BREAKING NEWS
Showing posts with label Catatan Menulis. Show all posts
Showing posts with label Catatan Menulis. Show all posts

Bingung Bikin Caption? Cobalah Dua Teknik Copywriting Ini

Teknik Copywriting

Pradirwan - Apa kamu sering kebingungan saat menulis caption untuk konten media sosialmu? 

Tahukah kamu jika menulis caption itu lebih mudah jika kamu mengetahui beberapa teknik copywriting? 

Ada dua teknik yang biasa saya gunakan dalam menulis caption.

Pertama, teknik Before - After - Bridge (BAB). 

Before, menjelaskan kondisi yang mungkin dialami audience-mu saat ini. Apa saja masalah, situasi, atau keadaan yang mereka alami sebelum membaca atau menyaksikan kontenmu. Tuliskan sebagai paragraf pembuka. 

After, menjelaskan kondisi spesifik yang diharapkan audience. Tuliskan perubahan apa yang bisa didapat audience setelah membaca atau menyaksikan kontenmu. 

Bridge, menjelaskan solusi yang bisa memfasilitasi audience dalam menyelesaikan masalahnya. Tuliskan apa yang bisa dilakukan oleh audience (dengan kontenmu) untuk mengubah kondisi dari Before menjadi After. 

Simak contoh caption menggunakan teknik BAB berikut:

"Bikin Caption Lebih Mudah dengan Teknik BAB (Headline/judul)

Apa kamu sering kebingungan saat menulis caption untuk konten media sosialmu?  (Before) 

Tahukah kamu jika menulis caption itu lebih mudah jika kamu mengetahui beberapa teknik copywriting? 

Salah satunya adalah teknik Before - After - Bridge (BAB). (After)

Di dalam konten ini saya akan menjelaskan bagaimana teknik BAB ini diterapkan untuk menulis caption beserta contoh yang bisa kamu tiru. (Bridge)

So, pastikan kamu baca kontenmu sampai habis ya! (Call to Action)"

Kedua, teknik PAS

Selain teknik BAB di atas, ada satu teknik lain yang bisa digunakan untuk menulis caption yaitu teknik PAS. Apa itu teknik PAS? 

Teknik PAS (Problem-Agitate-Solve) adalah salah satu teknik copywriting yang bertujuan untuk menyadarkan audience dengan menunjukkan kemungkinan terburuk dari masalah yang sedang dihadapi dan menawarkan solusi untuk keluar dari masalah tersebut. 

Problem, bagian ini menjelaskan masalah yang dihadapi audience (Pain). Mirip dengan Before pada teknik BAB. 

Agitate, menjelaskan akibat terburuk yang bisa dialami audience apabila masalah tersebut tidak diselesaikan dengan baik. 

Buat mereka semakin gelisah dengan masalah yang sedang dihadapi. 

Solve, menjelaskan alternatif jalan keluar (satu atau beberapa) yang bisa digunakan audience untuk menyelesaikan masalah tersebut. 

Tuliskan bagaimana kontenmu atau produkmu bisa menyelesaikan masalah audience. 

Contoh penerapan teknik PAS dalam caption. 

"TEKNIK INI DIJAMIN PAS UNTUK NULIS CAPTION!⁣ (headline/judul)

Tidak mengetahui teknik copywriting adalah salah satu penyebab kamu sering stuck saat bikin caption untuk kontenmu.⁣ (Problem)

Akibatnya, kamu hanya menulis caption seadanya tanpa susunan yang jelas dan sistematis. Hal tersebut bisa saja berakibat pada engagement konten yang kurang maksimal karena captionmu tidak bisa menarik audience untuk mengunjungi kontenmu atau memberikan feedback sesuai keinginanmu.⁣ (Agitate)

Untuk itu, sebagai creator kamu perlu mempelajari teknik-teknik copywriting. Salah satunya adalah teknik PAS (problem-agitate-solve) yang saya bahas pada konten di atas.⁣ (Solve)

Silahkan baca kontennya sampai habis untuk mengetahui penjelasan dan contoh penggunaanya dalam menulis caption.⁣ (Call to Action)."

Semoga catatan malam Senin tentang dua teknik copywriting untuk membuat caption ini bermanfaat. Salam. 

Sumber: @gilalogie

Membedah Buku Mazda

Bedah Buku Membangun Rumah di Bawah Tanah

"Jika kau bukan anak raja maka menulislah!" (Imam Ghazali)

Pradirwan - Siapa sih yang tak ingin namanya tercantum dalam sampul sebuah buku sebagai penulis? Dalam hati setiap penulis, pastilah ada keinginan untuk membuat buku, wujud tertinggi dari sebuah tulisan. Setidaknya satu buku seumur hidupnya. 

Tak terkecuali Ahmad Dahlan. Baru-baru ini, lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai auditor di Kantor Pajak itu menerbitkan buku berjudul "Membangun Rumah di Bawah Tanah (MRdBT)". 

Pada acara bedah buku yang digelar Sabtu malam (19/09/2020), pria yang akrab disapa Mazda itu bercerita tentang keputusannya membuat buku. "Pertengahan Agustus 2020 lalu, motivasi membuat buku yang semula tereduksi itu tiba-tiba menguat kembali," ungkapnya. 

Konon, motivasi itu muncul berawal dari sebuah keinginan untuk memberikan kado pernikahan perak untuk istrinya. 

Terbersitlah ide untuk mengumpulkan tulisan-tulisan yang pernah dia buat, merangkainya, mengikatnya, lalu ia jadikan sebuah draft buku. Draft ini kemudian disebarkannya ke beberapa rekan penulis. 

Gayung bersambut. Rekan-rekannya menyatakan bahwa draft tersebut layak menjadi sebuah buku. Lalu seorang rekan memberinya nomor kontak penerbit. Proses selanjutnya sudah bisa ditebak, buku itupun terbit dan sampai kepada pembacanya.

Tangkapan Layar saat mengikuti bedah buku Mazda

Buku yang sudah masuk cetakan kedua ini dikupas tuntas oleh tiga pembicara, semalam. Mereka adalah Gathot Subroto (Fuji Film X-Fotografer), Edmalia Rohmani (Pecinta Literasi), dan Nurul Huda Haem (Pengurus Ponpes Motivasi Indonesia-Bekasi). 

Acara yang berlangsung sejak pukul 19.30 WIB ini dimoderatori oleh Slamet Rianto dan disiarkan langsung melalui aplikasi zoom meeting.

Berbagai ulasan menarik tentang buku itu pun muncul. Gathot mengulas tentang sampul dan lay out buku itu. Fotografer yang fotonya pernah digunakan akun medsos @Jokowi itu membuka bahasannya dengan dua cara penerbitan buku. 

Gathot Subroto @Gathoe

Jika dulu seorang penulis harus mengirimkan naskah kepada penerbit mayor, masuk ke dalam daftar antrian untuk di-review, dan proses-proses lain yang harus diikuti, maka sekarang para penulis indie bisa mencoba peruntungannya sendiri. "Penulis bisa membuat buku dengan lebih personal melalui penerbit minor (self publishing)," kata Gathot.

Dengan memanfaatkan jejaring pertemanan di media sosial dan komunitas di Whatsapp grup, seorang penulis bisa memasarkan bukunya. "Kita bisa mengalkulasi berapa biaya yang dibutuhkan untuk ongkos mencetak buku tersebut dari jumlah pertemanan kita itu," katanya. 

Meski ada pepatah mengatakan, “Don’t judge a book by its cover”, namun kenyataannya riset membuktikan bahwa keberhasilan penjualan buku di pasaran sangat bergantung terhadap kualitas dan keindahan cover-nya.

"Penggemar buku seringkali hanya melihat sekilas judul dan sampul buku dari berbagai banyak pilihan buku lainnya. Mereka sangat memperhatikan aspek desain cover buku agar 'stand out' di antara buku-buku lainnya," tutur Gathot. 

Semua aspek yang tercermin dalam buku itu harus bisa direpresentasikan desainer dan author melalui cover-nya. "Semua warna, typography, desain lay out, dan ukuran buku itu harus saling menunjang," ungkapnya. 

Ia berpesan, agar untuk buku selanjutnya "memanfaatkan jasa" teman-temannya yang memang ahli di bidang desain dan editing. 

Menanggapi hal tersebut, Mazda menyampaikan bahwa dia menerima masukan tersebut. "Saya berpikir untuk tidak merepotkan teman-teman saja. Pihak penerbit saya anggap profesional. Mereka pun sudah beberapa kali menyampaikan konsep baik tulisan maupun lay out untuk saya setujui sebelum dicetak," katanya. 

Ulasan berikutnya disampaikan Edmalia. Pecinta sastra itu mengatakan bahwa buku perdana Ahmad Dahlan itu sangat ringan sehingga pesannya mudah ditangkap.

Edmalia Rohmani

"Inti komunikasi (baik secara lisan ataupun tulisan) adalah menggerakkan hati orang. Tulisan dianggap sukses ketika bisa menggerakkan hati orang, dan itu tercermin dalam tulisan di buku ini," kata pegawai pajak yang akrab disapa Lia itu.

Point of View (POV) atau sudut pandang penulisan tak luput dari pembahasan Lia.  "Secara sederhana, POV adalah bagaimana penulis menempatkan dirinya dalam cerita dan menyampaikan cerita itu kepada pembaca. POV ditentukan saat mulai menulis. Digunakan konsisten dari awal hingga akhir cerita," jelasnya. 

Dalam proses penciptaan karya, ada tiga POV yang bisa digunakan, yaitu POV orang pertama (POV1), POV orang kedua (POV2), dan POV orang ketiga (POV3). 

Dalam POV1, penulis menjadi diri penulis sendiri (aku) dalam cerita, mengikuti pikiran dan aksi si penulis. Penulis tidak bisa menggambarkan apa yang tidak dilihat si penulis. Penulis juga tidak bisa mengetahui perasaan yang tidak dirasakan oleh penulis.

Saat memosisikan diri sebagai penulis, tugas utamanya hanya menulis hingga selesai apa-apa yang menjadi ide atau pikiran yang ingin dituangkan. Tidak perlu memikirkan hasilnya akan baik atau tidak, menarik atau tidak diksi yang digunakan, semua itu urusan belakangan.

Sementara dalam POV2 dan POV3, penulis memosisikan dirinya sebagai orang lain, baik sebagai pembaca (POV2) maupun sebagai editor (POV3). 

Saat kegiatan menulis selesai, penulis kemudian memosisikan dirinya sebagai pembaca. Hasil tulisan yang telah selesai itu kemudian dibaca ulang dari awal sampai akhir. Hal ini bertujuan agar dapat mengenali tulisan yang mungkin kurang baik atau diksi yang digunakan kurang menarik. Sehingga dapat melakukan koreksi dan pengeditan.

Langkah selanjutnya, penulis memosisikan dirinya sebagai editor. Poin terakhir ini sangat penting diterapkan demi tercapainya tulisan yang lebih baik. Jika sudah mampu memosisikan sebagai editor, maka dengan mudahnya dapat mengubah kata yang kurang baik, ada yang salah ketik, penggunaan tanda baca yang tidak tepat, atau mungkin ada alur yang kurang pas pada tulisannya. 

"Buku ini penulis memilih POV1. Menceritakan kejadian sehari-hari yang dialami penulis," ungkapnya. 

Untuk itu, penting juga mengetahui platform apa yang akan digunakan penulis dalam menyampaikan gagasannya. Hal ini terkait dengan penggunaan kaidah berbahasa yang baik. 

Lia lantas mengutip pendapat Gorys Keraf, “Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik."

Kejujuran yang dimaksud adalah ketepatan pemilihan kata. Ini berkaitan dengan menggunakan kata secara tepat, yang berarti menggunakan kata sesuai dengan makna yang ingin dicapai. Sementara itu, kesesuaian pemilihan kata berkaitan dengan suasana dan lingkungan berbahasa. 

"Buku ini sudah menggunakan gaya bahasa yang sopan dan menarik. Namun untuk sebuah buku, menurut saya lebih baik menggunakan kaidah penulisan buku yang berlaku. Gaya bahasa yang digunakan masih terpengaruh gaya bahasa membuat artikel blog atau medsos yang personal," kata Lia. 

Namun Lia tak menampik bahwa penggunaan diksi dalam buku setebal 160 halaman itu sangat ciamik. "Bahkan sekelas Masla (Slamet Rianto) pun harus membuka kamus untuk mengetahui maknanya," ujarnya berseloroh. 

Menurut Mazda, dirinya mengidolakan Dahlan Iskan. Tulisan-tulisannya memang terpengaruh gaya bahasa dalam DI's Way. "Gaya bahasa ini memang saya pertahankan untuk menjaga kekhasan," katanya. 

Sementara itu, pengasuh sekaligus pimpinan pondok pesantren Motivasi Indonesia-Bekasi, Nurul Huda Haem mengatakan, setidaknya ada lima hal yang ia dapatkan dari kumpulan cerita dalam buku "Membangun Rumah di Bawah Tanah" ini.

Pertama, tidak ada satu peristiwa yang terjadi melainkan ada hikmah yang menyertainya. Maknai peristiwanya. "Buku ini menyajikan berbagai kisah sederhana namun penuh hikmah," tuturnya. 

pengasuh sekaligus pimpinan pondok pesantren Motivasi Indonesia-Bekasi, Nurul Huda Haem

Kedua, jadilah orang kaya. Menurut ustaz yang akrab disapa Ayah Enha itu, selama ini manusia dituntut menguasai ilmu ekonomi tanpa diimbangi dengan kesalehan finansial. "Dengan uang kita bisa memiliki harta. Kita lupa belajar bagaimana agar uang itu bukan lagi sebagai sebab, tetapi sebagai akibat," jelasnya. 

Uang yang kita peroleh hendaknya didapatkan dari sumber yang halal, dengan cara yang baik, dan dipergunakan untuk hal-hal yang baik. 

Seorang yang memiliki kesalehan finansial akan cermat memilih sumber uang yang dia dapatkan dan saat menggunakannya. Sebab, uang yang dia dapatkan bukan hanya akan dimintai pertanggungjawabannya di dunia, namun juga di akhirat kelak.

Ketiga, menyiarkan kebaikan (sedekah) itu tak dilarang. Sebagaimana tercantum dalam surat Albaqarah ayat 271, Allah SWT berfirman, "Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu."

Keempat, jangan menghardik anak yatim. Dalam Islam, anak yatim mendapatkan perhatian Alquran sejak periode Mekah. 

Hal ini tercermin dalam Alquran surat Almaun ayat 1-3. Allah SWT berfirman, "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin." 

Anak yatim (anak yang ditinggalkan oleh bapaknya saat usia kecil hingga akhil baligh) tidak hanya membutuhkan bantuan untuk masalah fisik, seperti pakaian, makanan, minuman, dan tempat tinggal. Mereka juga membutuhkan curahan kasih sayang dan pendidikan. 

Beberapa yayasan dan panti sosial yang memelihara anak yatim ini ada di sekitar kita. "Jangan santuni kami, berdayakan kami. Inilah motto yang digunakan di pesantren kami (Motivasi Indonesia)," kata Ayah Enha.

Kelima, temukan Detik Kesadaran Diri (DKD)-mu. Kesadaran diri ini merupakan salah satu respon atas segala pengambilan keputusan yang diambil dalam kehidupan ini. 

DKD adalah sebuah momentum di mana seseorang dengan penuh kearifan mengakui kekhilafannya dan melakukan perubahan. Ia sepenuhnya menyadari bahwa pengawasan Allah bukan sekadar pada keberadaannya, bahkan pada setiap huruf yang ia tuliskan, pada setiap kata yang ia lisankan, pada setiap hembusan nafas, pada setiap angin yang mendesir, pada setiap daun yang berguguran, pada setiap detik kejadian. 

"Buku MRdBT ini menyiratkan bahwa penulisnya mulai 'tersadar' saat mendengarkan khotbah salat  Jumat. Mazda menggunakan kemampuannya dalam menulis dengan berbagi tulisan untuk membuat kita termotivasi melakukan kebaikan," pungkasnya. 

Sebagai penutup, Slamet Rianto berujar, bahwa ternyata berbuat baik itu butuh ilmu. 


Tabik


Pradirwan, 

Bandung, 20 September 2020

***


Judul buku: Membangun Rumah di Bawah Tanah

Penulis: Ahmad Dahlan

ISBN: 978-602-5824-78-4

Ukuran: 14x20 cm

Jumlah halaman: 160 halaman

Penerbit: Maghza Pustaka, Pati

Cetakan pertama: Agustus 2020


***

Untuk pemesanan buku (PO) silakan mengisi tautan berikut https://tinyurl.com/MRdBT2 atau menghubungi akun facebook Ahmad Dahlan Jadi Dua

Menulis, Mengingat, Melupakan

 

Pradirwan sesi berbagi menulis kpp cibeunying

"Momen apa yang paling membahagiakan Anda dalam seminggu ini?"

Jawabannya tentu saja akan beragam. Bisa momen pernikahan, kelulusan, peluncuran buku, pertemuan dengan kawan lama, dan lain-lain. Semua jawaban itu tergantung dari tingkatan kesan yang diingat oleh otak masing-masing. 

Konon, otak manusia didesain untuk melupakan hal-hal yang dianggap tidak relevan dengan masa kini. Sepanjang sejarahnya, manusia akan mengingat hal yang benar-benar penting dan akan melupakan sisanya. 

Ini karena ingatan manusia terus-menerus direkonstruksi. Ingatan tidak disimpan dalam kondisi murni, tetapi diubah seiring berjalannya waktu untuk membantu mengatasi kondisi disonansi kognitif.

Misalnya, saat pegawai menerima SK mutasi, ada perasaan tidak nyaman yang terjadi. Namun, ketika sudah mengalami, mengenal kantor baru, dan beradaptasi, pegawai tersebut akan mengabaikan konflik batin yang terjadi di masa lalu itu. Bahkan dia bersyukur telah memperoleh SK mutasi itu. 

Melupakan juga membantu manusia untuk fokus pada masalah yang terjadi saat ini dan merencanakan masa depan. Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang terlalu terikat pada masa lalu, akan merasa sulit untuk hidup dan menjalani di masa kini. 

Kita tidak akan mungkin menyimpan setiap kejadian keseharian. Melupakan, akan menciptakan ruang untuk sesuatu yang baru dan memungkinkan orang melampaui apa yang sudah mereka ketahui.

Karena manusia selalu banyak lupa, kita belajar bagaimana menjaga hal-hal yang benar-benar penting. 

Pradirwan sesi berbagi menulis kpp cibeunying

Lalu bagaimana caranya agar tidak lupa? Kita bisa memulainya dengan menulis, menyimpan foto, atau merekam video setiap momen yang kita anggap penting atau mencerahkan. 

Hal-hal itulah yang saya lakukan. Sejak 5 tahunan lalu, saya mulai belajar menulis. Merekam momen penting untuk saya arsipkan dalam blog, atau mengunggahnya menjadi status media sosial. 

Kebiasaan ini berlangsung hingga sekarang. Kebiasaan yang membuat saya belajar berbagai hal dan menghubungkan dengan banyak orang. 

Maka, ketika saya diminta untuk berbagi pengalaman oleh KPP Pratama Bandung Cibeunying, Selasa (18/8), saya senang. Ini adalah kesempatan langka yang tak bisa saya sia-siakan.

Pradirwan sesi berbagi menulis kpp cibeunying

Dalam kesempatan tersebut, saya menyampaikan cara berkomunikasi lewat tulisan. Komunikasi yang efektif bisa dicapai lewat sebuah tulisan. Bagaimana caranya? Penulis Barbara Tuchman mengatakan, “Tidak ada yang lebih memuaskan daripada menulis kalimat yang baik."

Selama ini saya belajar membuat tulisan yang baik, yaitu tulisan yang mudah dipahami, mengalir, enak dibaca, dan tentu saja dapat dipertanggungjawabkan isi dan kebenarannya. Bahkan, tulisan yang baik seringkali mampu membawa emosi para pembacanya, sehingga mereka benar-benar menghayati saat membaca tulisan tersebut.

Dari semua tulisan, saya mendapati tiga permasalahan: ide/topik, amunisi, dan latihan.

1. Ide/topik tulisan bisa apa saja, tetapi penulis yang baik selalu menemukan sudut pandang yang spesial. Tulisan yang baik ketika penulisnya bisa menyajikan dengan sudut pandang yang berbeda, belum terpikirkan oleh pembaca, atau ada gagasan baru yang ia sampaikan. 

2. Penulis yang baik membutuhkan "amunisi" untuk menulis.

Amunisi menulis ini bisa diperoleh melalui tiga hal:

a. Banyak membaca buku. 

Tulisan baik seringkali dihasilkan dari referensi-referensi buku/bahan bacaan yang baik. Dari sumber bacaan itu, kita perlu untuk menganalisis kelebihan-kelebihan tulisan tersebut. Kita perlu tahu di mana titik kekuatannya dan di mana titik kelemahannya. 

"Satu paragraf yang kamu tulis setara dengan satu buku yang harus kamu baca."

Kutipan ini semakin menegaskan betapa pentingnya banyak membaca referensi (buku). Tanpa membaca, tidak akan bisa menjadi penulis.

Dengan membiasakan membaca buku terbaik, kita bisa terdorong untuk menghasilkan tulisan yang terbaik juga.

b. Banyak melakukan perjalanan. 

Bila terus dalam rutinitas, rasa jemu kerap terasa. Saat itulah perlu waktu jeda istirahat. Aktivitas traveling dianggap perlu, karena dapat menikmati suasana baru meski sejenak.

Traveling kerap membuka peluang seseorang menemukan hal baru dalam sebuah perjalanan. Kadang, hal-hal baru dan mengesankan yang tak terduga bisa dirasakan saat dalam perjalanan. 

Berbagai pengalaman saat melakukan perjalanan itu bisa menjadi amunisi untuk menulis. 

c. Bertemu dengan orang-orang bijak. 

Mendapatkan amunisi menulis tak hanya dari pengalaman penulisnya sendiri. Bisa juga dari pengalaman orang lain. Caranya, ajak mereka bercerita tentang pengalaman hidupnya. 

Misalnya, jika ada tukang bakso yang sudah puluhan tahun berjualan bakso. Cerita pengalaman berjualan bakso yang dia sampaikan akan menjadi amunisi di kepala. 

3. Kalimat pertama adalah mudah, gaya bahasa adalah kebiasaan, menyelesaikan lebih gampang lagi. 

Banyak yang bilang membuat kalimat pertama itu sulit. Padahal, kalimat pertama itu mudah. Tulis saja yang terlintas di kepala. Keluarkan semuanya. Setelah selesai, baru lakukan penyuntingan. Kalimat-kalimat yang tidak dibutuhkan bisa dibuang. 

Konon manusia modern itu menulis minimal 1000 kata per hari dalam berbagai platform (mulai whatsapp, status dan komentar di media sosial, dan lain-lain). Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya kita sudah terbiasa dengan menulis. 

Biasakan menulis dengan baik 1000 kata per hari. Semakin sering menulis, akan menjadi kebiasaan. Gaya tulisan pun akan terbentuk dengan sendirinya. 

Jika sudah mentok, tulis saja kata "tamat". 

Saya masih belajar agar setiap tulisan-tulisan saya dapat menjadi lebih baik setiap harinya.

Saya percaya, tidak ada yang disebut ahli kecuali ia rajin belajar dan terus berlatih. 

Mari, mulailah menulis sejak saat ini!


Pradirwan

Bandung, 20 Agustus 2020

Cara Menjadi Newbie Percaya Diri

Dear Future I am Ready (Pradirwan)

"Newbie kok sudah berani sharing tentang kepenulisan dan fotografi?"


Pradirwan - Kegelisahan atau perasaan tidak aman sering kali dirasakan oleh siapapun. Merasa insecure itu hal yang wajar terjadi. Namun, kondisi ini bisa menjadi masalah ketika itu terjadi berlarut-larut. 

Biasanya, kondisi ini terjadi karena ia menilai dirinya tidak lebih baik dari orang lain. Sebenarnya mereka sadar bahwa ketidakpercayaan dirinya sedang turun dan hal itu akan memengaruhi kehidupan mereka. Ketidakpercayaan kepada diri sendiri ini akan menghambat seseorang mengembangkan potensi dirinya. 

Saya pernah merasa dalam kondisi ini. Biasanya saat saya baru memulai sesuatu hal yang baru. Sebut saja menulis dan fotografi. Saya menilai diri saya masih pemula dalam dua bidang itu. Sering sekali saya tidak merasa percaya diri membagikan apa yang saya pelajari. Banyak pertimbangan sampai akhirnya saya memutuskan berbagi hal yang saya pelajari.

Lalu, ada pertanyaan, masih baru (newbie) kok sudah berani sharing tentang kepenulisan dan fotografi? 

Saya percaya setiap orang sudah diberi anugerah oleh Tuhan. Saya diberikan waktu, kesehatan, dan kesempatan dalam hidup untuk belajar banyak hal.

Satu hal yang sering kita lupakan, waktu, kesehatan, dan kesempatan itu punya batas akhir. 

Berbagi ilmu dan pengalaman yang bermanfaat tidak harus menunggu kita ahli dulu. Meski followers dan jaringan kita sedikit, kita punya hak yang sama untuk berbagi pengalaman.

Terlebih saat ini banyak platform media sosial yang bisa kita manfaatkan sebagai sarana kita belajar, berbagi, dan berkarya. Sesederhana apapun, saya yakin akan punya dampak. Sekecil apapun ilmu yang kita punya, akan selalu ada orang yang membutuhkan ilmu itu untuk disampaikan. Tak peduli berapapun followers yang kita miliki, konsepnya akan tetap sama. 

Bagi saya, lebih baik punya sedikit followers tetapi mereka bisa belajar sesuatu daripada followers banyak tetapi tak ada ilmu apapun yang dibagikan.

Secara umum, ada dua metode belajar yang saya lakukan untuk meningkatkan rasa percaya diri dan berbagi.

Belajar dengan Melakukan 

Metode ini mirip-mirip arti pepatah "ala bisa karena biasa" atau "sambil jalan sambil belajar". Belajar dengan melakukan (learning by doing) adalah sebuah metode pembelajaran yang cukup efektif. Ya, belajar sesuatu dengan cara melakukan akan lebih cepat membuat seseorang menguasai hal yang ia pelajari.

Perhatikan, ada dua kata kunci, learning dan doing. Ini menyiratkan pesan bahwa kita harus belajar teori, harus juga mempraktikkan. 

Teori tanpa praktik sama dengan lumpuh, praktik tanpa teori adalah buta.

Ketika hendak belajar fotografi, kita harus tahu teori fotografi dulu. Paling tidak kita tahu semua bagian utama kamera, mana tombol shutter, tombol preview, dan tombol lainnya beserta fungsinya. Pelajari juga segitiga exposure, komposisi, lighting, dan sebagainya. 

Setelah itu baru berlatih memotret secara terus menerus dan berulang kali. Jadi tak hanya trial and error. Kita punya landasan teori dalam melakukan sesuatu sehingga meminimalkan kesalahan yang sama di kemudian hari, syukur-syukur menjadi lebih baik setiap harinya.

Belajar dengan Mengajar

Selain metode learning by doing di atas, ada satu metode lainnya yang tak kalah bagus jika kita lakukan yaitu belajar dengan mengajar (learning by teaching)

Saya pernah belajar membaca alquran menggunakan "Buku Iqro': Cara Cepat Belajar Membaca Alquran" karya K.H. As'ad Humam. Buku yang pertama terbit tahun 1990 itu terdiri dari 6 jilid. Guru saya meminta setiap murid yang jilid Iqro'-nya lebih tinggi harus mengajari yang jilid Iqro'-nya lebih rendah. Misalnya, saat seorang murid sedang mempelajari Iqro' jilid 3, maka murid tersebut mengajar murid lainnya yang masih jilid 2 atau jilid 1. Ajaibnya, saya yang dulu sulit sekali belajar membaca alquran akhirnya berhasil.

Pernahkah kita perhatikan, ketika kita mengajarkan sesuatu kepada seseorang, tanpa sadar kita juga ikut belajar. Kita ikut mengeksplorasi, me-review, dan mengevaluasi pengetahuan yang mungkin telah lama terpendam dalam memori kita. Anehnya, kita mungkin tahu bahwa kita memilikinya, tapi kita lupa menempatkannya dimana.

Lalu, saat mengajar itulah yang membantu kita belajar menemukan "file" itu kembali. Begitu seterusnya semakin kita mengajarkannya, semakin banyak pula kita belajar mengulangnya, sehingga ilmu kita bertambah dan semakin tajam.

Jangan Menunda

Hindari berpikiran nanti saja sharing-nya kalau sudah mahir. Kalau menunggu sempurna dulu, kita tidak akan pernah mulai berbagi. Karena itu penting untuk memulai dengan niat yang benar. Kalau niat kita murni menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, itu akan memudahkan perjalanan kita.

Seperti halnya jargon yang sering kita dengar di pom bensin, banyak orang yang memulai karirnya dimulai dari nol. Mereka yang saat ini mendominasi juga bisa jadi awalnya hanya bermodal percaya diri.

Kita tidak pernah tahu sampai kapan waktu yang kita miliki. Pun sampai saat ini, tidak ada standar dalam berbagi ilmu dan pengalaman. Selama itu bermanfaat bagi kita dan tak melanggar norma, kenapa tidak kita coba untuk bagikan ke orang lain?

Berbagilah!

Pradirwan
Bandung, 5 Juni 2020

Catatan Menulis lainnya: 
Menulislah Untuk Orang Lain

Kreatif Segan Covid Tak Mau

Kreatif Segan Covid Tak Mau
Salah satu cara mengisi WFH adalah dengan berkreasi. (Ilustrasi) 

"Aspek penting dari kreativitas adalah tidak takut untuk gagal." Dr. Edwin Land.

Pradirwan - Sejak Desember tahun lalu hingga saat ini, perhatian dunia masih terfokus kepada pendemi Corona Virus Desease-2019 (Covid-19). Corona is the most popular object in the world. Seperti halnya artis yang naik daun, virus yang katanya dari Wuhan ini tiba-tiba muncul dan menjadi bahan perbincangan jagat raya.

Kemunculan Corona membawa dampak buruk. Data menyebutkan terdapat lebih dari 1,2 juta kasus virus corona Covid-19 di seluruh dunia hingga Senin pagi (06/04/2020), dengan Amerika Serikat memiliki paling banyak pasien Covid-19. Jumlah pasien Covid-19 di AS tercatat 337.274 kasus.

Sementara itu, di urutan kedua Negara dengan kasus Covid-19 terbanyak adalah Spanyol dengan 131.646 kasus, kemudian Italia dengan 128.948 kasus, dan Jerman dengan 100.123 kasus.

Covid-19 telah menyebabkan 69.419 kematian di seluruh dunia. Italia memiliki jumlah kematian tertinggi dengan 15.887 dan Spanyol dengan 12.641 kematian.

Di Indonesia, hingga pukul 12 siang (Senin, 06/04/2020), terdapat 2.491 terkonfirmasi positif covid-19 dengan 192 sembuh dan 209 meninggal. Ini benar-benar mimpi buruk yang menjadi nyata.

Lalu apa yang harus kita lakukan?


Virus Corona memang begitu mudah menular. Ia menular lewat droplet atau percikan. Maka dari itu penting bagi kita untuk menerapkan physical distancing atau jaga jarak minimal satu meter dari orang lain. Tunda dulu mengadakan pertemuan dan yang mengundang kerumunan orang banyak.

Selain itu, biasakan mencuci tangan dengan sabun. Bisa saja tanpa kita sadari tangan kita telah menyentuh permukaan benda yang sudah terkontaminasi Covid-19.

Tak melulu membawa sisi negatif. Kehadiran virus ini pun ternyata membawa sisi positif. Corona telah memaksa kita mengubah kebiasaan buruk menjadi kebiasaan baik dan sehat. Manusia menjadi banyak yang mengerti pentingnya Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) dalam kehidupan sehari-hari.

Jika diperhatikan, pembatasan-pembatasan yang disebabkan Corona juga memunculkan tren-tren baru. Layanan non tatap muka DJP dan kebijakan bekerja dari rumah misalnya, membuat proses bisnis di DJP juga berubah.

Dulu Wajib Pajak yang ingin mengaktivasi EFIN harus datang langsung ke Kantor Pajak. Kini bisa dilakukan via email tanpa perlu ke kantor pajak.

Pembatasan dan keterbatasan kadangkala membuat manusia berpikir kreatif. Manusia kreatif akan melihat satu hal dengan sudut pandang baru, lalu menemukan hubungan baru, dan kemudian membentuk kombinasi baru, meskipun tak ada yang menjamin setiap kreativitas akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik.

Thomas Alva Edison mengatakan, 'Kreatifitas terdiri dari 1 persen inspirasi dan 99 persen kerja keras."

Manusia telah ditakdirkan akan terus menerus menghadapi masalah dan selalu berusaha mencari solusi setiap permasalahan yang dihadapinya.

Jika masalah dipecahkan secara otomatis atau menurut kebiasaan, maka kita tidak akan pernah mengenal masalah tersebut dan merasa tidak pernah mempunyai masalah.

Sejatinya, Tuhan menciptakan masalah agar manusia menyadari bahwa masalah itu merupakan tantangan untuk dirinya. Sebuah tantangan untuk menumbuhkan kreativitas dalam dirinya. Jiwa-jiwa kreatif ditantang untuk menemukan solusi itu. Dengan kreativitasnya manusia menjadi optimis menjalani hidup. Hidup akan menjadi lebih menyenangkan.

Amati, Tiru, Modifikasi (ATM)

Tidak ada yang benar-benar original. Seorang bayi pada awalnya hanya bisa menangis. Sejalan dengan berjalannya waktu, dia belajar banyak hal melalui proses mengamati, meniru, dan modifikasi sesuai kebutuhannya.

Prinsip Amati, Tiru, dan Modifikasi (ATM) ini telah terbukti manjur dan populer. Maka tak heran, banyak orang yang menggunakan prinsip ATM ini untuk tetap kreatif, berpikiran fresh, serta menghasilkan sesuatu yang lebih baru dan unik.

Kegagalan tidak akan menghampiri orang-orang yang pandai menyesuaikan diri, menggunakan gagasan orang lain yang telah terbukti berhasil, dan mengikuti jejak keberhasilan yang telah dirintis.

Namun sesungguhnya, bila itu yang kita ikuti, kita sebenarnya telah 'gagal menjadi manusia'. Karena kita tidak bisa menemukan hal-hal baru. Kita tidak tumbuh menjadi manusia kreatif yang mampu hidup di luar kebiasaan-kebiasaan lama dan nalurinya.

Seorang penemu kamera polaroid, Dr. Edwind Land mengatakan, "Salah satu aspek penting dari kreativitas adalah tidak takut gagal. Para ilmuwan telah berhasil membuat eksperimen dan berulang kali gagal sebelum akhirnya mereka menemukan hasil yang mereka inginkan."

Bukankah kemudahan-kemudahan hidup yang kita rasakan saat ini berawal dari kegagalan-kegagalan tersebut?
Setiap orang memiliki kreativitas, bahkan mereka yang sudah berusia lanjut sekalipun masih dianugerahi kemampuan untuk menjadi kreatif. Selama otak masih berfungsi, kreativitas masih mengalir dalam diri seseorang.

So, sudah siap berkreasi?

Sumber statistik: Kemenkes dan Tirto

Menjaga Mood Menulis

Sharing Session penulisan berita di forum P2humas Kanwil DJP Jaksel I, Bandung (Kamis, 28/11). Photo by Gigeh HP


Pradirwan ~ Tak dapat dipungkiri, setiap orang yang belajar menulis, bahkan yang sudah biasa menulis pun adakalanya mengalami kemalasan atau kehilangan mood menulis.

Dalam acara forum P2Humas Kanwil DJP Jakarta Selatan I kemarin, (Kamis, 28/11/2019), salah satu peserta, @nukelist menanyakan bagaimana mempertahankan mood menulis itu.

baca juga : Menulislah Untuk Orang Lain

Saya tidak punya jawaban pastinya, tetapi saya punya pengalaman terkait mood menulis ini. Pada kesempatan sharing session itu, saya telah menjawabnya. Namun, melalui tulisan sederhana ini, saya hanya ingin berbagi pengalaman saja. Saya rasa ini akan menjadi lebih menarik, karena menurut saya, persoalan mood ini adalah persoalan proses dan cara mengelola.

Mood memang selalu menjadi masalah dalam dunia kepenulisan. Bahkan mood sering menjadi alasan untuk bermalas-malasan. Akhir dari masalah mood adalah kebuntuan menulis atau dalam dunia kepenulisan biasa dikenal writer block.

Awal-awal mulai belajar menulis, saya pun menemui writer block ini. Saat itu, saya teringat pelajaran Bahasa Indonesia dari guru saya, bahwa untuk membuat tulisan, buatlah kerangka karangannya dulu. Itu yang pertama kali ditulis. Paling tidak, ketika writer block itu datang, kita sudah punya kerangkanya. Setelah itu baru dikembangkan, tentunya dengan bahan-bahan menulis yang tersedia.

baca juga :10 Years Challenge dan Keabadian

Serangan mood jelek juga biasanya sering terjadi karena kurangnya persiapan. Ketika sudah saatnya menulis dan belum memiliki “senjata” yang dibutuhkan, mood menulis akan menguap begitu saja.

Sedangkan jika penulis telah menyiapkan segala yang dibutuhkan, meskipun awalnya tidak benar-benar memiliki mood menulis yang bagus, seringkali akan ada dorongan untuk tetap mulai merangkai kata.

Dalam mengembangkan kerangka ini seringkali writer block tiba-tiba menghampiri. Keinginan untuk menulis sangat besar dan menggebu-gebu namun tak satu pun kata yang bisa dituliskan. Bahkan, kalaupun kata itu dituliskan, selang beberapa menit, kata itu dihapus karena merasa tidak puas.

Oleh karena itu, saya menyarankan, agar jangan lakukan editing saat sedang mengembangkan tulisan. Tulis saja semuanya dulu. Keluarkan semua yang ada di kepala. Setelah itu baru baca ulang. Edit kata-kata atau kalimat yang tidak sesuai. Endapkan beberapa saat. Baca ulang dan lakukan editing seperlunya. Jika dirasa sudah cukup, baru kita kirimkan.


baca juga : Jurnalis itu Sejarawan



Untuk menjaga mood juga diperlukan kondisi lingkungan sekitar yang kondusif. Tidak banyak gangguan. Entah ini berlaku untuk saya saja atau orang lain juga sama. Saat menulis, saya biasanya mencari tempat yang tenang. Kalau sekiranya mengganggu, log out dari semua medsos kita, atau matikan jaringan internet sementara waktu, agar perhatian kita tak teralihkan ke hal lain. Hanya fokus menyelesaikan tulisan.

Tak ada yang benar-benar ahli. Mereka yang menurut kita ahli itu karena mereka telah belajar dan berlatih. Saya mencoba mewajibkan diri untuk menulis setiap hari, meskipun hanya berupa ulasan pengalaman pribadi seperti ini. Atau sekadar memberi tanggapan terhadap masalah yang saya temui di lingkungan sekitar. Medianya bisa dengan menulis caption atau status medsos, atau membuat blog pribadi. Intinya, yang penting tiap hari menulis. Entah dalam bentuk apa.

baca juga : Humas Pajak Sambut Era Industri 4.0

Selain itu, untuk mengurangi writer block dan mengembalikan mood yang buruk juga sangat bergantung pada minat membaca. Semakin banyak membaca maka akan semakin kecil pula potensi writer block yang dialami. Sebab inti masalah ini sebenarnya berkaitan dengan jumlah referensi yang dimiliki seorang penulis. Semakin banyak membaca, semakin banyak kosakata. Logikanya, output yang bagus bergantung dengan input yang bagus pula.

Selain itu, jangan lupa untuk sharing. Biarkan pembaca memberikan penilaian. Jangan pernah alergi dengan kritik dan saran.

Kalau semua hal tersebut sudah dilakukan, tetapi writer block masih menghinggapi, sepertinya Anda butuh piknik. Lakukan perjalanan. Biasanya pikiran yang fresh, bisa menaikkan mood menulis kita.

Jadi, sudah punya rencana kemana akhir pekan ini?


Pradirwan
Bandung, 29/11/2019

artikel ini ditayangkan oleh AyoBandung

Menulislah Untuk Orang Lain

Pradirwan saat mengisi sesi berbagi tentang menulis. (Photo: Gigeh Hari Prastowo) 

"Aku belajar dan membaca agar umur orang lain berguna bagiku, dan aku menulis agar orang lain mengambil manfaat atas umurku." ~ Felix Siauw.

Pradirwan ~ Entah sejak kapan kebiasaan menulis itu aku mulai. Awalnya mungkin sekadar iseng-iseng saja. Menuliskan segala sesuatu yang terlintas di kepala, menyalurkan ide-ide yang beterbangan, tidak bertujuan untuk mencari uang, hanya mencatat hal-hal yang aku sukai, atau yang sedang aku pelajari, atau sekadar meninggalkan jejak.

Strategi Visual Marketing Online

Sharing session visual marketing online kepada sekitar 100-an pelaku UMKM dalam acara yang digelar Kanwil DJP Jawa Barat I di Auditorium GKN Bandung, (Senin, 16/09/2019)


Pradirwan - Perkembangan teknologi saat ini demikian pesat. Perubahan pola perilaku manusia saat ini terpengaruh oleh perkembangan teknologi yang semakin canggih itu. Sebut saja kemunculan media sosial. Dengan dukungan berbagai piranti canggih yang dilengkapi beragam fiturnya yang mumpuni serta harga ekonomis, menjadikan media sosial semakin diminati.

Survei yang dilakukan Jakpat menyebutkan, secara umum Facebook dan Instagram masih menjadi platform media sosial yang paling banyak digunakan pada semester I-2019 di Indonesia. Hasil ini masih sama dengan semester I tahun lalu. Meski begitu, Youtube bisa menghasilkan banyak pengguna dan menempati posisi kedua setelah Facebook.

Survei itu mencatat, Facebook memiliki 86% pengguna, Youtube 83% pengguna, dan Instagram 75% pengguna. Kehadiran para Youtuber mempengaruhi secara signifikan generasi milenial dan menjadikannya salah satu platform yang paling banyak diakses para pengguna Indonesia.

Berdasarkan rentang usia, usia muda (16-29 tahun) lebih memilih Instagram sebagai platform yang paling informatif dan menghibur bersama Youtube. Sementara itu, untuk usia menengah (30-39 tahun), Facebook menjadi platform terinformatif, sedangkan Youtube menjadi platform terfavorit yang mereka pilih atas konten-kontennya yang menghibur.

Saat ini, media sosial digunakan untuk berbagai kepentingan. Sifat media sosial yang dapat menjangkau luas orang-orang dari seluruh belahan dunia, bisa komunikasi 2 arah, penyebaran informasi dapat berlangsung secara cepat, segmentasi dapat disesuaikan, popular, bisa menghimpun data, ekonomis, dan terukur membuatnya banyak digunakan untuk menunjang bisnis.

Hanya dalam hitungan detik, sebuah konten terkait produk yang dibagikan bisa diakses secara bebas oleh semua orang yang menggunakan media sosial tersebut.

Ya, strategi pemasaran kini berubah. Kini visual marketing tak hanya mengandalkan media publikasi konvensional. Orang-orang menggunakan media sosial untuk mendongkrak omzet mereka.

Seorang pengusaha, penulis, dan pembicara publik asal Amerika Serikat, Seth Godin mengatakan, perhatian dan kepercayaan adalah dua elemen paling berharga dari ekonomi kita ke depan. Pertanyaannya, bagaimana agar konten yang dibagikan itu mendapat perhatian dan pemasar mendapat kepercayaan?

Jadilah yang menarik perhatian

Content is a king. 'Bermainlah' dengan konten dan caption yang menarik di media sosial. Buatlah konten visual (foto, grafis, video) yang memikat, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk visual, dan informasi visual jauh lebih ‘lengket’ daripada konten jenis lain.

Kekuatan visual akan membuat pemasaran menjadi lebih kuat, lebih berkesan, dan dapat mengubah hal-hal tak berwujud menjadi sesuatu yang konkret, serta membantu pelanggan membayangkan pesan dan mem-branding produk kita di alam pikiran mereka.

Sudah banyak akun media sosial yang dibuat untuk memasarkan produk. Namun di antara akun-akun itu, hanya sedikit yang berhasil meningkatkan penjualan produknya. Apa yang kita lihat berulang kali menunjukkan bahwa seseorang atau organisasi yang berhasil adalah mereka yang menjadikan setiap kontennya adalah raja. Mereka menaruh perhatian serius pada setiap konten yang dibagikannya.

Selain membuat visual yang menarik, caption juga memegang peranan penting. Fred S.Parrish dalam bukunya “Photojournalism: An Introduction” menjabarkan bahwa caption membantu mengarahkan perspektif sebuah foto dan menjelaskan detail informasi yang tidak ada dalam gambar, membingungkan, atau tidak jelas.

Ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan hanya melalui konten visual dan platform media sosial menyediakan ruang untuk melengkapi kekurangan itu. Ruang itu disebut caption yang bisa dimanfaatkan untuk menuliskan deskripsi, daya tarik, bahkan kelebihan produk.

Setiap informasi yang detail akan membuat konsumen menyadari keunggulan produk kita dibandingkan kompetitor. Misalnya saat berjualan produk elektronik, kita bisa menuliskan di caption bahwa produk tersebut memiliki usia baterai lebih lama dibanding produk lain. Hal seperti ini tentu saja tidak bisa dilihat melalui foto, bukan?

Bangun Kepercayaan dan Jadilah yang Diinginkan Banyak Orang 

Mereka yang tidak bisa menarik perhatian, akan dilewatkan begitu saja. Alternatifnya, gunakan platform media sosial yang memasarkan dengan sisi manusia kita sebagai makhluk sosial. Selalu ramah dan rendah hatilah saat berinteraksi dengan pelanggan. Bertindaklah dengan cara membantu pelanggan mencapai impian, tujuan, dan keinginan mereka.

Kita tahu, sulit untuk menebarkan kepercayaan dalam media sosial. Terlebih kepada orang-orang yang baru dikenal. Tetapi ketika kita dapat membuatnya percaya dan membuat akun media sosial kita menjadi seperti yang mereka inginkan, mereka akan berkata, “Akun ini berbeda.”

Setiap pelanggan tentu akan menuntut kita membuat sesuatu yang istimewa. Ketika satu orang pelanggan sudah percaya, maka dia akan berbagi pengalamannya dan merekomendasikan akun kita, sehingga pelanggan baru akan mudah menemukan produk kita. Bukankah tidak ada yang dapat memengaruhi orang lebih baik dari rekomendasi seorang teman terpercaya?*



*quote dari pendiri Facebook, Mark Zuckerberg.



artikel ini ditayangkan pertama kali di inilah koran

Humas Pajak Sambut Era Industri 4.0

Humas Pajak 4.0
Pradirwan - Zaman telah berubah. Kita telah berada di era Industri 4.0. Sebuah era yang mengubah tidak saja tatanan proses bisnis yang ada, tetapi juga peran profesi di dalamnya. Teknologi telah mengganti sebagian peranan manusia. Peran manusia akan berkurang, bahkan konon akan digantikan Artificial Intelligence dan robot termasuk profesi hubungan masyarakat atau public relations (PR).

Jurnalis itu Sejarawan

Saya saat menjadi nara sumber kegiatan Koordinasi Publikasi dan Tim Media Sosial Kanwil DJP Jawa Barat II di KPP Pratama Subang, (Selasa, 5/3). Kegiatan ini melibatkan insan-insan kreatif yang berada di balik media sosial seluruh unit DJP yang berada di Kanwil DJP Jawa Barat II, baik taxmin (admin medsos unit DJP), kontributor berita, pembuat infografis, fotografer, maupun videografer. (dok. KPP Pratama Karawang Selatan)

“Jurnalis itu seperti sejarawan. Dia menulis sejarah peristiwa hari ini.”
~Amarzan Loebis

Pradirwan - Saya memutuskan menulis sejak 2013. Awalnya melihat teman yang punya blog. Dalam pekerjaan, saya menerima banyak pertanyaan berulang dan harus saya jawab berulang pula. Agar lebih efisien, saya gunakan tulisan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan menuliskannya dalam blog. Belakangan, tulisan-tulisan saya menjadi tulisan jurnalistik.

Blog inilah yang menjadi catatan saya. Blog yang menjadi saksi sejarah saya belajar banyak hal, termasuk menulis dan memotret.

Sejarah didefinisikan sebagai peristiwa yang dilakukan manusia pada masa lampau di tempat tertentu, dan pada waktu tertentu. 


Sebagai peristiwa masa lampau, sejarah sering dipahami dalam dua hal, yaitu sejarah sebagai realitas peristiwa (history as actuality), dan sejarah sebagai kisah peristiwa (history as written).

Sejarah sebagai realitas peristiwa bersifat unik, terjadi hanya satu kali, dan mustahil terulang. Ini yang seringkali saya sebutkan sebagai momen. Tak akan pernah ada momen yang sama persis, maka itu seringkali saya manfaatkan setiap momen tersebut untuk diabadikan dengan membuatnya sebagai suatu karya (foto/tulisan/video).

Sejarah sebagai kisah peristiwa masa lampau adalah realitas peristiwa masa lampau yang menjadi tugas sejarawan untuk menelitinya, melalui jejak yang ditinggalkan, lalu kemudian direkonstruksi menjadi kisah. Beberapa sumber yang menjadi rujukan di antaranya setiap catatan, saksi, atau bukti-bukti sejarah lainnya.

“Ada empat proses dalam jurnalisme: reporting, interviewing, writing, editing.”

Tugas jurnalis menuliskan setiap peristiwa yang mempunyai news values. Redaktur senior Tempo Amarzan Loebis mengatakan, “Jurnalis itu seperti sejarawan. Dia menulis sejarah peristiwa hari ini.” Konsekuensinya, jurnalis harus teliti dan akurat. Apa pun yang dia tulis akan menjadi rujukan fakta di kemudian hari.

Jurnalis menulis sejarah hari ini, besok bisa jadi ada fakta, konteks peristiwa, atau data pembanding dari sumber-sumber lain yang ditemukan. Bisa jadi apa yang dia tulis kemarin, sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan beberapa waktu setelahnya. Tidak ada kebenaran yang mutlak. Maka itu, seorang jurnalis harus rendah hati dan berpikiran terbuka.

Untuk dapat menulis berita, dibutuhkan bahan tulisan. Penggalian bahan ini bisa diperoleh dari peliputan peristiwa (reportase), wawancara, dan riset. Jurnalis yang baik akan menggali fakta, bukan mendengar analisis narasumber atau bahkan adu argumen dengannya ketika wawancara. Analisis narasumber hanya diperlukan wartawan untuk konteks dan perspektif dalam menulis sebuah peristiwa. Karena itu wartawan yang baik pandai membuat pertanyaan yang ia kembangkan dari jawaban narasumber.

Pemilihan narasumber juga tak kalah penting. Wartawan Tempo, Bagja Hidayat menjelaskan, dalam jurnalistik ada lima jenis narasumber yang bisa diwawancarai berdasarkan validitas informasi sebuah peristiwa: 1) pelaku, 2) mereka yang melihat, 3) dia yang paling tahu, 4) mereka yang berwenang, 5) pakar.

Urutan ini tak boleh tertukar. Jenis-jenis narasumber ini yang akan menentukan nilai sebuah berita. Jika narasumber sebuah peristiwa hanya “ia yang berwenang”, seperti polisi, apalagi juru bicara polisi, gradasi informasinya tak lebih kuat dibanding jika narasumbernya mereka yang melihat langsung peristiwa itu, apatah lagi mereka yang terlibat.

Dua modal jurnalis yang wajib dimiliki, sikap skeptis dan curious. Dua senjata ini juga memungkinkan sebuah wawancara bisa lengkap, bahkan mengungkap. Jika hilang dua sifat ini, jurnalisme menjadi cacat. Kekaguman terhadap narasumber menghilangkan sikap kritis. Sebaliknya, kebencian juga bisa menjerumuskan wartawan pada kenyinyiran yang menjengkelkan. Jika tak kritis dan skeptis, karena kagum atau benci kepada narasumber itu, hal-hal mendasar dalam wawancara bisa terabaikan. Misalnya, wartawan lupa bertanya harga sepatu setelah narasumbernya menyebut merek.

Kesimpulannya, tulisan bagus ditopang bahan yang lengkap. Soalnya, bahan lengkap saja belum tentu menghasilkan tulisan bagus, apatah lagi bahannya tak lengkap. Bahan lengkap ditentukan saat wawancara. Wawancara yang baik jika wartawannya kritis dan skeptis. Aib bagi seorang wartawan adalah tak bisa bertanya di hadapan narasumber akhirnya tak bisa mendapatkan bahan yang lengkap.

Penulis Mesir, Nagouib Mahfoudz, mengatakan bahwa orang pintar terlihat dari pertanyaannya, sementara orang bijak terlihat dari jawabannya. Narasumber akan menghargai pewawancara jika ia mendapat pertanyaan-pertanyaan yang sederhana tapi menohok. Karena itu narasumber ini akan terdorong untuk menjelaskan lebih rinci. Sebaliknya, pertanyaan bodoh memancing narasumber mendominasi bahkan menyembunyikan informasi. Karena itu sebaik-baiknya pertanyaan adalah yang memancing jawaban. Dan wartawan kreatif menciptakan pertanyaan dari jawaban tersebut.



Sumber :
Jurnalistik Dasar, Resep dari Dapur Tempo (Tempo Institute, 2017) 

Wawancara Mengawetkan Sejarah, Bagja Hidayat (Wartawan Tempo, Catatan Iseng, 2018)

Artikel ini ditayangkan di AyoBandung.com

10 Years Challenge dan Keabadian

Seorang peserta sosialisasi mengabadikan moment dengan telepon pintarnya (Rabu, 16/01/2019) 


Pradirwan - Fenomena Tantangan Sepuluh Tahun atau 10 Years Challenge sedang mewabah warganet dalam beberapa hari terakhir. Ada yang sekadar berbagi foto-foto pribadi dari 10 tahun sebelumnya, tapi, lagi-lagi, ada juga yang menggunakannya untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Orang-orang itu sibuk mencari foto dari sepuluh tahun lalu, atau yang diambil pada 2009, untuk kemudian diunggah ke berbagai platform media sosial dan dibandingkan dengan foto terbaru yang diambil di tahun 2019. Itulah esensi tantangan ini, karena mencari arsip foto sepuluh tahun lalu bagi sebagian orang tidaklah mudah.

Perusahaan periklanan media sosial, Spredfast mencatat, sebagaimana dikutip dari BBC.com (16/1/2019), tagar #10YearsChallenge mulai digunakan di Indonesia sejak 14 Januari 2019 dan masih meningkat terus penggunaannya sampai tulisan ini dibuat.

Terlepas dari apakah dampak yang ditimbulkan positif atau negatif sebagaimana yang disampaikan Kate O'Neill dalam tulisannya yang ditayangkan di situs wired.com, ada hal menarik perhatian saya, yaitu tentang foto dan keabadiannya.

Seorang seniman kelahiran Pennsylvania, Andy Warhol pernah mengatakan, “Hal terbaik mengenai sebuah gambar adalah gambar itu tidak pernah berubah, bahkan ketika orang-orang yang ada di dalamnya sudah berubah."

Untuk mendapatkan foto, cara satu-satunya adalah dengan memotret (fotografi). Maka tak heran muncul ungkapan bahwa memotret merupakan salah satu sarana untuk mengabadikan sebuah moment. Ya, memotret ialah laku hidup demi sebuah kekekalan.

Lalu kemudian muncul pertanyaan lainnya, apakah benar moment yang kita tangkap melaui fotografi dapat abadi?

Apakah bisa kita mengabadikan sesuatu sedangkan eksistensi kita diragukan keabadiaannya?

Jelas sesuatu yang rumit untuk saling dikaitkan, karena pada dasarnya kita sendiri akan hilang bersama eksistensi kita.

Lantas, bagaimana caranya agar kita bisa abadi meskipun kita sudah tak bisa eksis lagi?

Kisah sastrawan terbaik yang pernah Indonesia miliki, Pramoedya Ananta Toer, mungkin bisa dijadikan referensi. Lelaki kelahiran Blora, 6 Februari 1925 ini menjadi legenda dunia kepenulisan Indonesia berkat tulisan-tulisannya.

Dalam bukunya yang berjudul "Anak Semua Bangsa", Pram menyampaikan sebuah gagasan yang sangat cemerlang, bahwa "Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian".

Saat saya membuat tulisan ini, kutipan Pram di atas setidaknya disukai oleh 916 orang di situs Goodreads. Tertinggi dibandingkan kutipan lainnya dari karya-karyanya.

Banyak orang pintar, rajin membaca, namun jarang menulis. Mereka punya banyak ilmu dan pengalaman, namun tidak pernah membagikannya lewat tulisan. Bagi saya keputusan mereka itu sangat disayangkan, karena apa yang mereka miliki hanya akan bermanfaat buat dirinya sendiri. Akan berbeda jika mereka menuliskan apa-apa yang dikuasainya. Tentu dampaknya akan lebih luas. Mereka bisa membawa pengaruh juga manfaat kepada orang lain dan akan terus berguna buat generasi selanjutnya.

Lebih lanjut, saya ingin menyampaikan kutipan Pram lainnya, "Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suara mu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari."

Perhatikanlah kutipan-kutipan Pram diatas. Sudah dapatkan benang merahnya? Ya, berkarya (dalam hal ini menulis). Apa yang kita 'suarakan' melalui karya tersebut akan abadi. Meskipun eksistensi kita telah lenyap, masyarakat masih dapat merasakan kehadiran kita melalui karya-karya yang telah kita wariskan. Bahkan, suatu saat dapat mempelajari atau merenungkan atas apa yang telah kita torehkan.

Dampak lebih dahsyat dapat diperoleh jika sebuah karya tulisan dibarengi dengan karya foto. Penggambaran tulisan akan lebih nyata jika bisa memadupadankan dengan karya fotografi.

Itulah kenapa, fotografi jurnalistik menjadi bagian penting. Melihat sejarah Indonesia, fotografi jurnalistik berkembang beriringan dengan perjuangan untuk meraih kemerdekaan.

Bisa kita saksikan, gambar-gambar sejarah seperti proklamasi kemerdekaan, bukan hanya hasil keberuntungan para fotografernya, namun merupakan kegigihan dan komitmen yang mendalam untuk menghasilkan foto yang menarik. Meski fotografernya telah tiada, foto-foto itu seolah menceritakan kejadian di balik setiap foto.

Maka, ingatlah satu hal. Mereka yang berkarya akan hidup bersama dengan karyanya. Walaupun eksistensi dirinya telah lenyap, tetapi karya mereka akan abadi. Setidaknya sampai karya tersebut lenyap bersama alam semesta.

Maka, apakah masih ada keraguan untuk berkarya?


***

artikel ini pertama kali ditayangkan di AyoBandung.com dengan judul #10YearsChallenge dan Keabadian

Pelajaran Tersulit

Kepala Kanwil DJP Jawa Barat I Yoyok Satiotomo bersama Kepala Kanwil BPN Prov. Jawa Barat Yusuf Purnama saat kunjungan kerja, Rabu (09/01/2019).

Matematika dan Bahasa Indonesia, menurutmu mana pelajaran yang paling sulit saat sekolah dulu?

Pradirwan - Jawaban pertanyaan ini sangat subjektif. Masing-masing orang bisa berbeda-beda. Banyak yang menganggap bahwa Matematika merupakan pelajaran tersulit. Tapi tidak bagi saya. Matematika merupakan pelajaran yang bisa saya kuasai saat itu. Dalam beberapa kesempatan mengikuti ujian, saya pernah mendapat nilai maksimal untuk pelajaran mengotak-atik angka itu.

Saya mendapat hasil berbeda saat menghadapi pelajaran Bahasa Indonesia. Saya jarang sekali mendapat nilai maksimal. Meskipun saya lahir dan besar di Indonesia, entah kenapa memahami bahasa Indonesia terasa sedikit kesulitan.

Saya jadi teringat saat hari pertama masuk sekolah usai libur panjang. Wali kelas saya sering menugaskan untuk membuat tulisan bertema liburan. Kala itu, kata pembuka yang sering saya gunakan adalah "Pada suatu hari, saya liburan ke ...", seolah tidak ada kata lain yang lebih indah untuk digunakan.

Kebiasaan menempatkan kata keterangan waktu di awal kalimat itu sepertinya 'diwariskan' hingga sekarang. Padahal, sebuah kalimat sebaiknya berstruktur Subjek, Predikat, Objek, baru setelahnya Keterangan (SPOK). Betul 'kan?

Permasalahan lain yang sering saya alami yaitu kehabisan ide. Habis kalimat ini, saya menulis apa lagi ya? Terkait ini, saya teringat kata-kata guru saya untuk membuat kerangka tulisan terlebih dahulu. Ya, langkah pertama menulis adalah buatlah kerangka tulisan. Lalu, mulailah menulis.

Persoalannya, saya kerap kebingungan saat membuat kerangka tulisan ini. Mulai dari mana, apa yang mesti ditulis, dan bagaimana merumuskan alinea demi alinea itu hingga utuh menjadi sebuah tulisan?

Sejak saya sering berlatih menulis dan membaca berbagai tulisan teman-teman, saya baru menyadari bahwa ada tahapan yang terlewati. Satu tahapan yang harus dilalui sebelum melompat ke tahap membuat kerangka karangan. Tahapan itu adalah menentukan angle atau sudut pandang yang ingin kita ungkap dalam tulisan.

Baca juga : Menentukan News Angle

Jujur saja, kadang kala saya sering bingung memilih angle tulisan, karena banyak aspek menarik dari sebuah topik atau acara (peristiwa). Sebuah tips yang bisa dicoba dalam memilih angle:
(1) ketersediaan data dan bahan tulisan, 
(2) didasarkan pada pertimbangan aspek yang paling menarik, paling penting, dan paling berdampak bagi masyarakat.

Dari berbagai obrolan dan sharing yang saya peroleh, keputusan memilih angle selalu dikaitkan dengan news value (kelayakan berita), diantaranya aktual atau hangat dibicarakan, menyangkut tokoh (figur), novelty (pertama kali/kebaruan), eksklusif atau prestisius, dan magnitude atau besaran dampak.

Lalu, bagaimana merumuskan angle supaya tajam setajam silet? Gunakan kalimat tanya sebagai alat bantu merumuskan kalimat pertanyaan angle. Ada enam pertanyaan yang bisa digunakan untuk merumuskan angle yaitu 5W+1H (what, who, when, why, where, how). Gali terus dengan menggunakan kata tanya itu. Semakin banyak pertanyaan yang kita lontarkan dan berhasil dijawab, semakin banyak bahan yang kita kumpulkan dan peluang membuat tulisan semakin besar.

Sebagai contoh, berikut tulisan yang dibuat dengan melontarkan berbagai pertanyaan menggunakan 5W1H.

Ditjen Pajak Kunjungi Kanwil BPN Jabar, Ini yang Dibahas

Selamat mencoba. 

Menentukan News Angle

Kepala KPP Pratama Tasikmalaya, Erry Sapari Dipawinangun, memberikan penghargaan kepada Kepala Seksi (Eselon IV) terbaik, Iwan Hendrawan, Selasa (8/1).


Pradirwan - Bapak saya pernah marah besar dulu, saat masih SMP. Penyebabnya saya tidak mau berangkat latihan Pramuka. Hari itu, bukanlah hari latihan biasa. Saya mau 'naik kelas' dari Siaga menjadi Penggalang. Satu-satunya teman sekampung saya yang biasa latihan bareng Pramuka, mendadak hari itu ga bisa berangkat. Saya lantas membujuk untuk ikutan tidak usah berangkat.

Bapak marah dan menasehati saya. Menurutnya, latihan itu penting untuk membentuk pribadi saya. "Jangan menjadi orang kebanyakan. Kesuksesanmu, tidak boleh ditentukan orang lain, tapi hasil jerih payahmu sendiri. Jika temanmu ga berhasil karena dia ga mau berangkat latihan, kamu tidak perlu mengikuti. Toh, jika kamu berhasil, yang menikmati kamu sendiri," ujarnya.

Saya tak berani membantah. Saya terpaksa berangkat. Kata-kata itu terngiang hingga saat ini. Bertahun-tahun sejak kejadian itu, saya mengambil hikmahnya.

Pak Slamet Rianto pernah bilang, salah satu penyebab yang membuat sebuah foto terlihat menarik bagi penikmatnya adalah karena foto itu menampilkan sesuatu yang tidak biasa mata kita lihat.

"Untuk mendapatkan foto seperti itu, jangan jadi biasa, jangan jadi orang kebanyakan. Cobalah memotret dari tempat yang tak biasa, ambillah sudut pandang berbeda. Foto yang dibuat dari sudut yang biasa-biasa saja, maka hasilnya juga akan biasa-biasa saja. Misalnya, jongkoklah dan memotretlah dari sudut yang lebih rendah dari objek fotonya. Atau, naiklah dari tempat yang lebih tinggi dari objek fotonya. Dengan begitu foto kamu akan memberi kesan khusus yang tidak biasa dilihat mata manusia normal. Kamu pun dapat melihat dunia secara berbeda dari orang-orang kebanyakan."

Sudut pandang atau angle adalah sudut pengambilan foto yang menekankan posisi kamera pada situasi tertentu dalam membidik objek. Angle akan sangat menentukan komponen yang masuk di dalam lensa. Angle yang pas bisa membuat sebuah situasi sederhana menjadi momen yang menakjubkan di dalam layar kamera.

Ternyata, angle ini tak melulu tentang fotografi. Dalam dunia menulis berita (jurnalistik), dikenal pula istilah news angle (sudut pandang berita).

News Angle inilah yang akan membedakan isi berita antara satu media dengan media lainnya. Peristiwanya sama, namun karena perbedaan news angle, konten dan pesan beritanya akan berbeda.

Sebagai contoh, awalnya saya membaca sebuah berita yang dikirim mas Cahyo sebagai berikut :
Awali Tahun 2019, KPP Pratama Tasikmalaya Adakan Evaluasi
Lalu, saya menemukan angle lain. Jika bagian penutup dalam berita itu yang saya angkat, kayaknya lebih "nendang" deh. Maka, saya wawancarai Mas Cahyo dan Pak Erry untuk mendapatkan data pendukungnya.

Dan inilah hasilnya :

Terbaik! 14 Pegawai Terima Penghargaan Kepala KPP Pratama Tasikmalaya

Terima kasih semuanya. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Noted : Angle adalah poin atau tema sebuah berita atau feature. Angle sebuah berita muncul di bagian teras (lead).

Tentang Rasa

Kilometer 0 (Nol) Sungai Citarum berada di Situ Cisanti yang berlokasi di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Situ ini berada di kaki bukit Gunung Wayang dan memiliki 7 mata air. Dari sinilah aliran sungai Citarum berasal.

"Lihat alam lebih dalam, Anda akan lebih memahami segalanya."~ Albert Einstein 

Pradirwan ~ Aku perhatikan, beberapa orang pandai menulis menganggap menulis tak cukup hanya tentang rasa. Tidak demikian bagiku. Saat aku menulis hanya dengan imajinasi, atau bahkan dengan berbekal pointer, tulisan akan berbentuk. Lalu, setelah kubaca ulang, datar, hambar.

Bagiku yang belajar perihal menulis, rasa kutempatkan di urutan tertinggi. Wajib dan mendominasi. Baru sesudahnya aku mempelajari hal lain yang sifatnya teknis. Itu pun tak banyak, aku sungguh tak pandai dalam hal teknis berbahasa.

Aku lebih banyak menuliskan saja apa yang terlintas dipikiran, apa yang ku rasakan, apa yang ku lihat.

Rasa disini adalah gejolak rasa yang dirasakan penulis dan menyajikan pesan rahasia tersebut pada perasaan pembacanya. Jadi bukan hanya kenikmatan tulisan sebagai media hiburan atau penyaji informasi saja.

Bagiku, tulisan dianggap berhasil apabila rasa yang disampaikan itu sampai ke pembaca. Saat pembaca mulai terlibat lebih dalam, itu tandanya perasaan dari penulis sudah sampai ke batin pembaca. Tanda-tandanya bisa berupa keinginan memberontak dari alur yang ditulis penulis, bisa juga berupa kesedihan atau kegembiraan teramat dalam sampai lupa kalau yang dibaca hanya karya fiksi. Yang terparah adalah saat pembaca menyama-nyamakan diri dengan sang tokoh sampai tak sadar mengadaptasi perilaku tokoh di dunia nyata, dalam raga mereka.

Bagi pembaca, membaca lebih dalam akan lebih memahami maksud penulisnya. Dan penulis yang mengedepankan rasa, akan menyajikan tulisan yang lebih bermakna.

#writing #feelings #feel

Gaya Tulisan

"Percayalah dengan gaya tulisan masing-masing, Le. Mendiang Michael Jackson-pun tak akan bisa menyanyikan 'Begadang' semerdu Rhoma Irama." ~ Slamet Rianto

“Menulis dengan gaya yang tepat akan membuat tulisan menjadi lebih bertenaga.” ~ David Wright

Pradirwan ~ Semakin sering membaca tulisan seseorang, membuatku semakin memahami bahwa setiap penulis mempunyai ciri khas dalam setiap tulisannya. Ciri khas inilah yang sering disebut gaya tulisan.
 
Copyright © 2021 Pradirwan and OddThemes