarah seperti proklamasi kemerdekaan, bukan hanya hasil keberuntungan para fotografernya, namun merupakan kegigihan dan komitmen yang mendalam untuk menghasilkan foto yang menarik. Meski fotografernya telah tiada, foto-foto itu seolah menceritakan kejadian di balik setiap foto.

Maka, ingatlah satu hal. Mereka yang berkarya akan hidup bersama dengan karyanya. Walaupun eksistensi dirinya telah lenyap, tetapi karya mereka akan abadi. Setidaknya sampai karya tersebut lenyap bersama alam semesta.

Maka, apakah masih ada keraguan untuk berkarya?


***

artikel ini pertama kali ditayangkan di AyoBandung.com dengan judul #10YearsChallenge dan Keabadian

Pelajaran Tersulit

Kepala Kanwil DJP Jawa Barat I Yoyok Satiotomo bersama Kepala Kanwil BPN Prov. Jawa Barat Yusuf Purnama saat kunjungan kerja, Rabu (09/01/2019).

Matematika dan Bahasa Indonesia, menurutmu mana pelajaran yang paling sulit saat sekolah dulu?

Pradirwan - Jawaban pertanyaan ini sangat subjektif. Masing-masing orang bisa berbeda-beda. Banyak yang menganggap bahwa Matematika merupakan pelajaran tersulit. Tapi tidak bagi saya. Matematika merupakan pelajaran yang bisa saya kuasai saat itu. Dalam beberapa kesempatan mengikuti ujian, saya pernah mendapat nilai maksimal untuk pelajaran mengotak-atik angka itu.

Saya mendapat hasil berbeda saat menghadapi pelajaran Bahasa Indonesia. Saya jarang sekali mendapat nilai maksimal. Meskipun saya lahir dan besar di Indonesia, entah kenapa memahami bahasa Indonesia terasa sedikit kesulitan.

Saya jadi teringat saat hari pertama masuk sekolah usai libur panjang. Wali kelas saya sering menugaskan untuk membuat tulisan bertema liburan. Kala itu, kata pembuka yang sering saya gunakan adalah "Pada suatu hari, saya liburan ke ...", seolah tidak ada kata lain yang lebih indah untuk digunakan.

Kebiasaan menempatkan kata keterangan waktu di awal kalimat itu sepertinya 'diwariskan' hingga sekarang. Padahal, sebuah kalimat sebaiknya berstruktur Subjek, Predikat, Objek, baru setelahnya Keterangan (SPOK). Betul 'kan?

Permasalahan lain yang sering saya alami yaitu kehabisan ide. Habis kalimat ini, saya menulis apa lagi ya? Terkait ini, saya teringat kata-kata guru saya untuk membuat kerangka tulisan terlebih dahulu. Ya, langkah pertama menulis adalah buatlah kerangka tulisan. Lalu, mulailah menulis.

Persoalannya, saya kerap kebingungan saat membuat kerangka tulisan ini. Mulai dari mana, apa yang mesti ditulis, dan bagaimana merumuskan alinea demi alinea itu hingga utuh menjadi sebuah tulisan?

Sejak saya sering berlatih menulis dan membaca berbagai tulisan teman-teman, saya baru menyadari bahwa ada tahapan yang terlewati. Satu tahapan yang harus dilalui sebelum melompat ke tahap membuat kerangka karangan. Tahapan itu adalah menentukan angle atau sudut pandang yang ingin kita ungkap dalam tulisan.

Baca juga : Menentukan News Angle

Jujur saja, kadang kala saya sering bingung memilih angle tulisan, karena banyak aspek menarik dari sebuah topik atau acara (peristiwa). Sebuah tips yang bisa dicoba dalam memilih angle:
(1) ketersediaan data dan bahan tulisan, 
(2) didasarkan pada pertimbangan aspek yang paling menarik, paling penting, dan paling berdampak bagi masyarakat.

Dari berbagai obrolan dan sharing yang saya peroleh, keputusan memilih angle selalu dikaitkan dengan news value (kelayakan berita), diantaranya aktual atau hangat dibicarakan, menyangkut tokoh (figur), novelty (pertama kali/kebaruan), eksklusif atau prestisius, dan magnitude atau besaran dampak.

Lalu, bagaimana merumuskan angle supaya tajam setajam silet? Gunakan kalimat tanya sebagai alat bantu merumuskan kalimat pertanyaan angle. Ada enam pertanyaan yang bisa digunakan untuk merumuskan angle yaitu 5W+1H (what, who, when, why, where, how). Gali terus dengan menggunakan kata tanya itu. Semakin banyak pertanyaan yang kita lontarkan dan berhasil dijawab, semakin banyak bahan yang kita kumpulkan dan peluang membuat tulisan semakin besar.

Sebagai contoh, berikut tulisan yang dibuat dengan melontarkan berbagai pertanyaan menggunakan 5W1H.

Ditjen Pajak Kunjungi Kanwil BPN Jabar, Ini yang Dibahas

Selamat mencoba. 

Menentukan News Angle

Kepala KPP Pratama Tasikmalaya, Erry Sapari Dipawinangun, memberikan penghargaan kepada Kepala Seksi (Eselon IV) terbaik, Iwan Hendrawan, Selasa (8/1).


Pradirwan - Bapak saya pernah marah besar dulu, saat masih SMP. Penyebabnya saya tidak mau berangkat latihan Pramuka. Hari itu, bukanlah hari latihan biasa. Saya mau 'naik kelas' dari Siaga menjadi Penggalang. Satu-satunya teman sekampung saya yang biasa latihan bareng Pramuka, mendadak hari itu ga bisa berangkat. Saya lantas membujuk untuk ikutan tidak usah berangkat.

Bapak marah dan menasehati saya. Menurutnya, latihan itu penting untuk membentuk pribadi saya. "Jangan menjadi orang kebanyakan. Kesuksesanmu, tidak boleh ditentukan orang lain, tapi hasil jerih payahmu sendiri. Jika temanmu ga berhasil karena dia ga mau berangkat latihan, kamu tidak perlu mengikuti. Toh, jika kamu berhasil, yang menikmati kamu sendiri," ujarnya.

Saya tak berani membantah. Saya terpaksa berangkat. Kata-kata itu terngiang hingga saat ini. Bertahun-tahun sejak kejadian itu, saya mengambil hikmahnya.

Pak Slamet Rianto pernah bilang, salah satu penyebab yang membuat sebuah foto terlihat menarik bagi penikmatnya adalah karena foto itu menampilkan sesuatu yang tidak biasa mata kita lihat.

"Untuk mendapatkan foto seperti itu, jangan jadi biasa, jangan jadi orang kebanyakan. Cobalah memotret dari tempat yang tak biasa, ambillah sudut pandang berbeda. Foto yang dibuat dari sudut yang biasa-biasa saja, maka hasilnya juga akan biasa-biasa saja. Misalnya, jongkoklah dan memotretlah dari sudut yang lebih rendah dari objek fotonya. Atau, naiklah dari tempat yang lebih tinggi dari objek fotonya. Dengan begitu foto kamu akan memberi kesan khusus yang tidak biasa dilihat mata manusia normal. Kamu pun dapat melihat dunia secara berbeda dari orang-orang kebanyakan."

Sudut pandang atau angle adalah sudut pengambilan foto yang menekankan posisi kamera pada situasi tertentu dalam membidik objek. Angle akan sangat menentukan komponen yang masuk di dalam lensa. Angle yang pas bisa membuat sebuah situasi sederhana menjadi momen yang menakjubkan di dalam layar kamera.

Ternyata, angle ini tak melulu tentang fotografi. Dalam dunia menulis berita (jurnalistik), dikenal pula istilah news angle (sudut pandang berita).

News Angle inilah yang akan membedakan isi berita antara satu media dengan media lainnya. Peristiwanya sama, namun karena perbedaan news angle, konten dan pesan beritanya akan berbeda.

Sebagai contoh, awalnya saya membaca sebuah berita yang dikirim mas Cahyo sebagai berikut :
Awali Tahun 2019, KPP Pratama Tasikmalaya Adakan Evaluasi
Lalu, saya menemukan angle lain. Jika bagian penutup dalam berita itu yang saya angkat, kayaknya lebih "nendang" deh. Maka, saya wawancarai Mas Cahyo dan Pak Erry untuk mendapatkan data pendukungnya.

Dan inilah hasilnya :

Terbaik! 14 Pegawai Terima Penghargaan Kepala KPP Pratama Tasikmalaya

Terima kasih semuanya. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Noted : Angle adalah poin atau tema sebuah berita atau feature. Angle sebuah berita muncul di bagian teras (lead).

Tentang Rasa

Kilometer 0 (Nol) Sungai Citarum berada di Situ Cisanti yang berlokasi di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Situ ini berada di kaki bukit Gunung Wayang dan memiliki 7 mata air. Dari sinilah aliran sungai Citarum berasal.

"Lihat alam lebih dalam, Anda akan lebih memahami segalanya."~ Albert Einstein 

Pradirwan ~ Aku perhatikan, beberapa orang pandai menulis menganggap menulis tak cukup hanya tentang rasa. Tidak demikian bagiku. Saat aku menulis hanya dengan imajinasi, atau bahkan dengan berbekal pointer, tulisan akan berbentuk. Lalu, setelah kubaca ulang, datar, hambar.

Bagiku yang belajar perihal menulis, rasa kutempatkan di urutan tertinggi. Wajib dan mendominasi. Baru sesudahnya aku mempelajari hal lain yang sifatnya teknis. Itu pun tak banyak, aku sungguh tak pandai dalam hal teknis berbahasa.

Aku lebih banyak menuliskan saja apa yang terlintas dipikiran, apa yang ku rasakan, apa yang ku lihat.

Rasa disini adalah gejolak rasa yang dirasakan penulis dan menyajikan pesan rahasia tersebut pada perasaan pembacanya. Jadi bukan hanya kenikmatan tulisan sebagai media hiburan atau penyaji informasi saja.

Bagiku, tulisan dianggap berhasil apabila rasa yang disampaikan itu sampai ke pembaca. Saat pembaca mulai terlibat lebih dalam, itu tandanya perasaan dari penulis sudah sampai ke batin pembaca. Tanda-tandanya bisa berupa keinginan memberontak dari alur yang ditulis penulis, bisa juga berupa kesedihan atau kegembiraan teramat dalam sampai lupa kalau yang dibaca hanya karya fiksi. Yang terparah adalah saat pembaca menyama-nyamakan diri dengan sang tokoh sampai tak sadar mengadaptasi perilaku tokoh di dunia nyata, dalam raga mereka.

Bagi pembaca, membaca lebih dalam akan lebih memahami maksud penulisnya. Dan penulis yang mengedepankan rasa, akan menyajikan tulisan yang lebih bermakna.

#writing #feelings #feel
 
Copyright © 2021 Pradirwan and OddThemes