BREAKING NEWS
Showing posts with label foto. Show all posts
Showing posts with label foto. Show all posts

Fotografi Dokumentasi

Catatan Fotografi tentang Foto Dokumentasi
Peserta vaksinasi Covid-19 berfoto di depan backdrop 


Pradirwan - Catatan fotografi tentang foto dokumentasi ini saya tuliskan berdasarkan yang saya pahami saja. Ditambah sedikit pengalaman memegang kamera untuk mendokumentasikan kegiatan yang terjadi di kantor tempat saya bekerja. Bisa jadi ada pendapat yang berbeda. Itu sah-sah saja. 

Dari beberapa literasi yang saya baca, fotografi erat sekali kaitannya dengan dokumentasi. Kita tentu sudah mengetahui, fotografi memiliki kemampuan dalam hal "membekukan" sebuah momen, menjadikannya abadi dalam rentang waktu yang terus berjalan. 

Baca juga: 10 Years Challenge dan Keabadian

Sifat dokumentatif ini melekat sebagai salah satu fungsi dasar fotografi--kendati fungsi sebuah foto selalu menyesuaikan dengan tujuan foto itu dibuat (bang Arbain Rambey menyebutnya sebagai foto bagus).

Karena sifat dokumentatif ini, fungsi foto sebagai dokumentasi sering dianggap sudah dari sananya. Sedemikian sederhana, sehingga mungkin kerap disepelekan, bahkan diabaikan. Tak jarang saya melihat juru foto jadi sering asal jepret ketika mendokumentasikan kegiatan atau peristiwa.

Di balik kesederhanaannya, foto dokumentasi memiliki posisi penting bagi kita, yang cenderung nostalgis ini. Momen yang kita anggap penting sering kita rayakan dengan berfoto. Sejumlah keperluan administratif juga mengandalkan fungsi dokumentasi itu, misalnya foto pelaksanaan kegiatan kantor.

Baca juga: Menulis, Mengingat, Melupakan

Foto dokumentasi yang baik adalah reproduksi dari apa yang didokumentasikan. Jika itu adalah suatu acara atau peristiwa, maka fotonya perlu mewakili unsur-unsur yang ada di dalamnya: tempat dan waktu penyelenggaraan, penyelenggaranya, pengunjung, pengisi acara, urutan mata acara, suasana, hal-hal yang menarik, dan sebagainya.

Terdengar mudah, tetapi nyatanya selalu ada saja unsur yang terlewat. Tidak jarang, juru foto terlalu terburu-buru menangkap suasana. Karena hanya mengejar fotonya asal terlihat ramai, juru foto kurang memperhatikan hal-hal yang dapat membuat fotonya menarik, seperti pencahayaan, komposisi, dan momen. 

Sering juga terjadi, juru foto luput mendokumentasikan salah satu mata acara. Penyebabnya kadang juru foto kurang koordinasi dengan penyelenggara atau kurang memperhatikan urutan acara.

Persiapan merupakan kunci di dalam membuat dokumentasi yang baik. Juru foto perlu mengetahui dan mengenali apa yang mungkin akan terjadi, sehingga dapat mengantisipasi momen dan merekamnya. Siapa yang akan ada di sana, di mana persisnya suatu peristiwa akan terjadi/diselenggarakan, dari sudut mana sebaiknya foto diambil, kapan saat terbaik untuk memfoto, dan lain-lain.

Dalam beberapa sesi workshop daring yang saya ikuti (terakhir oleh pak Muchamad Ardani ), observasi lokasi penting dilakukan sebelum memfoto suatu kegiatan. Tujuannya agar kita memahami kondisi di lapangan dan dapat mendokumentasikan dengan nyaman saat acara berlangsung. (Lihat catatan saya berjudul Lima Kunci Liputan Humas Bea Cukai).

Namun, sebagaimana di dalam banyak hal yang terjadi di dunia ini, betapa pun kita berusaha bersiap, selalu akan ada momen tidak terduga dan kejadian di luar rencana.

Apakah lantas juru foto tidak perlu bekerja maksimal dan ketidakidealan kondisi itu menjadi alasan? 

Justru di situlah kejelian dan kelihaian juru foto diuji. Sesungguhnya kesiapan kita justru akan terbukti, jika kita tetap dapat melaksanakan tugas mendokumentasi dengan baik di tengah kondisi tidak ideal semacam itu. #salamjepret

Pradirwan, 27 Maret 2021

7 Manfaat Fotografi Ala Masardani

Tangkapan Layar InspiraTalk bersama Muchamad Ardani (@masardani)

Pradirwan - Banyak yang beranggapan hobi fotografi cukup menguras isi kantong karena peralatannya yang relatif mahal. 

Meskipun begitu, fotografi akhir-akhir ini justru semakin digandrungi banyak orang. Kehadiran media sosial dan didukung harga gawai yang berkamera "bagus" namun "terjangkau" konon menjadi penyebabnya.  

Selain untuk berkomunikasi, kehadiran gawai "berkualitas" tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan memotret. Entah hanya untuk sekadar mengisi lini masa, mendokumentasikan moment, atau untuk menekuni hobi fotografi itu sendiri. 

Lalu apa saja manfaat lainnya dari hobi fotografi ini? 


Bagi pak Muchamad Ardani / @masardani, kegiatan memotret yang ditekuninya membawa banyak manfaat. Pejabat di Kanwil Bea dan Cukai Aceh itu memaparkannya dalam InspiraTalk edisi "Insipirasi Pejabat Motret" di chanel Youtube @iswandibanna, Sabtu (10/10).
  
InspiraTalk #23 @IswandiBanna

Dalam kesempatan tersebut, setidaknya ada 7 manfaat yang bisa diperoleh dari kegiatan fotografi, yaitu:

1. Membuat Bahagia

Sebagaimana hobi lainnya, fotografi juga bisa membuat bahagia. Lelaki yang akrab disapa Pakdhe Jidan itu menceritakan, ada seorang temannya yang mempunyai hobi menumpang bus. Dengan bepergian ke beberapa kota di Jawa pada akhir pekan, temannya itu bisa bahagia. 

Begitu pula dengan hobi fotografi. Bagi Pakdhe, mendengar bunyi "krek" saat menekan tombol sutter kamera analog memiliki kepuasan tersendiri. 

"Zaman menggunakan kamera analog, kita mengira-ngira hasilnya akan terlalu terang, gelap, atau sudah cukup terang. Itu memiliki kebahagiaan tersendiri. Apalagi jika foto yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan," ungkapnya. 

Lelaki yang bercita-cita menjadi wartawan itu berujar, menekuni hobi apapun akan menjadikan pehobi itu bahagia. "Bahagia itu diciptakan. Tekunilah apapun hobinya, agar kita bahagia," katanya.  

2. Menyampaikan Pesan

Fotografi bisa menjadi sarana (memulai) berkomunikasi. Saat memperkenalkan diri sebagai fotografer Humas BC, Pakdhe memanfaatkanya untuk membuat keterikatan dengan orang lain. Jika sudah terjalin, maka pesan bisa lebih efektif disampaikan. 

"70 persen dari kehidupan kita adalah komunikasi. Kalau komunikasinya lancar, insyaallah akan meminimalkan permasalahan," ujarnya. 

Sebuah foto juga bisa menjadi media yang efektif untuk menyampaikan pesan. "Salah satu caranya dengan membuat foto disertai tulisan (meme). Pesan yang disampaikan itu akan semakin kuat," jelasnya. 

3. Meningkatkan Rasa Syukur

Salah satu nilai rohani yang bisa didapatkan dengan melakukan fotografi adalah menjadi orang yang lebih bersyukur daripada sebelumnya. 

Pakdhe mengungkapkan, dengan menekuni hobi ini, pasti akan memotret banyak hal, mulai dari alam sampai kehidupan sosial sehari-hari di masyarakat. 

Dengan begitu, fotografer menjadi lebih tahu. Dia semakin sadar tentang berbagai ciptaan Tuhan.

"Dari kegiatan fotografi ini saya bertemu dengan banyak orang. Saya bertemu orang-orang yang semangat membaca quran braille. Quran itu dibuat per juz dan harganya mahal," katanya.

Pertemuan itu membuatnya bersyukur dan termotivasi untuk berbuat yang terbaik. 

4. Sarana Membantu Sesama

Dengan fotografi mata dan pikiran akan lebih terbuka. Seorang fotografer akan lebih ‘melihat’ kondisi sekitar dan mulai bisa melihat sisi-sisi kehidupan dari beberapa segi dan perspektif, seperti halnya saat ia mencoba memotret suatu objek. 

Foto-foto tentang quran braille itu Pakdhe posting di media sosialnya disertai ajakan untuk bersedekah, mengumpulkan donasi untuk membeli quran braille itu. 

5. Sarana Mencatat Sejarah

Lewat sebuah jepretan, seseorang bisa mengenangnya hingga beberapa tahun kemudian. Ini juga merupakan nilai plus dari fotografi

"Karena sebuah momen tidak bisa diulang. Memotret adalah salah satu cara untuk mengabadikan momen itu, menjadikannya sejarah, di manapun dan kapanpun."

6. Mendekatkan Semua Kalangan

Melalui kegiatan fotografi, Pakdhe bisa mendekatkan diri dengan semua kalangan. "Melalui foto saya berkenalan dengan milenial yang baru penempatan. Kalau ada yang minta diajarin, ya saya ajarin. Kalau dia ga mau ya mungkin karena dia ga percaya saya bisa motret," katanya. 

Melalui fotografi juga bisa menambah networking. Caranya dengan bergabung dengan komunitas foto di setiap daerah. Jangan terpaku pada lingkup pekerjaan saja. 

"Saya jika bepergian ke seluruh Indonesia punya banyak kenalan yang bisa saya hubungi. Saya tidak mungkin punya link dengan banyak tokoh kalau bukan karena foto," imbuhnya. 

7. Dengan Foto Bisa menjadi Sutradara

"Foto itu diciptakan, bukan kebetulan. Jadi kalau mau liputan, saya sudah membuat skenarionya. Saya akan mengambil fotonya seperti apa. 

Jadi kalau mau ada liputan, saya harus pertama kali datang, harus tau dan mengenal lokasinya di mana, arah cahaya dari mana, terus kalau misalnya macet, saya harus lewat mana. Semua harus sudah diperhitungkan," katanya. 

Agar karya foto bisa lebih enak dilihat, para model bisa diarahkan. Tak peduli apapun jabatannya. "Karena pecicilannya saya itu, bu Menteri sepertinya manut saja saat saya arahkan," ujarnya berseloroh. 

Selain itu, agar sebuah foto bisa "bercerita", seorang fotografer harus memperbanyak visual literasinya. 

"Semakin banyak melihat gambar, itu akan memperbanyak perbendaharaan visual kita. Salah satu medianya melalui Pinterest atau Instagram,"  jelasnya. 

Perhatikan juga hal-hal teknis dalam memotret. Kuasai segitiga eksposur (Diafragma (bukaan), Kecepatan, dan ISO), arah cahaya, dan komposisinya. 

"Karena fotografi itu bukan seperti matematika yang satu tambah satu sama dengan dua. Fotografi itu krispy dan tidak krispy," tegasnya. 

Agar kualitas foto kita meningkat, libatkan juga orang lain untuk menilai karya foto kita. 

"Jangan lupa diupload di media sosial. Biarkan saja dibully, terima saja. Jangan puas jika dipuji. Pujian bisa 'membunuhmu'," pungkasnya. (HP)

Pradirwan
Bandung, 11 Juni 2020

Foto, Kesenangan, dan Perubahan

Memotret itu menyenangkan

Pradirwan - Kegiatan fotografi saat ini sudah semakin marak di tengah-tengah masyarakat kita. Kemajuan teknologi membawa kemudahan tersendiri. Jika dulu untuk memotret jumlah rol film sangat diperhitungkan, kini dengan kamera digital, fotografer tak perlu ragu lagi memencet shutter. Kalau hasil gambarnya tidak sesuai yang diharapkan, tinggal di-delete saja. 

"Memotret Itu Menyenangkan" menjadi tema bahasan Obras (Obrolan Santai) Senin malam (28/09/2020). Acara live di instagram mas @dodisandradi itu menghadirkan mas @beawiharta sebagai "teman ngobrol santai" tentang fotografi. 

Ada pernyataan yang menarik perhatian saya dalam acara itu. "Memotret itu menyenangkan. Ketika kita bisa membuat foto yang bercerita dan menggerakkan banyak orang untuk melakukan sedikit perubahan, kita bisa bilang, untuk inilah kita hidup," kata pewarta foto Reuters itu.

Pada acara yang berlangsung mulai pukul 19:30 WIB itu, mas Bea menunjukkan sebuah foto jembatan gantung di Desa Sanghiang Tanjung kabupaten Lebak, Banten. Jembatan yang biasa dilalui anak-anak sekolah dan masyarakat itu kondisinya memprihatinkan. Salah satu pegangannya terputus.

Foto jembatan gantung di Desa Sanghiang Tanjung kabupaten Lebak, Banten karya Beawiharta

Dalam foto yang diambil awal tahun 2012  itu, nampak sekumpulan pelajar yang berjuang keras ketika menuju ke sekolah. Mereka harus meniti sebuah jembatan rusak yang terbentang di atas Sungai Ciberang. 

Para siswa itu harus berhati-hati agar tak terpeleset ke dalam arus deras sungai yang kerap digunakan untuk arung jeram itu. "Saya ngeri saat memotret itu. Kaki saya sampai bergetar," kenangnya. 

Publikasi foto itu menarik perhatian berbagai pihak. Pembangunan jembatan penghubung itu pun dilakukan. Dua bulan setelahnya, jembatan itu selesai diperbaiki. Sehingga aksi ala 'Indiana Jones' tak perlu lagi dilakukan.  

Tak hanya karena kebermanfaatannya bagi orang lain, memotret juga bisa memberikan kepuasan tersendiri. "Memotret itu sarana berkreasi. Aku men-challenge diriku sendiri, dan jika itu berhasil, aku bahagia," katanya. 

Tangkapan layar acara Obras

Selain mengerti seluk beluk teknis fotografi, seorang fotografer juga dituntut untuk selalu menunjukkan kreativitasnya. Hal ini diperlukan agar dapat menghasilkan foto yang menarik. 

"Saya mengutamakan momen. Biasanya saya membayangkan dulu momennya, baru saya mengeksekusinya. Kalau momen itu bisa dikombinasikan dengan teknis yang mumpuni, akan menghasilkan foto yang luar biasa," ungkapnya.

Selain itu, fotografer harus selalu melatih intuisinya dalam mengambil obyek agar menghasilkan foto yang mempunyai "rasa". Terlebih foto itu bisa memengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu yang diinginkan. "Dengan memasukkan 'rasa' dalam fotografi, pesan dan kesan yang ingin kita sampaikan menjadi lebih kuat," tambahnya. (HP)

Artikel ini juga ditayangkan di AyoBandung

Tiga Latar dalam Foto Jurnalistik

Kepala Kanwil DJP Jawa Barat I, Neilmaldrin Noor membacakan arahan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Upacara Peringatan Hari Oeang Republik Indonesia ke-73 di Gedung Keuangan Negara Bandung, Rabu (30/10). 

Pradirwan - Salah satu narasumber Workshop Jurnalistik Kanwil DJP Jawa Barat I beberapa waktu lalu, Novrian Arbi mengatakan, ada tiga latar yang harus diperhatikan saat mengambil foto, yaitu latar depan (foreground), latar tengah (middleground), dan latar belakang (background). "Ketiga latar ini berfungsi saling mendukung," ujar pria yang akrab dipanggil Ucok itu.

Secara naluriah, kita menyukai hal-hal yang menarik perhatian kita. Sebagai fotografer, tugas kita menempatkan subjek yang menarik perhatian dan merekam subjek tersebut ke dalam lingkungannya.

Untuk benar-benar memberikan kesan yang kuat, background yang menarik bisa dimasukkan dalam frame. Misalnya kita jalan-jalan di Alun-alun Bandung, maka Masjid Agung Jawa Barat, rumput sintetis, dan ikon-ikon lainnya bisa dijadikan background.

Nah, selain background, terdapat cara kreatif lainnya yang dapat mempercantik foto yaitu foreground.

Teknik ini memang kurang populer karena memang tak semua foto memerlukan foreground. Sebab tidak semua objek bisa jadi foreground.

Jujur saja, saya sendiri seringkali bingung menentukan subjek mana yang menarik perhatian ketika dihadapkan pada kondisi yang ramai, atau khidmat seperti saat upacara Hari Oeang ke-73, kemarin (Rabu, 30/10).

Kepala Kanwil DJP Jawa Barat I, Neilmaldrin Noor menjadi Pembina Upacara Peringatan Hari Oeang Republik Indonesia ke-73 di Gedung Keuangan Negara Bandung, Rabu (30/10).

Saya menggunakan latar depan untuk alasan estetika. Artinya, subjek utama akan terasa hambar karena background tidak kuat atau di sekeliling subjek tidak ada hal unik untuk 'dimainkan'. Dengan membuat foreground, komposisi foto menjadi semakin 'berisi' dan dinamis.

Setelah menemukan subjek utama dan background, foreground dapat dibuat dengan teknik boleh atau tetap fokus. Pilihan ini tergantung kebutuhan fotografer sesuai pesan/cerita yang akan disampaikan. Jadi, fotograferlah yang menentukan, bukan kameranya, karena fotografer sang pembuat cerita.

Pradirwan
31/10/2019

Memahami Leading Line

Jalan masuk Cukul Sunrise Point ini menggunakan konsep leading line. 

Pradirwan - Leading Line merupakan sebuah konsep fotografi yang merujuk pada keberadaan garis-garis imajiner dalam sebuah foto. Disebut imajiner karena pada dasarnya garis-garis tersebut memang tidak ada dan tidak dibuat secara khusus, atau dengan kata lain garis itu "tersedia" secara alami.

Dalam foto tersebut, keberadaan garis nyatanya memang tidak ada. Tetapi bagi mata kita, jalan tanah berbatu itu nampak seperti garis.

Di alam, banyak sekali contoh lain dari garis imajiner yang disebut leading line ini, diantaranya jalan, pagar, tembok, bahkan aliran sungai jika dilihat dari atas.

Sebenarnya apa sih fungsinya memahami leading line ini?


Percaya atau tidak, mata kita menyukai garis dan bentuk simetris. Ketersediaan leading line bisa membimbing mata seseorang  melihat foto kita untuk menjelajah lebih jauh dengan kecenderungan untuk terus mengeksplorasi foto mengikuti garis-garis imajiner yang ada. Adanya leading line membantu penikmat foto untuk segera melihat dan menemukan subjek utama (point of interest).

Dalam menemukan leading line, sebelum memotret, perhatikanlah sekeliling lokasi pemotretan (observasi). Tujuannya selain mencari background dan memisahkan objek utama dari keramaian, juga dalam rangka mencari keberadaan leading line ini. Temukan dan lakukan sinkronisasi dengan ide, tema, dan objek yang akan kita foto.

Tips lainnya, bergerak dan berpindah posisi untuk mengubah sudut pandang pemotretan.

Dengan bantuan garis-garis imajiner ini, membuat foto kita nampak lebih baik lagi.

Selamat mencoba. Semoga bermanfaat.

Bercerita Lewat Fotografi, Bisakah?

Sepak Bola (Pradirwan)
"Satu gambar seribu kata."

Pradirwan - Ungkapan ini sering saya dengar untuk menggambarkan kekuatan sebuah gambar.

Awalnya saya tidak percaya kebenaran ungkapan itu. Semakin saya mempelajari fotografi, semakin saya mengerti alasan-alasan kenapa sebuah produk/jasa dipasarkan dengan tampilan yang menarik.

Seringkali, kesan pertama datang dari tampilan produk dan jasa. Semakin menarik dan atraktif, pembeli akan tergoda membawa produk atau jasa kita ke rumah mereka.

Mungkin itu pula yang melatarbelakangi doktrin yang beredar di jamaah Slametyah pimpinan pak Slamet Rianto, "Jika Anda tidak ganteng, maka Anda harus tampil rapih." Bagaimanapun, kekuatan visual berpengaruh bagi calon pembeli atau klien kita.

Ternyata, haI ini sudah dibuktikan oleh pemilik Brodo, Yukka Harlanda. Menurutnya, foto merupakan salah satu bentuk komunikasi persuasif agar pembeli tertarik. Selain itu, foto juga bisa membentuk citra merek alias brand image dan menguatkan ikatan antara konsumen dengan produk.

Ungkapan lain yang mendukung kekuatan visual datang dari gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Ia menekankan aspek cerita dari sebuah momen yang diabadikan dalam sebuah foto. "Bagi saya foto itu adalah cerita," kata Kang Emil pekan lalu. Kang Emil percaya, bahwa sebuah momen tidak pernah berulang. Sebagai contoh, foto diatas saya ambil beberapa waktu lalu. Momen itu berlangsung singkat. Saya memotret terus-menerus sepanjang pertandingan, tak ada satu pun foto saya yang sama persis dengan foto yang saya upload itu.

Lalu, bagaimana sih mendapatkan foto yang bercerita?


Dari berbagai sumber saya menyimpulkan bahwa dalam sebuah foto, kita harus bisa memutuskan elemen mana yang akan menjadi subyek utama. Subyek utama adalah hal yang PERTAMA dilihat orang saat melihat foto kita alias Point of Interest (PoI).

Setelah itu, kita lalu memutuskan elemen pendukung mana yang akan dimasukkan ke dalam frame. Ingat, elemen pendukung adalah hal-hal yang dapat menguatkan keberadaan subyek utama. Jika elemen itu akan mengalihkan perhatian orang yang melihat dari subyek utama, maka sebaiknya elemen itu ‘dibuang’ atau tidak dimasukkan ke dalam frame. Cara paling sering yang saya lakukan adalah atur focal length (zoom), pakai lensa tele, atau mendekati objek. Kalau momennya singkat, motret seadanya lalu cropping deh. Daripada ga dapet momen? 😀

Pendekatan lain yang selalu saya gunakan adalah Entire, Detail, Frame, Angle, Time atau disingkat EDFAT. Metode ini diperkenalkan Walter Cronkite School of Journalism and Telecommunication Arizona State University sebagai salah metode pemotretan untuk melatih cara pandang melihat sesuatu dengan detil yang tajam. Tahapan-tahapan yang dilakukan pada setiap unsur dari metode ini adalah sesuatu proses dalam mengincar suatu bentuk visual atas peristiwa bernilai berita.

Jadi, inti dari postingan ini adalah betapa saya sadar sekarang jika mengambil gambar bukan hanya mengambil gambar. Redaktur Foto Kompas, bang Arbain Rambey pernah berkata, "Jangan berangkat memotret dalam keadaan blank. Kamu tidak akan mendapatkan apa-apa". Jadi, penting untuk merencanakan terlebih dahulu sebelum mengeksekusi. Berpikirlah dahulu sebelum memencet tombol kamera. Apa yang mau kita potret? Apa yang ingin kita sampaikan? Itu sudah ada dalam pikiran kita.

Nampak ribet ya? Awalnya saya juga berpikir begitu. Namun, setelah dipraktekkan, ternyata menyenangkan kok. Sekarang, saya terbiasa mengonsep dulu apa yang saya butuhkan sebelum eksekusi. Makanya, penting banget mengetahui rundown acara, lokasi, dan segala detailnya ketika kita memotret dokumentasi.

Dulu, saya pikir harus memasukkan semua elemen ke dalam foto. Meminjam istilah pak Dhe Muchamad Ardani, saya termasuk 'fotografer rakus'. Saya merasa tidak ingin semua elemen itu terbuang mubazir. Prinsip saya waktu itu, apa yang saya lihat di lokasi, harus sama dengan informasi visual yang diterima yang melihat foto saya. Tapi, ternyata tidak begitu.

Sama seperti penulis yang tidak boleh menulis semua deskripsi dengan jelas dan harus menyisakan imajinasi pembaca, foto pun demikian. Harus ada sedikit ruang untuk publik menginterpretasi, sehingga mereka tidak merasa digurui, sanggup berpikir dan berimajinasi, lalu merasa ada hal lebih yang mereka dapatkan setelah melihatnya. Bukan karena fotonya. Foto hanyalah pemicu, tapi imajinasi dan hasil berpikir merekalah yang memberikan hal lebih itu. Itulah foto yang bercerita, menurut saya.

Bagaimana menurut Anda?

Bandung, 31 Januari 2019

Ketika Ridwan Kamil Bicara Fotografi

Foto bersama Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, dan Kepala Biro Perum LKBN Antara Biro Jawa Barat Zaenal Abidin, usai peresmian Pameran Foto Arke Kilas Balik Jabar 2018 yang digelar Antara biro Jabar, Kamis (24/01/2019)


Pradirwan - Gubernur Jawa Barat M. Ridwan Kamil mengaku berbahagia. Pasalnya, pria yang akrab dipanggil kang Emil itu bisa berinteraksi dengan salah satu hobinya.

“Hari ini saya berbahagia karena ada sepenggal cinta saya, bagian yang berinteraksi dengan diri saya, yaitu fotografi,” ujar Kang Emil saat membuka Pameran Foto Arke Kilas Balik Jabar 2018, yang diadakan oleh Perum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara Biro Jawa Barat, di Gedung Antara Biro Jabar, Jalan Braga 25 Kota Bandung, Kamis (24/01).

Mantan Walikota Bandung ini mengatakan ada dua cara yang dilakukannya untuk menghilangkan rasa stres. Salah satunya, dengan berburu objek-objek menarik dan mengabadikannya melalui bidikan lensa kamera atau fotografi.

“Saya ini arsitek. Lima tahun didikannya visual. Jadi, kalau saya sedang stress, ritualnya dua, sholat dan hunting foto,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan dirinya meyakini sebanyak 44 foto yang dipamerakan dalam Pameran Foto Arke Kilas Balik Jabar 2018 itu merupakan foto-foto luar biasa yang dihasilkan oleh fotografer Antara di Jawa Barat.

"Saya meyakini, foto yang dipamerkan ini akan sangat luar biasa dan hari ini semua orang pada dasarnya bisa menjepret foto," kata dia.

Gubernur Emil mengatakan foto bagi dirinya bukan sekedar rangkaian cahaya yang tertangkap lensa kamera oleh seorang fotografer.

"Bagi saya foto itu adalah cerita. Foto itu adalah momentum, dan terkadang kita sering melewatkan momentum bagus serta luput dari jepretan lensa kamera," kata dia.

Emil menuturkan foto hasil jepretan menggunakan kamera saku berhasil menjuarai sebuah kontes foto yang diadakan oleh Harian Kompas. "Saya pernah menang kontes foto Kompas dulu, itu hadiahnya bikin saya ke Jepang dan motretnya pakai kamera pocket. Itu menandakan enggak harus canggih kameranya yang penting momentumnya," kata dia.

Emil mengisahkan salah satu foto yang menjadi favoritnya adalah ketika ia mengabadikan momen di Masjid Al Irsyad di Kota Baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat. "Waktu itu saya motret di Masjid Al Irsyad, lagi shalat cahayanya datang di waktu Ashar. Karena Masjid Al Irsyad itu mihrabnya terbuka maka cahaya Ashar itu menyebabkan back light," kata dia.

"Sehingga pesannya di mata Allah SWT, tidak ada kopral, jenderal, direktur, itu hanya individu yang berkomunikasi dengan Allah," lanjut dia.

Ia menambahkan, ada kebiasaan baru yang membuat bahagia. “Kalau jadi politikus, jadi pejabat, jadi pemimpin, harus sabar melayani masyarakat yang meminta berfoto. Ternyata, berfoto itu bisa membuat bahagia,” imbuhnya.

Di akhir sambutannya, orang nomor satu di Provinsi Jawa Barat ini berpantun, "makan soto di Pantai Carita, dengan foto kita berbicara," pungkasnya.

Koordinator Daerah Foto LKBN Antara Biro Jawa Barat M Agung Rajasa mengatakan Divisi Foto Antara selama tahun 2018 telah memproduksi 3.000 foto.

"Ada sekitar 3.000 foto yang diproduksi pewarta foto Antara sepanjang tahun 2018, lalu kita kurasi. Kemudian yang terpilih ada di buku 249 dan yang dipamerkan hari ini ada 44 foto," kata dia.

Pameran Foto Arke Kilas Balik Jabar 2018 digelar mulai 24 Januari 2019 hingga 24 Februari 2019 dan terbuka bagi umum.

Sementara itu, Kepala Biro Perum LKBN Antara Biro Jawa Barat Zaenal Abidin menambahkan pameran foto tersebut merupakan kali pertama diadakan oleh Antara Biro Jawa Barat.

Kata "Arke" sendiri, kata Zaenal, memiliki arti titik mula sehingga pameran foto tersebut diharapkan bisa menjadi titik mula Antara Biro Jabar untuk memberikan sumbangsihnya di bidang jurnalistik bagi Bumi Pasundan

"Kita ada di daerah strategi, Gedung Antara Biro jabar ini adalah tempat bersejarah dan kita berupaya merawatnya. Mudah-mudahan pameran foto ini bisa bersinergi dengan Humas Pemprov Jabar dalam merekam sejarah Provinsi Jabar," kata Zaenal.

***

 artikel ini ditayangkan di AyoBandung.com dengan judul Ketika Gubernur Jawa Barat Bicara Fotografi

10 Years Challenge dan Keabadian

Seorang peserta sosialisasi mengabadikan moment dengan telepon pintarnya (Rabu, 16/01/2019) 


Pradirwan - Fenomena Tantangan Sepuluh Tahun atau 10 Years Challenge sedang mewabah warganet dalam beberapa hari terakhir. Ada yang sekadar berbagi foto-foto pribadi dari 10 tahun sebelumnya, tapi, lagi-lagi, ada juga yang menggunakannya untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Orang-orang itu sibuk mencari foto dari sepuluh tahun lalu, atau yang diambil pada 2009, untuk kemudian diunggah ke berbagai platform media sosial dan dibandingkan dengan foto terbaru yang diambil di tahun 2019. Itulah esensi tantangan ini, karena mencari arsip foto sepuluh tahun lalu bagi sebagian orang tidaklah mudah.

Perusahaan periklanan media sosial, Spredfast mencatat, sebagaimana dikutip dari BBC.com (16/1/2019), tagar #10YearsChallenge mulai digunakan di Indonesia sejak 14 Januari 2019 dan masih meningkat terus penggunaannya sampai tulisan ini dibuat.

Terlepas dari apakah dampak yang ditimbulkan positif atau negatif sebagaimana yang disampaikan Kate O'Neill dalam tulisannya yang ditayangkan di situs wired.com, ada hal menarik perhatian saya, yaitu tentang foto dan keabadiannya.

Seorang seniman kelahiran Pennsylvania, Andy Warhol pernah mengatakan, “Hal terbaik mengenai sebuah gambar adalah gambar itu tidak pernah berubah, bahkan ketika orang-orang yang ada di dalamnya sudah berubah."

Untuk mendapatkan foto, cara satu-satunya adalah dengan memotret (fotografi). Maka tak heran muncul ungkapan bahwa memotret merupakan salah satu sarana untuk mengabadikan sebuah moment. Ya, memotret ialah laku hidup demi sebuah kekekalan.

Lalu kemudian muncul pertanyaan lainnya, apakah benar moment yang kita tangkap melaui fotografi dapat abadi?

Apakah bisa kita mengabadikan sesuatu sedangkan eksistensi kita diragukan keabadiaannya?

Jelas sesuatu yang rumit untuk saling dikaitkan, karena pada dasarnya kita sendiri akan hilang bersama eksistensi kita.

Lantas, bagaimana caranya agar kita bisa abadi meskipun kita sudah tak bisa eksis lagi?

Kisah sastrawan terbaik yang pernah Indonesia miliki, Pramoedya Ananta Toer, mungkin bisa dijadikan referensi. Lelaki kelahiran Blora, 6 Februari 1925 ini menjadi legenda dunia kepenulisan Indonesia berkat tulisan-tulisannya.

Dalam bukunya yang berjudul "Anak Semua Bangsa", Pram menyampaikan sebuah gagasan yang sangat cemerlang, bahwa "Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian".

Saat saya membuat tulisan ini, kutipan Pram di atas setidaknya disukai oleh 916 orang di situs Goodreads. Tertinggi dibandingkan kutipan lainnya dari karya-karyanya.

Banyak orang pintar, rajin membaca, namun jarang menulis. Mereka punya banyak ilmu dan pengalaman, namun tidak pernah membagikannya lewat tulisan. Bagi saya keputusan mereka itu sangat disayangkan, karena apa yang mereka miliki hanya akan bermanfaat buat dirinya sendiri. Akan berbeda jika mereka menuliskan apa-apa yang dikuasainya. Tentu dampaknya akan lebih luas. Mereka bisa membawa pengaruh juga manfaat kepada orang lain dan akan terus berguna buat generasi selanjutnya.

Lebih lanjut, saya ingin menyampaikan kutipan Pram lainnya, "Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suara mu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari."

Perhatikanlah kutipan-kutipan Pram diatas. Sudah dapatkan benang merahnya? Ya, berkarya (dalam hal ini menulis). Apa yang kita 'suarakan' melalui karya tersebut akan abadi. Meskipun eksistensi kita telah lenyap, masyarakat masih dapat merasakan kehadiran kita melalui karya-karya yang telah kita wariskan. Bahkan, suatu saat dapat mempelajari atau merenungkan atas apa yang telah kita torehkan.

Dampak lebih dahsyat dapat diperoleh jika sebuah karya tulisan dibarengi dengan karya foto. Penggambaran tulisan akan lebih nyata jika bisa memadupadankan dengan karya fotografi.

Itulah kenapa, fotografi jurnalistik menjadi bagian penting. Melihat sejarah Indonesia, fotografi jurnalistik berkembang beriringan dengan perjuangan untuk meraih kemerdekaan.

Bisa kita saksikan, gambar-gambar sejarah seperti proklamasi kemerdekaan, bukan hanya hasil keberuntungan para fotografernya, namun merupakan kegigihan dan komitmen yang mendalam untuk menghasilkan foto yang menarik. Meski fotografernya telah tiada, foto-foto itu seolah menceritakan kejadian di balik setiap foto.

Maka, ingatlah satu hal. Mereka yang berkarya akan hidup bersama dengan karyanya. Walaupun eksistensi dirinya telah lenyap, tetapi karya mereka akan abadi. Setidaknya sampai karya tersebut lenyap bersama alam semesta.

Maka, apakah masih ada keraguan untuk berkarya?


***

artikel ini pertama kali ditayangkan di AyoBandung.com dengan judul #10YearsChallenge dan Keabadian
 
Copyright © 2021 Pradirwan and OddThemes