BREAKING NEWS

Humas Pajak Sambut Era Industri 4.0

Humas Pajak 4.0
Pradirwan - Zaman telah berubah. Kita telah berada di era Industri 4.0. Sebuah era yang mengubah tidak saja tatanan proses bisnis yang ada, tetapi juga peran profesi di dalamnya. Teknologi telah mengganti sebagian peranan manusia. Peran manusia akan berkurang, bahkan konon akan digantikan Artificial Intelligence dan robot termasuk profesi hubungan masyarakat atau public relations (PR).

Jurnalis itu Sejarawan

Saya saat menjadi nara sumber kegiatan Koordinasi Publikasi dan Tim Media Sosial Kanwil DJP Jawa Barat II di KPP Pratama Subang, (Selasa, 5/3). Kegiatan ini melibatkan insan-insan kreatif yang berada di balik media sosial seluruh unit DJP yang berada di Kanwil DJP Jawa Barat II, baik taxmin (admin medsos unit DJP), kontributor berita, pembuat infografis, fotografer, maupun videografer. (dok. KPP Pratama Karawang Selatan)

“Jurnalis itu seperti sejarawan. Dia menulis sejarah peristiwa hari ini.”
~Amarzan Loebis

Pradirwan - Saya memutuskan menulis sejak 2013. Awalnya melihat teman yang punya blog. Dalam pekerjaan, saya menerima banyak pertanyaan berulang dan harus saya jawab berulang pula. Agar lebih efisien, saya gunakan tulisan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan menuliskannya dalam blog. Belakangan, tulisan-tulisan saya menjadi tulisan jurnalistik.

Blog inilah yang menjadi catatan saya. Blog yang menjadi saksi sejarah saya belajar banyak hal, termasuk menulis dan memotret.

Sejarah didefinisikan sebagai peristiwa yang dilakukan manusia pada masa lampau di tempat tertentu, dan pada waktu tertentu. 


Sebagai peristiwa masa lampau, sejarah sering dipahami dalam dua hal, yaitu sejarah sebagai realitas peristiwa (history as actuality), dan sejarah sebagai kisah peristiwa (history as written).

Sejarah sebagai realitas peristiwa bersifat unik, terjadi hanya satu kali, dan mustahil terulang. Ini yang seringkali saya sebutkan sebagai momen. Tak akan pernah ada momen yang sama persis, maka itu seringkali saya manfaatkan setiap momen tersebut untuk diabadikan dengan membuatnya sebagai suatu karya (foto/tulisan/video).

Sejarah sebagai kisah peristiwa masa lampau adalah realitas peristiwa masa lampau yang menjadi tugas sejarawan untuk menelitinya, melalui jejak yang ditinggalkan, lalu kemudian direkonstruksi menjadi kisah. Beberapa sumber yang menjadi rujukan di antaranya setiap catatan, saksi, atau bukti-bukti sejarah lainnya.

“Ada empat proses dalam jurnalisme: reporting, interviewing, writing, editing.”

Tugas jurnalis menuliskan setiap peristiwa yang mempunyai news values. Redaktur senior Tempo Amarzan Loebis mengatakan, “Jurnalis itu seperti sejarawan. Dia menulis sejarah peristiwa hari ini.” Konsekuensinya, jurnalis harus teliti dan akurat. Apa pun yang dia tulis akan menjadi rujukan fakta di kemudian hari.

Jurnalis menulis sejarah hari ini, besok bisa jadi ada fakta, konteks peristiwa, atau data pembanding dari sumber-sumber lain yang ditemukan. Bisa jadi apa yang dia tulis kemarin, sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan beberapa waktu setelahnya. Tidak ada kebenaran yang mutlak. Maka itu, seorang jurnalis harus rendah hati dan berpikiran terbuka.

Untuk dapat menulis berita, dibutuhkan bahan tulisan. Penggalian bahan ini bisa diperoleh dari peliputan peristiwa (reportase), wawancara, dan riset. Jurnalis yang baik akan menggali fakta, bukan mendengar analisis narasumber atau bahkan adu argumen dengannya ketika wawancara. Analisis narasumber hanya diperlukan wartawan untuk konteks dan perspektif dalam menulis sebuah peristiwa. Karena itu wartawan yang baik pandai membuat pertanyaan yang ia kembangkan dari jawaban narasumber.

Pemilihan narasumber juga tak kalah penting. Wartawan Tempo, Bagja Hidayat menjelaskan, dalam jurnalistik ada lima jenis narasumber yang bisa diwawancarai berdasarkan validitas informasi sebuah peristiwa: 1) pelaku, 2) mereka yang melihat, 3) dia yang paling tahu, 4) mereka yang berwenang, 5) pakar.

Urutan ini tak boleh tertukar. Jenis-jenis narasumber ini yang akan menentukan nilai sebuah berita. Jika narasumber sebuah peristiwa hanya “ia yang berwenang”, seperti polisi, apalagi juru bicara polisi, gradasi informasinya tak lebih kuat dibanding jika narasumbernya mereka yang melihat langsung peristiwa itu, apatah lagi mereka yang terlibat.

Dua modal jurnalis yang wajib dimiliki, sikap skeptis dan curious. Dua senjata ini juga memungkinkan sebuah wawancara bisa lengkap, bahkan mengungkap. Jika hilang dua sifat ini, jurnalisme menjadi cacat. Kekaguman terhadap narasumber menghilangkan sikap kritis. Sebaliknya, kebencian juga bisa menjerumuskan wartawan pada kenyinyiran yang menjengkelkan. Jika tak kritis dan skeptis, karena kagum atau benci kepada narasumber itu, hal-hal mendasar dalam wawancara bisa terabaikan. Misalnya, wartawan lupa bertanya harga sepatu setelah narasumbernya menyebut merek.

Kesimpulannya, tulisan bagus ditopang bahan yang lengkap. Soalnya, bahan lengkap saja belum tentu menghasilkan tulisan bagus, apatah lagi bahannya tak lengkap. Bahan lengkap ditentukan saat wawancara. Wawancara yang baik jika wartawannya kritis dan skeptis. Aib bagi seorang wartawan adalah tak bisa bertanya di hadapan narasumber akhirnya tak bisa mendapatkan bahan yang lengkap.

Penulis Mesir, Nagouib Mahfoudz, mengatakan bahwa orang pintar terlihat dari pertanyaannya, sementara orang bijak terlihat dari jawabannya. Narasumber akan menghargai pewawancara jika ia mendapat pertanyaan-pertanyaan yang sederhana tapi menohok. Karena itu narasumber ini akan terdorong untuk menjelaskan lebih rinci. Sebaliknya, pertanyaan bodoh memancing narasumber mendominasi bahkan menyembunyikan informasi. Karena itu sebaik-baiknya pertanyaan adalah yang memancing jawaban. Dan wartawan kreatif menciptakan pertanyaan dari jawaban tersebut.



Sumber :
Jurnalistik Dasar, Resep dari Dapur Tempo (Tempo Institute, 2017) 

Wawancara Mengawetkan Sejarah, Bagja Hidayat (Wartawan Tempo, Catatan Iseng, 2018)

Artikel ini ditayangkan di AyoBandung.com

Memahami Leading Line

Jalan masuk Cukul Sunrise Point ini menggunakan konsep leading line. 

Pradirwan - Leading Line merupakan sebuah konsep fotografi yang merujuk pada keberadaan garis-garis imajiner dalam sebuah foto. Disebut imajiner karena pada dasarnya garis-garis tersebut memang tidak ada dan tidak dibuat secara khusus, atau dengan kata lain garis itu "tersedia" secara alami.

Dalam foto tersebut, keberadaan garis nyatanya memang tidak ada. Tetapi bagi mata kita, jalan tanah berbatu itu nampak seperti garis.

Di alam, banyak sekali contoh lain dari garis imajiner yang disebut leading line ini, diantaranya jalan, pagar, tembok, bahkan aliran sungai jika dilihat dari atas.

Sebenarnya apa sih fungsinya memahami leading line ini?


Percaya atau tidak, mata kita menyukai garis dan bentuk simetris. Ketersediaan leading line bisa membimbing mata seseorang  melihat foto kita untuk menjelajah lebih jauh dengan kecenderungan untuk terus mengeksplorasi foto mengikuti garis-garis imajiner yang ada. Adanya leading line membantu penikmat foto untuk segera melihat dan menemukan subjek utama (point of interest).

Dalam menemukan leading line, sebelum memotret, perhatikanlah sekeliling lokasi pemotretan (observasi). Tujuannya selain mencari background dan memisahkan objek utama dari keramaian, juga dalam rangka mencari keberadaan leading line ini. Temukan dan lakukan sinkronisasi dengan ide, tema, dan objek yang akan kita foto.

Tips lainnya, bergerak dan berpindah posisi untuk mengubah sudut pandang pemotretan.

Dengan bantuan garis-garis imajiner ini, membuat foto kita nampak lebih baik lagi.

Selamat mencoba. Semoga bermanfaat.

Perpisahan

Momentum perpisahan

Pradirwan - Perpisahan. Satu kata yang tak selalu disuka, pun tak selalu dibenci. Layaknya koin yang selalu memiliki dua sisi yang berbeda. Maka, lihatlah selalu dari sudut pandang yang terbaik. Yakinlah selalu ada hikmah disetiap kejadian.

Hakikat kehidupan adalah bukan pada apa yang sudah didapatkan, melainkan apa yang sudah kita berikan terhadap sesama. Sekecil apapun kebaikan yang sudah kita tanam jika kita lakukan dengan tulus dan ikhlas pasti akan menuai kebahagiaan dan karunia dari Tuhan. Aku sadari betul, bahwa apa yang aku berikan pada #KPP_Cibeunying tak sebanding dengan apa yang aku terima hingga hari ini. Oleh karenanya aku minta maaf atas segala kekuranganku ini.

Sukа сitа dаlаm kеrjа tim @kpp_cibeunying yang ѕеlаlu kita lаkukаn mеmbuаtku bаnуаk bеlаjаr. Aku bаhаgiа biѕа mengenal teman-teman semua. Terima kasih atas segalanya. Namun, apapun yang bertemu pasti akan berpisah. Dimana ada awal pasti akan ada akhir.

Sudah menjadi suratan takdir, banyak orang yang datang dan pergi silih berganti. Dalam perpisahan ada yang hanya melintas begitu saja, ada pula yang membekas di hati. Dan aku hanya bisa berharap, ada namaku yang membekas dihati teman-teman.

Percayalah, aku реrgi bukаn bеrаrti aku tаk ѕеnаng disini. Aku hanya sejenak berpetualang di tempat yang baru. Mencoba mencari kebahagiaan versi lainnya. Karena dimana pun kita, jika bersyukur, Tuhan akan cukupkan kebahagiaan kita. Mohon maafkan kesalahanku, agar ringan langkahku mengejar cita-cita.

Aku berharap kelak kita bеrkumрul dalam satu kesatuan kerja lаgi, Amin….

Bandung, 090217

📷: Unknown
dikutip dari status FB saya. 

KPP Tegallega Gelar Tax Gathering

Kepala Kanwil DJP Jawa Barat I, Neilmaldrin Noor (Foto : M. Muttaqun)

Pradirwan
- Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bandung Tegallega menggelar acara Tax Gathering di Grand Ballroom Trans Luxury Hotel Bandung, Kamis (31/01). Acara yang dihadiri 50 Wajib Pajak dari berbagai sektor usaha ini bertujuan untuk menjalin silaturahmi sekaligus memberikan apresiasi atas kontribusi Wajib Pajak dalam pembayaran pajak tahun 2018. Pemberian penghargaan diwakili oleh tiga Wajib Pajak kontributor terbesar KPP Pratama Bandung Tegallega yaitu Dutadharma Utama, Pinus Merah Abadi, dan Richeese Kuliner Indonesia.

"Kami berharap acara ini dapat terjalin silaturahmi dengan para wajib pajak dengan lebih baik, sehingga terbangun komunikasi yang lebih baik dan efektif. Tujuannya agar dapat bersama-sama meningkatkan peran serta para wajib pajak di dalam pembangunan, tentunya dalam hal ini membayar pajaknya. Selain itu, diharapkan nanti para wajib pajak bisa lebih memahami mengenai pentingnya perpajakan, karena di acara ini juga kita jelaskan bagaimana strategi –strategi kita dan tantangan di tahun 2019 yang harus kita hadapi bersama," ujar Kepala Kanwil DJP Jawa Barat I, Neilmaldrin Noor seusai acara.

wawancara dengan media usai acara (foto: Pradirwan)

Lebih lanjut, Neil menjelaskan bahwa Direktorat Jenderal Pajak memiliki tiga fungsi utama. "Ada fungsi pelayanan, fungsi pengawasan, dan fungsi penegakan hukum," sebutnya.

Neil mengatakan, dari ketiga fungsi DJP tersebut, pihaknya mengedepankan fungsi pelayanan. "Strategi yang kami gunakan pada 2019 ini, bagaimana kami dapat mengumpulkan pajak secara optimal tanpa harus mengganggu atau mendistorsi perekonomian. Dengan demikian kami mengedepankan fungsi pelayanan. Kami akan meningkatkan dan mengoptimalkan pelayanan kami agar wajib pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakannya secara baik dan benar serta tepat waktu," katanya.

saat memberikan sambutan (Foto : M. Muttaqun)

Menurut Neil, pelayanan perpajakan yang baik termasuk hal yang menentukan tercapainya target yang diamanahkan. Ia menjelaskan, dengan kemudahan-kemudahan pelayanan yang diberikan, misalnya dengan menggunakan teknologi informasi, Wajib Pajak tidak perlu bersusah payah ke Kantor Pajak.

"Dengan e-filing misalnya, Wajib Pajak bisa melaporkan pajaknya dari mana saja. Sebentar lagi akan memasuki bulan Maret ya, untuk Wajib Pajak Orang Pribadi jatuh tempo pelaporannya tanggal 31 Maret 2019. Kemudian pembayaran pajak pun tidak harus berdesak-desakan di bank. Sekarang melalui mobile banking atau ATM, pembayaran pajak itu bisa dilakukan. Nah dengan kemudahan ini, tentunya yang tadinya malas memenuhi kewajiban perpajakan, karena dia harus mengantri, baik di KPP maupun di bank ini bisa teratasi. Tentunya ini akan meningkatkan juga kepatuhan Wajib Pajak," ungkapnya.

sesi talkshow (foto : Pradirwan)

Selain peningkatan dari sisi pelayanan, DJP juga sedang mengupayakan peningkatan dari sisi regulasi. Adanya regulasi yang memberikan kemudahan kepada masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kesadaran kewajiban perpajakan.

"Misalnya, berdasarkan PP 23/2018, tarif pajak UMKM menjadi setengah persen, itu agar WP dengan penuh kesadaran dapat ikut berkontribusi untuk pembangunan bangsa dan negara. Jadi, dua hal tersebut (pelayanan dan regulasi) memang berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Selain itu, kita mengedukasi masyarakat. Hal ini pun akan sangat mempengaruhi tingkat pencapaian penerimaan pajak," imbuhnya.

Saat disinggung terkait kepatuhan, Neil menyebut, secara umum (nasional) tingkat kepatuhan bisa mencapai 78% - 80%. "Bahkan untuk OP karyawan bisa diatas 90%," katanya.

Dengan data seperti itu, pihaknya meyakini masih ada ruang untuk memperbaiki pelayanan dan meningkatkan kesadaran masyarakat. "Kita masih bisa menambah wajib pajak yang belum ikut berpartisipasi selama ini. Masih ada ruang yang cukup luas bagi kami untuk meningkatkan penerimaan," ujarnya.

Neil menyebut, Kanwil DJP Jawa Barat I mengalami kenaikan target penerimaan dari tahun lalu sebesar Rp32,4 triliun menjadi Rp34,8 triliun. Meski demikian, pihaknya optimis dapat mencapai penerimaan pajak yang diamanahkan. "Dengan luas wilayah kerja 16 Kabupaten/kota, kami hanya punya 1600 pegawai. Nah, ini tantangan yang harus kami manage. Selain itu, koordinasi dengan pihak Pemda juga cukup baik. Kami dengan Pemda melakukan berbagai MoU, melakukan kerjasama tukar menukar data. Oleh karena itu, kami juga mebutuhkan bantuan dari temen-temen media. Kalau kami sosialisasi ke WP, maka tingkat kesadaran masyarakat atau pengetahuan perpajakan dapat meningkat. Saat ini kan masih sangat rendah. Nah, mari kita tingkatkan bersama-sama," ajaknya. (HP)

artikel ini pertama kali ditayangkan di pajak.go.id dengan judul Jalin Komunikasi, KPP Tegallega Gelar Tax Gathering

***

berita terkait : 
1. Radar Bandung : Apresiasi WP, KPP Bandung Tegallega Gelar Tax Gathering
2. Inilah Koran : DJP Jabar 1 Bidik Penerimaan Rp34,797 Triliun
3. Ayo Bandung : Kepatuhan Pajak Masyarakat Masih Rendah
4. RMOL : KPP Bandung Tegalega Beri Penghargaan WP Terdaftar Melalui Tax Gathering
5. Jabar Ekspres : Pererat Hubungan Bersama Wajib Pajak
6. Ayo Bandung : Tax Gathering, Wadah Apresiasi WP dari KPP Pratama Bandung Tegallega
7. Galamedia : KPP Pratama Bandung Tegallega Gelar Tax Gathering





Lantik 11 Pejabat Pengawas, Neilmaldrin: Kinerja menjadi Wujud Syukur

 
Kepala Kanwil DJP Jawa Barat I, Neilmaldrin Noor memberikan arahan kepada 11 Pejabat Pengawas yang baru saja dilantik dan Pejabat Eselon III di lingkungan Kanwil DJP Jawa Barat I, Rabu (30/01). 

Pradirwan - Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Barat I, Neilmaldrin Noor melantik 11 Pejabat Pengawas di Lingkungan Kanwil DJP Jawa Barat I, Rabu, (30/01). Kesebelas pegawai tersebut mendapatkan mutasi jabatan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-10/PJ/2019 tanggal 11 Januari 2019. Pelantikan yang dilaksanakan di aula Kanwil DJP Jawa Barat I itu dihadiri dua orang saksi, dua orang rohaniawan, dan para pejabat eselon III.

Dalam arahannya, Neil mengatakan agar para pegawai yang baru bergabung, untuk segera melakukan adaptasi. "Dalam beberapa saat, kita mungkin merasa asing dengan suasana dan lingkungan yang baru. Namun, seiring berjalannya waktu, suasana asing itu akan segera berlalu," ujarnya.

Menurutnya, manusia sudah diberikan kemampuan untuk selalu melakukan adaptasi terhadap lingkungan yang baru. “Ini adalah momen yang baik dan dimiliki oleh siapa pun, termasuk saya, yaitu kemampuan untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang baru,” katanya.

Oleh karena itu, ia berharap hal-hal positif saja yang dibawa di lingkungan baru. “Apabila di tempat lama, dirasakan ada hal yang kurang baik, maka tak perlu dibawa ke tempat baru ini. Namun, jika ada hal yang baik, silakan tularkan,” imbuhnya.

Neil juga meminta untuk selalu meningkatkan kinerja sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. "Banyak di antara kawan-kawan kita yang tidak bisa setiap hari bertemu keluarga. Mereka bisa produktif dan profesional. Jika kita berkesempatan bertemu keluarga setiap hari, maka sudah seharusnya itu menjadi motivasi kita dalam bekerja, meningkatkan produktivitas dan profesionalisme kita. Itu sebagai wujud syukur kita," tegasnya.

Lebih lanjut ia meminta kepada para pegawai tersebut agar segera melaksanakan tugas. “Selamat bertugas di tempat masing-masing. Cepat lakukakan penyesuaian, karena kita tak bisa menunggu lama lagi. Tugas sudah menunggu kita,” pungkasnya. (HP)

***

artikel ini pertama kali ditayangkan di pajak.go.id

Bercerita Lewat Fotografi, Bisakah?

Sepak Bola (Pradirwan)
"Satu gambar seribu kata."

Pradirwan - Ungkapan ini sering saya dengar untuk menggambarkan kekuatan sebuah gambar.

Awalnya saya tidak percaya kebenaran ungkapan itu. Semakin saya mempelajari fotografi, semakin saya mengerti alasan-alasan kenapa sebuah produk/jasa dipasarkan dengan tampilan yang menarik.

Seringkali, kesan pertama datang dari tampilan produk dan jasa. Semakin menarik dan atraktif, pembeli akan tergoda membawa produk atau jasa kita ke rumah mereka.

Mungkin itu pula yang melatarbelakangi doktrin yang beredar di jamaah Slametyah pimpinan pak Slamet Rianto, "Jika Anda tidak ganteng, maka Anda harus tampil rapih." Bagaimanapun, kekuatan visual berpengaruh bagi calon pembeli atau klien kita.

Ternyata, haI ini sudah dibuktikan oleh pemilik Brodo, Yukka Harlanda. Menurutnya, foto merupakan salah satu bentuk komunikasi persuasif agar pembeli tertarik. Selain itu, foto juga bisa membentuk citra merek alias brand image dan menguatkan ikatan antara konsumen dengan produk.

Ungkapan lain yang mendukung kekuatan visual datang dari gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Ia menekankan aspek cerita dari sebuah momen yang diabadikan dalam sebuah foto. "Bagi saya foto itu adalah cerita," kata Kang Emil pekan lalu. Kang Emil percaya, bahwa sebuah momen tidak pernah berulang. Sebagai contoh, foto diatas saya ambil beberapa waktu lalu. Momen itu berlangsung singkat. Saya memotret terus-menerus sepanjang pertandingan, tak ada satu pun foto saya yang sama persis dengan foto yang saya upload itu.

Lalu, bagaimana sih mendapatkan foto yang bercerita?


Dari berbagai sumber saya menyimpulkan bahwa dalam sebuah foto, kita harus bisa memutuskan elemen mana yang akan menjadi subyek utama. Subyek utama adalah hal yang PERTAMA dilihat orang saat melihat foto kita alias Point of Interest (PoI).

Setelah itu, kita lalu memutuskan elemen pendukung mana yang akan dimasukkan ke dalam frame. Ingat, elemen pendukung adalah hal-hal yang dapat menguatkan keberadaan subyek utama. Jika elemen itu akan mengalihkan perhatian orang yang melihat dari subyek utama, maka sebaiknya elemen itu ‘dibuang’ atau tidak dimasukkan ke dalam frame. Cara paling sering yang saya lakukan adalah atur focal length (zoom), pakai lensa tele, atau mendekati objek. Kalau momennya singkat, motret seadanya lalu cropping deh. Daripada ga dapet momen? 😀

Pendekatan lain yang selalu saya gunakan adalah Entire, Detail, Frame, Angle, Time atau disingkat EDFAT. Metode ini diperkenalkan Walter Cronkite School of Journalism and Telecommunication Arizona State University sebagai salah metode pemotretan untuk melatih cara pandang melihat sesuatu dengan detil yang tajam. Tahapan-tahapan yang dilakukan pada setiap unsur dari metode ini adalah sesuatu proses dalam mengincar suatu bentuk visual atas peristiwa bernilai berita.

Jadi, inti dari postingan ini adalah betapa saya sadar sekarang jika mengambil gambar bukan hanya mengambil gambar. Redaktur Foto Kompas, bang Arbain Rambey pernah berkata, "Jangan berangkat memotret dalam keadaan blank. Kamu tidak akan mendapatkan apa-apa". Jadi, penting untuk merencanakan terlebih dahulu sebelum mengeksekusi. Berpikirlah dahulu sebelum memencet tombol kamera. Apa yang mau kita potret? Apa yang ingin kita sampaikan? Itu sudah ada dalam pikiran kita.

Nampak ribet ya? Awalnya saya juga berpikir begitu. Namun, setelah dipraktekkan, ternyata menyenangkan kok. Sekarang, saya terbiasa mengonsep dulu apa yang saya butuhkan sebelum eksekusi. Makanya, penting banget mengetahui rundown acara, lokasi, dan segala detailnya ketika kita memotret dokumentasi.

Dulu, saya pikir harus memasukkan semua elemen ke dalam foto. Meminjam istilah pak Dhe Muchamad Ardani, saya termasuk 'fotografer rakus'. Saya merasa tidak ingin semua elemen itu terbuang mubazir. Prinsip saya waktu itu, apa yang saya lihat di lokasi, harus sama dengan informasi visual yang diterima yang melihat foto saya. Tapi, ternyata tidak begitu.

Sama seperti penulis yang tidak boleh menulis semua deskripsi dengan jelas dan harus menyisakan imajinasi pembaca, foto pun demikian. Harus ada sedikit ruang untuk publik menginterpretasi, sehingga mereka tidak merasa digurui, sanggup berpikir dan berimajinasi, lalu merasa ada hal lebih yang mereka dapatkan setelah melihatnya. Bukan karena fotonya. Foto hanyalah pemicu, tapi imajinasi dan hasil berpikir merekalah yang memberikan hal lebih itu. Itulah foto yang bercerita, menurut saya.

Bagaimana menurut Anda?

Bandung, 31 Januari 2019
 
Copyright © 2021 Pradirwan and OddThemes