BREAKING NEWS
Showing posts with label puisi. Show all posts
Showing posts with label puisi. Show all posts

Aku Rindu, Dik

Puisi Pradirwan Aku Rindu, Dik
Aku Rindu, Dik (Pradirwan) 

 

Biar kujerang kata-kata ini, Dik
Menanaknya menjadi puisi
Rinduku membuncah hingga ke ubun-ubun
Berlumut dan membatu, mendamba temu

Dalam kekalutanku
Pisau waktu mengiris jiwaku
Memisahkan cemas dan pilu menanti sosokmu
Sabarku jatuh dari segala penjuru

Pelik ini tak kunjung rampung, Dik
Sementara gelap semakin membayang
Aku rindu pada yang mereka sebut pulang
Aku rindu pada yang mereka sebut tenang

Mentari yang jatuh di halaman rumahmu
Nyatanya tak mampu menyampaikan isyarat
Bahwa rasa ini telah mengiba sejauh-jauhnya
Hanya pasrah yang melesap ke dalam tanah

Sepasrah aku yang mendidih 
Dipanggang jarak dan waktu
Olehmu

***
Pradirwan
Bandung, 25 Juli 2020

Tuhan, Aku Jatuh Hati


Puisi Tuhan, Aku Jatuh Hati Karya Pradirwan
Tuhan Aku Jatuh Hati (Foto: Pradirwan, Stasiun Kiaracondong Bandung)


Kumaknai dingin pagi ini

Laksana sunyi yang diam

Tempat embun menyajakkan kenangan

Merupa doa penuntun perjalanan


Larik-larik puisi menari

di antara sinar mentari pagi

Guratannya melagukan asa untuk memulai hari

Mengenalkan tenang

Pun ketika fajar menafsir damai

dalam bait-bait doa


Tuhan, aku jatuh hati!

***


Pradirwan
Bandung, 17 November 2018


Memoar Tentangmu


Puisi Memoar Tentangmu
Memoar Tentangmu


Ada satu kata
yang sering kuungkap dalam bait puisi
yang sering mengiringi debar hati
Tentang senja, gerimis, dan fatamorgana

Kau tahu?
Hari-hariku kini berpacu dengan waktu
Mengurai mimpi-mimpi yang beku
Melenyapkan rindu yang kian bertalu-talu
Mendamba jawabmu

Untukku sekadar mengobat pedih ini
Untukku sekadar merajut lagi mimpi-mimpi
yang diremukkan keadaan
menjadi serpihan-serpihan
yang terserak di sepanjang jalan

Jarak memang telah memisahkan kita
Dan kau telah biarkanku sendiri
merawat janji setia
yang sering kutitipkan lewat doa

Kini biarkan aku bermain-main
Dengan segala ingin
Mencintaimu dari jauh
Mengikuti arah rindu
Meski harus menentang semesta
dan tertawa dalam rinai air mata

Hingga kelak...
Ku temukan sebuah senja
yang akan menjadi narasi penutup kisah kita
yang akan dikenang selamanya
tanpa dendam dan duka

Kita sepakat saling pisah
Dengan menyimpan segala tanya
Membiarkannya menjadi rahasia
Berganti dengan jiwa yang kuat
Memendam rasa yang kian lekat


Pradirwan,  
Bandung, 8 November 2020

Pengalaman pada Sepotong Senja

pengalaman senja di pantai ujung genteng
Pengalaman pada sepotong senja (Pradirwan)


Tiada pengalaman yang lebih indah daripada pengalaman saat kita menikmati sepotong senja. Duduk beralas pasir putih diiringi deru ombak dan angin pantai. Menatap langit tepi barat dan menyaksikan jejak sang surya tenggelam pada petak-petak langit jingga.

Seperti senja itu, saat aku melepas lelah setelah seharian berjalan, menelusuri jalanan penuh liku menuju pantai ini.

Sungguh, aku rindu kembali ke pantai ini dan menatap lagi langit senjanya.

Pada senja kala itu, kita berjalan menyusuri pantai berpasir putih. Kita memang sengaja datang walaupun satu per satu pengunjung telah banyak yang pergi.

Kali ini, aku datang sekadar bernostalgia. Aku ingin merasakan kembali pengalaman senja di atas pasir putih. Desau angin dan riak ombak samudera menjadi teman sepi. Pantai ini cocok bagiku menjadi tempat duduk menyendiri.

Aku datang sekadar bernostalgia. Sialnya, aku berjumpa dengan kesunyian tiada tara. Ombak serasa mati. Tak lagi berkejaran ke pantai. Tak ada lagi suara pengunjung. Semuanya hilang, lenyap ditimbun waktu.

Pengalaman yang ku cari tak dapat ku temui. Di ujung horizon, mentari senja terbelah kemudian perlahan-lahan hilang. Ia meninggalkan petak-petak jingga pada awan yang tak beraturan di langit.

Aku duduk di hamparan pasir putih dan mataku terpana pada langit jingga.

"Indah sekali!" Pujiku dengan suara tak terucap.

Itu suara dalam keheningan. Pujian hati pada sepotong senja yang indah tak terkatakan. Mataku terpana. Jiwaku terhibur menyambut keindahan senja yang menakjubkan itu.

Tiba-tiba bayangan itu muncul. Bayangan aku dan kamu saat senja merelakan jingga kepada malam. Lantas hilang, terkubur kenanganku sendiri.

***

Pradirwan
Ujunggenteng, 15 April 2019

Di Sana, Pada Suatu Senja

Di Sana, Pada Suatu Senja (Pradirwan)


Mungkin kau pernah bertanya
Mengapa waktu seringkali memainkan rasa
bersama hati dan raga?

Di sana, pada suatu senja

Awan kadang gemar menjahit senja,
namun enggan menemui jingga.

Sementara aku hanya bisa menyampaikan syair kerinduan,
yang terlanjur diam disekap ruang.

Biarkan hari ini jiwa menyatu,
membayar rindu,
lantas mengutuk waktu.

Ah, benarkah senja memang begitu sedari dulu?

Pernah suatu kali jingga merona mencakar cakrawala,
lalu jatuh dalam wajahmu,
menjelma nyanyian rindu,
kala malam menutup pintu.

Hingga senja berkata
menjawab semua tanya
tentang alasan kepergian yang tanpa aba-aba

Sementara aku terpekur
terikat dalam belenggu rasa yang temaram

Lalu menyerpih dalam lapisan langit yang jatuh pada kelamnya sebuah perasaan

Merindumu sungguh berat
Tapi percayalah, aku sanggup!


Pradirwan
Ujunggenteng, 15 April 2019

Bangunan Tua

Bangunan Tua (doc. pradirwan)

Bangunan Tua

Bangunan tua itu ingin bercerita
Tentang masa lalunya
Tentang kesendiriannya
ditengah belantara kota
Adakah dia bersama cinta?

Namun sayang,
Kisahnya kini hampir usang
Tak ada lagi yang mendengar
Terbiar sendiri kedinginan
Di pelataran sunyi malam
Hanya dapat memandang
Tanpa berani berkata
Tersumpal gaung dunia

Maka ia sekali lagi menyendiri
Dalam dunianya yang sepi
Menatap waktu
Yang mengubah padang
Menjadi gersang

***
Pradirwan, 
Bandung, 12/04/2019

Catatan di Kala Senja

Catatan di Kala Senja
Catatan di Kala Senja (photo by Slamet Rianto)


Aku membuka kembali sebuah catatan yang pernah aku buat beberapa saat lalu. Di sebuah senja saat mentari perlahan turun menyisakan lembayung.

Sebuah catatan yang memuat sedikit banyak hal penting dalam percakapan kita saat itu. Percakapan dan perkenalan kita yang singkat menjejak kenangan. Di hari itu, saat khotib belum berkhutbah pada sholat Jumat siang itu.

Kini, hadir dihadapanku senja yang ganjil, senja yang terik namun dingin, dan ingatan-ingatan yang perlahan luput di hadapan sang waktu.

Mungkin begitulah cara kerja ingatan, tidak pernah membuat kita benar-benar melupakan sesuatu. Selalu ada jejak yg tertinggal. Sebuah kesan yang mendalam. 

Ia tak seperti jejak pada pasir pantai yang dihapus gelombang, sirna tak berbekas. Ingatan kali ini adalah kesan dan ucapan yang dikekalkan waktu. Dan aku berhasil mencatat dalam buku ini. Meski terkadang ia dapat juga hadir lewat lagu, atau tanggal-tanggal pada kalender.


***

Pradirwan,
Bandung, 03 Juni 2017
 
Copyright © 2021 Pradirwan and OddThemes